Pedoman Berpolitik
Warga NU
Nahdlatul Ulama sejak
awal berdirinya merupakan organisasi keagamaan dan sosial kemasyarakatan (jam’iyyah
diniyyah ijtima’iyyah), bukan organisasi politik dengan orientasi
kekuasaan. Namun demikian, kiprah para kiai NU dalam percaturan politik dari
dulu hingga sekarang dibutuhkan masyarakat dalam rangka menjaga persatuan dan
kesatuan di tengah perbedaan, meneguhkan NKRI, menjaga stabilitas negara, dan
mewujudkan kesejahteraan.
Komitmen tersebut
diwujudkan dalam praktik politik kebangsaan, politik kerakyatan, dan etika
politik. Praktik politik ini digagas oleh KH MA Sahal Mahfudh dengan nama
politik tingkat tinggi (siyasah ‘aliyah samiyah) Nahdlatul Ulama.
Praktik politik ini demi menjaga Khittah NU 1926 yang telah menjadi kesepakatan
bersama dalam Munas NU 1983 di Situbondo, Jawa Timur.
Menurut Kiai Sahal
Mahfudh, politik kekuasaan yang lazim disebut politik tingkat rendah (siayasah
safilah) adalah porsi partai politik bagi warga negara, termasuk
warga NU secara perseorangan. Sedangkan NU sebagai lembaga atau organisasi,
harus steril dari politik semacam itu. Kepedulian NU terhadap politik
diwujudkan dalam peran politik tingkat tinggi (siyasah ‘aliyah samiyah),
yakni politik kebangsaan, politik kerakyatan, dan etika berpolitik.
Sejarah mencatat, NU
memang pernah memutuskan menjadi partai politik pada 1952. Kemudian tahun 1955
merupakan pemilu pertama yang diikuti oleh NU sebagai partai. Berjalannya
waktu, keputusan NU menjadi partai politik pada tahun 1952 turut mendegradasi
peran dan perjuangan luhur organsasi karena lebih banyak berfokus ke percaturan
politik praktis sehingga pengabdian kepada umat seolah terlupakan.
Berangkat dari
kegelisahan tersebut, para kiai mengusulkan agar NU secara organisasi harus
segera kembali Khittah 1926. Usulan tersebut sempat terhenti. Namun, seruan
kembali ke Khittah 1926 muncul kembali pada tahun 1971. Kala itu Ketua Umum
PBNU KH Muhammad Dahlan memandang langkah tersebut sebagai sebuah kemunduran
secara historis.
Pendapat Kiai
Muhammad Dahlan itu coba ditengahi oleh Rais Aam KH Abdul Wahab Chasbullah
bahwa kembali ke khittah berarti kembali pada semangat perjuangan 1926, saat
awal NU didirikan, bukan kembali secara harfiah.
Setelah seruan
kembali ke khittah sempat terhenti kala itu, gema tersebut muncul lagi pada
tahun 1979 ketika diselenggarakan Muktamar ke-26 NU di Semarang, Jawa
Tengah. Seperti seruan sebelumnya, usulan untuk kembali menjadi jami’iyah
diniyyah ijtima’iyah dalam Muktamar tersebut juga mentah.
Apalagi NU sedang
giat-giatnya memperjuangkan aspirasi rakyat dari represi Orde Baru lewat PPP.
Namun pada praktiknya, kelompok kritis dari kalangan NU mengalami penggusuran
sehingga menurunkan kadar perjuangan dari partai tersebut.
Misi kembali ke
khittah kembali nyaring ketika para ulama berkeliling mengonsolidasikan NU.
Bersamaan dengan langkah para kiai tersebut, KH Achmad Siddiq menyusun tulisan
komprehensif yang berisi tentang pokok-pokok pikiran tentang pemulihan Khittah
NU 1926. Tulisan ini dirembug secara terbatas dengan para ulama sepuh di
kediaman KH Masykur di Jakarta.
Secara garis besar,
pedomana berpolitik warga NU tertuang dalam naskah Khittah 1926 yang dimulai
dari Mukaddimah hingga Khotimah yang terdiri dari sembilan penjelasan. Namun,
untuk mengoperasionalkan naskah khittah hasil Muktamar ke-27 NU 1984 tersebut,
Muktamar ke-28 NU tahun 1989 di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta menyusun
sembilan pedoman berpolitik bagi warga NU.
Berikut sembilan
pedoman berpolitik warga NU hasil Muktamar ke-28 NU tahun 1989 di Pondok
Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta:
Ketika NU Kembali ke
Khittah 1926 di mana NU tidak lagi menjadi partai politik atau bagian dari
partai politik dan tidak terikat oleh partai politik manapun, dengan sendirinya
masyarakat yang selama ini cara berpolitiknya ditentukan oleh pimpinan pusat
organisasi mengalami banyak kebingungan.
Mengingat adanya
perubahan politik dari stelsel kelompok atau organisasi menjadi stelsel
individual ini, NU merasa perlu memberi petunjuk agar warganya tetap
menggunakan hak politik mereka secara benar dan bertangung jawab. Karena
itulah, lima tahun setelah keputusan Muktamar Situbondo 1984, Muktamar NU tahun
1989 merumuskan pedoman berpolitik bagi warga Nahdliyin dengan menekankan
akhlaqul karimah, baik berupa etika sosial maupun norma politik.
Dengan demikian
keterlibatan warga NU dengan partai politik yang ada bersifat individual, tidak
atas nama organisasi, karena NU telah kembali menjadi organisiasi sosial
keagamaan yang mengurusi masalah sosial, pendidikan dan dakwah. Namun demikian
NU mengimbau pada warganya agar melakukan politik secara benar dan bertanggung
jawab dan dengan citacita menegakkan akhlaqul karimah dan dijalankan dengan
proses yang selalu berpegang pada prinsi pakhlaqul karimah.
Mengingat pentingnya
politik sebagai sebuah sarana perjuangan, di samping sarana sosial dan
pendiikan, maka warga Nahdliyin diberikan tuntunan yang mudah dipahami dan
sekaligus mudah dilaksanakan. Melalui sembilan pedoman berpolitik warga NU ini
diharapkan kaum Nahdliyin bisa menjadi teladan dalam menjalankan politik, di
mana norma dan etika selalu dikedepankan.
Walaupun untuk
mencapai cita-cita itu penuh halangan, terutama dengan tumbuhnya pragmatisme
dewasa ini. Namun demikian prinsip perlu ditegakkan walaupun mungkin dianggap
tidak relevan, tetapi ini merupakan misi abadi yang harus ditegakkan bersama
dengan menegakkan agama, karena warga Nahdliyin telah berikrar untuk
mengintegrasikan perjuangannya dalam perjuangan bangsa Indonesia secara
keseluruhan.
Dengan
mempertimbangkan arah pembangunan politik yang dicanangkan dalam Garis-Garis
Besar Haluan Negara (GBHN), sebagai usaha untuk membangun kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan diarahkan untuk
lebih memantapkan perwujudan Demokrasi Pancasila, Muktamar merasa perlu
memberikan pedoman kepada warga Nahdlatul Ulama yang menggunakan hak-hak
politiknya, agar ikut mengembangkan budaya politik yang sehat dan bertanggung
jawab agar dapat ikut serta menumbuhkan sikap hidup yang demokratis,
konstitusional serta membangun mekanisme musyawarah mufakat dalam memecahkan
setiap masalah yang dihadapi bersama, sebagai berikut ini:
1. Berpolitik bagi
Nahdlatul Ulama mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD1945.
2. Politik bagi
Nahdlatul Ulama adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi
bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan
kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya mamsyarakat adil
dan makmur lahir dan batin dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan
di dunia dan kehidupan di akhirat.
3. Politik bagi
Nahdlatul Ulama adalah pengembanagan nilai-nilai kemerdekaaan yang hakiki dan
demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban dan
tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bersama.
4. Berpolitik bagi
Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan moral, etika dan budaya yang
berketuhanan Yang Maha Esa, berperikemanusiaan yang adil dan beradab,
menjunjung tinggi persatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijakasanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan berkeadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
5. Berpolitik bagi
Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama,
konstitusional, adil sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati,
serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah
bersama.
6. Berpolitik bagi
Nahdlatul Ulama dilakukan untuk memperkokoh konsensus-konsensus nasional, dan
dilaksanakan sesuai dengan akhlakul karimah sebagai pengamalan ajaran Islam
Ahlussunnah wal Jamaah.
7. Berpolitik bagi
Nahdlatul Ulama, dengan dalih apapun tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan
kepentingan bersama dan memecahbelah persatuan.
8. Perbedan pandangan
di antara aspirasi-aspirasi politik warga Nahdlatul Ulama harus tetap berjalan
dalam suasana persaudaraan, tawadlu’ dan saling menghargai satu sama lain,
sehingga dalam berpolitik itu tetap dijaga persatuan dan kesatuan di lingkungan
Nahdlatul Ulama.
9. Berpolitik bagi
Nahdlatul Ulama menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam
pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan
organisiasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya
sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyalurkan aspirasi serta
berpartisipasi dalam pembangunan.
[]
(Fathoni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar