Subchan ZE
(1931-1973): Oposan Flamboyan Dua Rezim
Aktor politik, sipil
dan militer, jelang transisi politik dari Orde Lama ke Orde Baru pasti
mengingat nama Subchan ZE. Tokoh politik dari Nahdlatul Ulama yang sinarnya
redup selepas kematian misterius akibat kecelakaan lalu lintas di Riyadh, Arab
Saudi tahun 1973.
Beberapa saat sebelum
kematiannya, ia memberikan wawancara eksklusif koresponden AFP, Brian May,
tentang jaringan bisnis Soeharto yang ada di Singapura, Belanda, dan AS.
Namanya kemudian diabadikan sebagai nama sebuah jalan di Kudus, Jawa Tengah.
Beberapa hari pasca
pembunuhan para Jenderal, dini hari 1 Oktober 1965, hampir seluruh Jakarta
mencekam. Keadaan berbeda terjadi di kediaman Subchan ZE Jl. Banyumas 4,
Menteng. Ramai oleh hingar-bingar para aktivis anti PKI. Berasal dari aktivis
ormas Islam, Kristen, dan Katolik. Mereka mengkonsolidir diri ke dalam Komando
Aksi Pengganyangan (KAP) Gestapu yang dipimpin oleh Subchan ZE (NU) dan Hary
Tjan Silalahi (PMKRI/Katolik). Sejak itu, Subchan melesat menjadi the rising
star.
Ia menjadi tokoh
sipil yang mampu menggerakan massa aksi menuntut pembubaran PKI. Tokoh NU yang
diterima oleh banyak pihak. Sulastomo (mantan Ketua Umum PB HMI), dalam
memoarnya, mengakui hal ini. Menurutnya Subchan banyak memberikan pertimbangan
dan nasehat kepada PB HMI dan menjadikan rumahnya seperti markas kedua setelah
markas di Jl. Diponegoro sekaligus sebagai dapur umumnya.
Tidak hanya sipil,
Subchan juga dekat dengan Angkatan Darat. Keberadaan KAP Gestapu mendapat
dukungan dari kelompok itu. Kedekatannya semata-mata karena kepentingan yang
sama. Membendung pengaruh komunisme. PKI melihat NU sebagai lawan politik dan
ideologi. Ketidaksukaan terhadap komunisme tidak hanya ditunjukan di dalam
negeri. Selaku Vice President dari Afro Asia Economic Coorporation (Afrasec)
tahun 1960-1962 ia pernah mengusir delegasi Rusia dari persidangan di Mesir.
Setibanya di tanah air dia ditahan.
Kedekatan Subchan
dengan tentara retak lima tahun berikutnya.
Tahun 1966 Subchan
diangkat sebagai Wakil Ketua MPRS. Dalam posisinya, ia tetap konsisten mendesak
pembubaran PKI dan meminta ‘pertanggungjawaban’ Soekarno sebagai Presiden.
Soeharto yang diuntungkan dari ‘kecelakaan PKI’ dikukuhkan sebagai Presiden
oleh MPRS tahun 1968.
Melawan Soeharto
Setelah pelantikan
Soeharto, Subchan tidak berhenti menjadi seorang ‘pemberontak’. Ia mencaci pola
‘redressing’ gaya Soeharto yang mengamputasi perangkat demokrasi di dalam
lembaga legislatif.
Kritik keras dia
sampaikan dalam sebuah pidato sebagai wakil ketua MPRS. Ia menuding
kaidah-kaidah Orde Baru mulai kabur dan tidak lagi menjadi landasan perjuangan
bagi seluruh komponen Orde Baru. Ia juga menyatakan bahwa “machinery” Orla
sudah mendapat jalan melalui sel-sel koruptif, intrik, dan konspirasi yang
sudah merajalela.
Menurut Subchan,
pemerintah harus segera mengingat kembali kaidah-kaidah dasar perjuangan Orde
Baru, yang intinya: 1) penegakan tata kehidupan demokrasi; 2) penegakan tata
kehidupan hukum dan keadilan dalam kehidupan sehari-hari; 3) pengusahaan adanya
pendemokrasian di dalam pelaksanaan kebijaksanaan ekonomi, dan; 4) penegakkan
hak asasi manusia (Choirul Anam, 1985).
Dengan lebih tajam,
Ia mengkoreksi pemerintahan Soeharto yang sengaja menunda penyelenggaraan
pemilu 1968 menjadi 1973. Berkat perlawanan gigihnya pemilu bisa berlangsung
tahun 1971.
Jelang pemilu,
konfrontasi terbuka Subchan dengan Soeharto semakin tidak terelakkan. Ia
mengkritik menteri dalam negeri waktu itu, Jenderal Amir Machmud, agar menjadi
wasit yang adil dan jangan main “bulldozer”. Lebih jauh ia menyesalkan
keluarnya Permendagri No 12/1969 yang melarang keterlibatan anggota departemen
(PNS) di dalam partai politik yang dinilai hanya menguntungkan Golkar. Ia
menyebut Permendagri tersebut tidak memenuhi syarat perundang-undangan dari
sudut formal karena bertentangan dengan UU No 18/1968. Dari sudut material,
hakekatnya materi tersebut diatur dalam undang-undang dan bukan Permen.
Kritik-kritik
terhadap rezim baru juga dia sampaikan selama masa kampanye. Dalam catatan
Choirul Anam, penulis buku ‘Pertumbuhan dan Perkembangan NU’, pidato politik
Subchan saat berkampanye kerap mengumandangkan istilah “jihad” untuk
mengobarkan semangat politik umat Islam. Istilah “jihad” ini juga kemudian
digunakan oleh Soeharto dalam pidato tanpa teksnya saat meresmikan pasar
tekstil Klewer di Surakarta. Soeharto menyatakan bahwa setiap usaha “jihad”
yang selalu dikobar-kobarkan golongan tertentu akan dihadapi oleh pemerintah
dengan dengan semangat “jihad” pula. Komentar Soeharto di wilayah publik
ditujukan hanya kepada Subchan.
Berkat kerja keras
Jusuf Hasyim, Syaifudin Zuhri, KH. A. Syaichu, dan terutama Subchan ZE berhasil
menempatkan NU dalam dua besar Pemilu 1971. Persis di bawah Golkar. Menguasai
69,96 persen suara yang diperoleh partai-partai Islam. Itulah prestasi terbesar
NU dalam kapasitasnya sebagai partai politik.
Usai pemilu, ia
bersama Nasution menulis Buku Putih yang berisi Laporan Pimpinan MPRS
1966-1972. Belum sempat diedarkan secara luas, buku itu disita dan dimusnahkan
oleh Kopkamtib karena berisi sejumlah kecaman.
Sebagai salah seorang
pemain inti Subchan memiliki musuh yang sangat kuat. Kritik-kritik tajamnya
kepada pemerintah dan popularitasnya yang terus meningkat semakin menjadi
ancaman rezim. Perilaku koruptif rezim jelas dia benci. Kebencian itulah yang
membuat dia mati muda di usia 42 tahun.
Kematian Subchan yang
misterius disejajarkan oleh George Junus Aditjondro dengan kematian Baharudin
Lopa, Udin ‘Bernas’, dan Agus Wirahadikusumah. Di matanya, mereka mati karena
memiliki keberanian membongkar perilaku koruptif.
Entah kebetulan atau
tidak, jenderal Amir Mahmud sedang berada di Arab Saudi pada waktu kematian
Subchan. Hingga kini, kematiannya tidak pernah diinvestigasi.
Dinamika Idham dan
Subchan
Tidak diterimanya
figur Subchan secara utuh di NU tidak lain karena gaya hidupnya yang dianggap
flamboyan. Berbeda dengan kebanyakan pimpinan NU yang masih berperilaku
tradisional-konservatif masa itu. Selain itu, sikap kritis Subchan tidak hanya
ditujukan ke luar tapi juga ke dalam.
Menurut catatan Arief
Mudatsir Mandan dalam tulisannya berjudul ‘Subchan ZE: Buku Menarik yang Belum
Selesai”, Subchan dibesarkan oleh keluarga Islam-tradisionalis (santri) yang
cukup mapan di Kudus. Di masa kecil ia mendapatkan pendidikan modern di sekolah
Muhammadiyah. Pendidikan terakhirnya hanya setingkat diploma dalam bidang
ekonomi di University of California. Sejak kecil ia sudah dilatih menjadi
pengusaha. Ayah angkatnya, H. Zaenuri Echsan, memberinya kepercayaan memimpin
perusahaan rokok cap “Kucing” di saat usianya baru menginjak 14 tahun.
Pertengahan tahun
1950-an ia sudah berhasil menjadi pengusaha yang meliputi usaha perdagangan,
penerbangan, real estate, dan keuangan. Pengetahuan dan pengalamannya dalam
bidang ekonomi menjadikannya sebagai seorang dosen dan komentator ekonomi.
Umar Basalim, aktivis
PMII dan mantan rektor Universitas Nasional, mengatakan bahwa pada tahun 1965
Subchan sudah memperkenalkan konsep ekonomi alternatif. Konsep itu juga yang
membuat ekonom jebolan Barkeley, Widjojo Nitisastro dan Ali Wardhana, kelabakan
dalam sebuah diskusi yang digelar di Universitas Indonesia awal 1966
(Prioritas, 42/2012).
Keberhasilan Subchan
menjadi pengusaha membuat hidupnya berlimpah. Menurut Greg Fealy, dalam bukunya
‘Ijtihad Politik Ulama’, Subchan memiliki rumah mewah di Jakarta dan Singapura,
serta beberapa villa. Ia menerbangkan sendiri pesawat pribadinya dan menyukai
mobil balap. Kegemarannya berdansa dengan wanita-wanita glamor membuat dia
dijuluki sebagai ‘Kennedy-nya Indonesia’ oleh teman-temannya.
Kegemaran itu pula
yang akhirnya menjadi kurang diterima oleh para kyai senior. Subchan gagal
menjadi Ketua Umum Tanfidziyah meski didukung oleh banyak kalangan di internal
NU. Diakomodasinya Subchan sebagai Ketua I PBNU hanya bertahan sebulan setelah
Muktamar ke-25/1971. Pada 21 Januari 1972 Subchan dibebastugaskan oleh Rais Aam
PBNU KH. Bishri Syansuri.
Di luar gaya hidupnya
yang flamboyan, terdapat sejumlah friksi antara Subchan dan kelompok Idham
Chalid yang saat itu menjadi Ketua Umum PBNU. Friksi yang sesungguhnya sudah
ada sejak era Orde Lama. Subchan tidak terlalu menyukai strategi akomodasi yang
diterapkan oleh PBNU. PBNU dinilainya terlalu cepat menerima konsep dan
pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dan Nasakom. Hasilnya, PKI mempunyai pengaruh
lebih di pemerintahan. Sementara Idham Chalid mempunyai sikap politik yang
luwes dan fleksibel. Friksi atas pandangan politik ini terus berlanjut di masa
awal Orde Baru.
Tulisan Choirul Anam
menyebutkan bahwa isi pidato Subchan dalam berbagai kampanye pemilu 1971 yang
kerap mengkritik Orde Baru tidak direstui oleh Idham. Ia menyesalkan sikap
Subchan melalui media massa cetak dan elektronik.
Meski pada akhirnya
dipecat, Subchan tidak sendirian. Ia mendapat dukungan dari banyak kyai. Kyai
Machrus Aly (Kediri), Kyai Ali Ma’sum (Yogyakarta), Kyai As’ad (Situbondo),
Kyai Bisri Mustofa (Rembang), pengurus NU daerah, dan anak-anak muda NU.
Polemik Subchan-Idham terhenti otomatis saat Subchan wafat tanggal 21 Januari
1973 atau tepat satu tahun setelah pemberhentiannya.
Bagi van Bruinessen,
dalam kata pengantar buku ’NU Muda’, selain Wahid Hasyim, Subchan ZE merupakan
figur NU paling menonjol yang kemudian di marjinalisasi dari sistem politik.
Idham Chalid, dalam kelonggarannya berpolitik, dianggap lebih mewakili
pendirian kyai NU di banding keduanya.
Pulangnya Gus Dur
dari studi awal 70-an membuat nama Subchan sebagai politisi NU serba bisa: jago
ngaji, penerbang, berdansa, dan berdagang berlahan tenggelam. []
(Dwi Winarno)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar