Tradisi KH Hasyim
Asy’ari di Bulan Ramadhan
Menurut KH Saifuddin
Zuhri pada buku Berangkat dari Pesantren, KH Hasyim Asy'ari meskipun dikenal
sebagai hadits, Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari sebenarnya memiliki pemahaman
yang dalam di bidang fiqih. Sehingga bagi Kiai Saifuddin, ia tergolong
fuqaha.
Tak heran karena ia
sejak belia menempa diri di berbagai pesantren. Ia dilahirkan di Desa Gedang,
Jombang, Jawa Timur, tanggal 24 Dhulqaidah 1287 H (14 Februari 1871 M). Ia
wafat di Tebuireng pada 27 Juli 1947 M)
Kiai Hasyim sejak
muda adalah seorang santri kelana. Ia belajar dari satu pesantren ke pesantren
lain di Jawa dan Madura. Untuk memperdalam ilmu lebih lanjut, kemudian ia
belajar di Tanah suci Makkah. Selain belajar, ia juga mengajar di sana.
Pada tahun 1313
Hijriyah ia mengajar di Makkah sambil belajar. Tahun 1321 H hingga 1324
mengajar di Kemuning, Kediri. Kemudian pada tahun 1324 hingga wafatnya,
mengajar di Tebuireng, Jombang.
Namun, dalam bidang
ilmu hadits KH Hasyim Asy'ari memiliki kecenderungan lebih. Ia sangat ahli.
Membaca hadits seperti wiridan (kebiasaan rutin) saja. Itulah yang kemudian ia
memiliki tempat tersendiri di mata ulama-ulama Indonesia waktu itu. Sebab tentu
saja, hadits merupakan sumber kedua hukum Islam setelah Al-Qur’an.
Menurut Afriadi Putra
pada Pemikiran Hadis KH M. Hasyim Asy’ari dan Kontribusinya terhadap Kajian
Hadtis di Indonesia, Kiai Hasyim Asy’ari dalam bidang hadits memberikan
pengaruh yang cukup besar di Indonesia pada masanya. Sebab kajian hadits belum
begitu banyak waktu itu. Bahkan bisa dikatakan melalui kitabnya Risalah
Ahlussunnah wal Jamaah telah berhasil meletakkan dasar-dasar kajian hadis dan
solusi teologis bagi persoalan yang sedang dihadapi masyarakat.
Melalui kitab itu
juga, ia telah berhasil memperkenalkan kajian hadis kepada umat Islam di
Indonesia yang diambil lansung dari kitab-kitab hadis primer, meskipun tidak
semuanya.
Hadits telah mendarah
daging pada kesehariannya. Terutama pada bulan Ramadhan. KH Hasyim Asy'ari
memiliki kebiasaan membaca kitab hadits Sahih Bukhari, kitab yang berisi
himpunan hadits Nabi sebanyak 7.275. Tradisi ini di kalangan pesantren disebut
pasanan atau pasaran.
Pada tiap Ramadhan,
pengajian hadits KH Hasyim Asy'ari terkait kitab hadits itu para kiai dari
berbagai pelosok negeri menyempatkan diri mondok selama sebulan. Mereka
menyimak bacaan hadits Rais Akbar Nahdlatul Ulama itu.
Ia membacanya dengan
cermat, tetapi cepat, seolah-olah kitab hadits itu sudah dihafalnya.
Pada buku lain,
Aboebakar Atjeh dalam Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasyim, sebagaimana dikutip
Ajie Najmuddin, pada masa hidup Kiai Hasyim, lumrahnya di Bulan Ramadhan
pesantren menjadi sepi, sebab para santri diliburkan untuk diberikan kesempatan
pulang ke kampungnya masing-masing. Namun, sebaliknya di Tebuireng, suasana
justru bertambah ramai, karena kedatangan oleh para santri yang ingin
menghabiskan Ramadhan bersama sang guru tercinta.
“Ia (Hadratussyaikh,
red) selama bulan puasa memberi kuliah istimewa mengenai ilmu hadist karangan
Al-Bukhari dan Muslim. Kedua kitab hadist yang penting ini harus khatam dalam
sebulan puasa itu dan oleh karena itu, jadilah bulan ini suatu bulan yang penting
bagi kiai-kiai bekas muridnya di seluruh Jawa. Dalam bulan puasa, bekas
murid-muridnya yang sudah memimpin pesantren di mana-mana, biasanya memerlukan
datang tetirah ke Tebuireng, tidak saja untuk melanjutkan hubungan silaturahmi
dengan gurunya, tetapi juga untuk mengikuti seluruh kuliah istimewa mengenai
hadist Al-Bukhari dan Muslim guna mengambil berkah atau tabaruk,” (Atjeh,
105-106).
Pengajian tersebut
biasanya diselenggarakan di pendopo masjid. Tempat ini dalam kesehariannya juga
digunakan untuk mengajar para santri. Biasanya beliau mengajar bahkan sampai
tengah malam. Sebagai tempat duduk, digunakan alas sepotong kasur yang ditutupi
dengan sepotong tikar atau sepotong kulit biri-biri, dan di sampingnya terdapat
sebuah bangku untuk meletakkan beberapa kitab. []
(Abdullah Alawi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar