Jumat, 12 April 2019

Kemasyhuran Pesantren Kota di Era 1930-an


Kemasyhuran Pesantren Kota di Era 1930-an

KH Saifuddin Zuhri dalam buku Berangkat dari Pesantren menyebutkan istilah 'pesantren kota' serta 'santri kota', ketika ia berkisah tentang pengalamannya menuntut ilmu di Kota Solo.

Meski sudah nyantri di kampung halamannya, Sokaraja, Saifuddin muda begitu mengidamkan untuk bersekolah di Kota Bengawan. 

Selain karena mengidolakan Ustadz Mursyid yang asli Solo, rupanya ia juga telah banyak mendengar di sana tentang kemajuan-kemajuannya, banyaknya tempat pendidikan Islam serta kehidupan kaum pergerakan.

Singkat cerita, sekitar tahun 1937 ia pun berangkat ke Solo. Di sana, ia sempat belajar di beberapa madrasah, antara lain Mambaul Ulum, Salafiah Mangkunegaran, dan Al-Islam.

Hal yang dialami oleh Saifuddin muda tersebut, ternyata juga dilakukan oleh banyak anak muda seumurannya. Keberadaan Mambaul Ulum sebagai sekolah calon penghulu agama, serta Pesantren Jamsaren yang begitu masyhur membuat Kota Solo menjadi destinasi para pelajar dari berbagai daerah.

Di masa itu, tokoh-tokoh ulama yang menjadi rujukan belajar para santri antara lain Kiai Abu Amar (pengasuh pesantren Jamsaren), Kiai Ma'ruf Mangunwiyoto (pengasuh pesantren Jenengan), Kiai Imam Ghozali (pengasuh Madrasah Al-Islam), Kiai Dimyathi al-Karim (lulusan Pesantren Tremas, pemimpin Madrasah Salafiah), dan lain sebagainya. Mayoritas para ulama tersebut bermadzhab Syafi'iyyah, meski tidak semua dari ikut jam'iyyah NU.

Kitab-kitab yang diajarkan pun tak jauh berbeda dengan di pesantren kebanyakan, serta sistem pengajarannya juga menggunakan metode sorogan dan bandongan dengan ejaan pesantren, seperti utawi iki iku, ing dalem, dan sebagainya.

Khusus untuk kaum perempuan, mereka bisa bersekolah di Madrasah Nahdlatul Muslimat yang dikelola Tokoh Muslimat NU Nyai Mahmudah Mawardi.

Dalam kesehariannya para santri tidak melulu mesti tinggal di kompleks pesantren. Seperti yang dilakukan Saifuddin muda, ia memilih untuk tinggal di sebuah langgar yang terletak di Keprabon Wetan. Dengan begitu, setiap hari ia bisa bersekolah di sekolah formal pada pagi hari, sedangkan sore atau malamnya, ia bisa mengaji kepada Kiai Masyhud yang rumahnya bersebelahan dengan langgar yang ia tempati.

Yang menarik, selain belajar ilmu agama, selama di kota, para santri juga bisa menambah ilmu pengetahuan lainnya yang mungkin belum diajarkan di pesantren pedesaan kala itu. Mereka bisa mengikuti kursus jurnalistik, pidato, bahkan kongres-kongres kaum pergerakan yang menghadirkan tokoh penting di zamannya.

Begitulah, sekelumit riwayat pesantren kota di Solo, yang dengan segala perkembangane dan dinamika yang ada, mampu melahirkan banyak tokoh penting untuk bangsa ini. []

(Ajie Najmuddin)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar