Hukum Anal Seks dalam Islam
Pasangan suami istri perlu saling melengkapi
kekurangan antara satu dengan lainnya, baik secara lahir maupun batin. Dalam
masalah hubungan ranjang, Allah subhanahu wa ta'ala memberikan kebebasan kepada
para suami untuk mendatangi istrinya dengan metode apa pun. Sebagaimana yang
difirmankan dalam Al Qur'an:
نِسَاؤُكُمْ
حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ
Artinya: “Istri-istrimu adalah (seperti)
tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu
itu bagaimana saja kamu kehendaki.” (QS: Al Baqarah: 223)
Menurut Ibnu Abbas, ahli tafsir yang menjadi
paman Rasululullah shallallahu alaihi wa sallam, istilah al-harts atau yang
dalam bahasa Indonesia dimaknai sebagai ladang mempunyai arti maudhu’ul walad
atau tempat anak/rahim (Abil Fida' Isma'il ibn Katsir, Tafsir Ibnu Katsir,
Kairo, al-Faruq al-Haditsiyah, 2000, jilid 2, halaman 305).
Ibnu Katsir, sebagaimana disampaikan dalam
beberapa hadits, memberi batasan tentang bagaimana seharunya hubungan intim
suami istri. Menurutnya, kata “sekehendakmu” bukan berarti bebas sama sekali,
semau-mau mereka, melainkan tetap pada koridor berhubungan pasutri melalui
vagina.
فَأْتُوا
حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ) أي: كيف شئْتم مقبلة ومدبرة في صِمام واحد)
Artinya: “Maka datangilah tanah tempat
bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Maksudnya adalah semau kamu
baik dengan cara berhadap-hadapan atau saling memungungi yang penting melalui
satu katup (vagina). (Ibn Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, 2000: 305)
Ayat ini turun saat Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam kedatangan tamu para sahabat-sahabat Ansor. Mereka mengajukan
pertanyaan, kemudian turunlah ayat di atas.
Kemudian Rasulullah menegaskan dengan satu
hadits:
فقال
النبي صلى الله عليه وسلم: ائتها على كل حال، إذا كان في الفرج
Artinya: “Datangilah dia (istri) dengan gaya
apa pun selama di vagina.”
Ada banyak hadits yang secara spesifik
menyebutkan seorang laki-laki tidak boleh bersenggama dengan istrinya melalui
jalur belakang. Di antaranya hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
riwayat At Tirmidzi dari Ibnu Abbas dengan kualitas Hasan Gharib sebagai
berikut:
لَا
يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى رَجُلٍ أَتَى رَجُلًا أَوْ امْرَأَةً فِي الدُّبُرِ
Artinya: “Allah tidak berkenan melihat
laki-laki yang mendatangi (jima') kepada istrinya atau kepada laki-laki lain
melalui anus/dubur. (HR: At Tirmidzi:1086)
Pendapat ulama Syafi'iyyah senada dengan
kedua sumber primer di atas. Imam Nawawi dalam kitabnya Raudlatuth Thâlibîn
juga mengatakan hal yang sama. Adapun teks lengkapnya sebagai berikut:
الباب
التاسع فيما يملك الزوج من الاستمتاع، وفيه مسائل، إحداها: له جميع أنواع
الإستمتاع إلا النظر إلى الفرج ففيه خلاف سبق في حكم النظر وإلا الإتيان في الدبر
فإنه حرام ويجوز التلذذ بما بين الإليتين والإيلاج في القبل من جهة الدبر.
Artinya: “Bab ke-sembilan, tentang hak yang
dimiliki seorang suami untuk bersenang-senang terhadap istrinya. Di sini
terdapat banyak masalah. Seorang suami boleh melakukan apa saja kecuali melihat
kemaluan istri. Di sini terdapat perbedaan pendapat dalam masalah melihatnya.
Juga boleh melakukan apa saja kecuali menggauli istri dari duburnya.
Sesungguhnya hukumnya adalah haram. Boleh bersenang-senang dengan tubuh antara
dua pantat (tidak sampai jima') serta memasukkan dzakar ke vagina meskipun dari
arah posisi belakang. (Abi Zakariyya Yahya Syarof An Nawawi, Raudlatuth
Thâlibîn, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 2003, juz 5, halaman 535).
Kesimpulannya, berhubungan seks bagi suami
melalui anus istrinya atau anal seks adalah haram sesuai dalil syara' di atas.
Secara sudut pandang medis, terdapat beberapa hikmah. Di antaranya, anus memang
tidak dipersiapkan untuk senggama sehingga tidak terdapat pelumas atau
lubrikasi. Hubungan anal bisa memicu wasir, infeksi dan lain sebagainya.
Wallahu a'lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar