Kemasyhuran Pesantren
Kota di Era 1930-an
KH Saifuddin Zuhri
dalam buku Berangkat dari Pesantren menyebutkan istilah 'pesantren kota' serta
'santri kota', ketika ia berkisah tentang pengalamannya menuntut ilmu di Kota
Solo.
Meski sudah nyantri
di kampung halamannya, Sokaraja, Saifuddin muda begitu mengidamkan untuk
bersekolah di Kota Bengawan.
Selain karena
mengidolakan Ustadz Mursyid yang asli Solo, rupanya ia juga telah banyak
mendengar di sana tentang kemajuan-kemajuannya, banyaknya tempat pendidikan
Islam serta kehidupan kaum pergerakan.
Singkat cerita,
sekitar tahun 1937 ia pun berangkat ke Solo. Di sana, ia sempat belajar di
beberapa madrasah, antara lain Mambaul Ulum, Salafiah Mangkunegaran, dan
Al-Islam.
Hal yang dialami oleh
Saifuddin muda tersebut, ternyata juga dilakukan oleh banyak anak muda
seumurannya. Keberadaan Mambaul Ulum sebagai sekolah calon penghulu agama,
serta Pesantren Jamsaren yang begitu masyhur membuat Kota Solo menjadi
destinasi para pelajar dari berbagai daerah.
Di masa itu,
tokoh-tokoh ulama yang menjadi rujukan belajar para santri antara lain Kiai Abu
Amar (pengasuh pesantren Jamsaren), Kiai Ma'ruf Mangunwiyoto (pengasuh
pesantren Jenengan), Kiai Imam Ghozali (pengasuh Madrasah Al-Islam), Kiai
Dimyathi al-Karim (lulusan Pesantren Tremas, pemimpin Madrasah Salafiah), dan
lain sebagainya. Mayoritas para ulama tersebut bermadzhab Syafi'iyyah, meski
tidak semua dari ikut jam'iyyah NU.
Kitab-kitab yang
diajarkan pun tak jauh berbeda dengan di pesantren kebanyakan, serta sistem
pengajarannya juga menggunakan metode sorogan dan bandongan dengan ejaan
pesantren, seperti utawi iki iku, ing dalem, dan sebagainya.
Khusus untuk kaum
perempuan, mereka bisa bersekolah di Madrasah Nahdlatul Muslimat yang dikelola
Tokoh Muslimat NU Nyai Mahmudah Mawardi.
Dalam kesehariannya
para santri tidak melulu mesti tinggal di kompleks pesantren. Seperti yang
dilakukan Saifuddin muda, ia memilih untuk tinggal di sebuah langgar yang
terletak di Keprabon Wetan. Dengan begitu, setiap hari ia bisa bersekolah di
sekolah formal pada pagi hari, sedangkan sore atau malamnya, ia bisa mengaji
kepada Kiai Masyhud yang rumahnya bersebelahan dengan langgar yang ia tempati.
Yang menarik, selain
belajar ilmu agama, selama di kota, para santri juga bisa menambah ilmu
pengetahuan lainnya yang mungkin belum diajarkan di pesantren pedesaan kala
itu. Mereka bisa mengikuti kursus jurnalistik, pidato, bahkan kongres-kongres
kaum pergerakan yang menghadirkan tokoh penting di zamannya.
Begitulah, sekelumit
riwayat pesantren kota di Solo, yang dengan segala perkembangane dan dinamika
yang ada, mampu melahirkan banyak tokoh penting untuk bangsa ini. []
(Ajie Najmuddin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar