Sistem Pemilu yang Membunuh
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Berdasarkan sumber Republika
pekan yang lalu, korban meninggal dunia KPPS plus aparat negara yang bertugas
baru berada pada angka 20 orang (lih. "Resonansi", 23 April 2019,
hlm. 9). Empat hari kemudian, pada 27 April, menurut KPU, anggota KPPS yang
menjadi korban meninggal dunia ada pada angka 272 (naik jadi sekitar 1.400
persen) dan yang sakit sebesar 1.878.
Ini bukan angka kematian yang main-main. Tinggi sekali. Siapa yang
harus memikul dosa? Tentunya ini adalah dosa kolektif. Tetapi yang lebih besar
dosanya adalah MK dan para pengusul sistem pemilu serentak ini dengan dalih
efisiensi dan biaya lebih murah.
Jelas para pengusul dan hakim MK pada 2014 itu tidak berpikir jauh
dengan mengabaikan manajemen pelaksanaan yang ruwet dan sangat melelahkan.
Publik pun waktu itu mengamini saja gagasan pemilu serentak ini.
Sekiranya korban tidak mencapai angka setinggi itu, keruwetan
pelaksanaan pemilu mungkin tidak akan memicu keguncangan psikologis seperti
sekarang ini. Negara dan para pengusul tidak cukup hanya minta maaf dan
memberikan santunan kepada keluarga korban, tetapi harus berjanji untuk tidak
mengulang kesalahan fatal yang merenggut nyawa para petugas ini. Sistem pemilu
wajib diubah segera.
Sekiranya korban meninggal dunia dalam jumlah itu akibat jatuhnya
pesawat terbang, misalnya, jagat raya pasti akan heboh berbulan-bulan. Namun,
jika karena korban pemilu hanyalah dinilai ringan karena meninggal dunia dalam
menjalankan tugas negara. Cara berpikir yang semacam ini adalah sesat dan
keliru setelah diuji dalam pelaksanaan.
Oleh sebab itu, UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 dan pelaksanaannya di
lapangan jangan dibiarkan menggantung terlalu lama, demi menghormati korban
nyawa yang setinggi itu. Kita semua harus belajar dari kesalahan fatal dalam
merumuskan sesuatu UU dan risiko pelaksanaannya di lapangan.
UU ini dengan persetujuan DPR RI ditekan Presiden Joko Widodo
tanggal 15 Agustus 2017 dan diundangkan oleh Menkumham Yasonna H Laoly pada 16
Agustus 2017. UU ini sangat gemuk dengan 573 pasal plus penjelasan dan empat
lampiran.
Memang dalam UU ini tidak dimuat tentang sistem pemilu serentak
yang dilaksanakan pada 2019 ini, karena hal itu berdasarkan Keputusan MK No
14/PUU-XI/2013 tentang pemilu serentak yang diputuskan pada 23 Januari 2014
dengan Ketua MK Hamdan Zoelvan ketika itu.
Keputusan MK ini disambut gembira oleh berbagai pihak. Effendi
Gazali sebagai salah seorang pengusul berkata: “Ini merupakan kemenangan
rakyat, tetapi kita kecewanya putusan ini ditunda-tunda pembacaannya.”
Ada lagi komentar pakar hukum tata negara Irman Putra Sidin yang
menyambut dengan riang keputusan MK ini: “Saya kira semua dimenangkan dengan
keputusan ini dan tidak ada yang kalah.” Anggota DPR Fraksi PDI-P Trimedya
Panjaitan malah menilai “keputusan MK ini cukup negarawan, arif, dan
bijaksana.”
Nah, sekarang, karena ternyata pemilu serentak itu telah menjadi
sistem pembunuh terhadap anggota KPPS, apakah komentar dan pujian di atas tidak
perlu dicabut kembali dan sampaikan penyesalan yang mendalam.
Ternyata para penegak hukum, pakar, dan elite politik telah
melakukan kesalahan karena tidak mampu memperkirakan pelaksanaannya di lapangan
yang demikian sulit, ruwet, dan sangat melelahkan.
Nyawa manusia yang melayang dalam jumlah ratusan itu semestinya,
menyadarkan elite bangsa ini untuk ekstra hati-hati dalam membuat keputusan
politik dan hukum publik, yang menyangkut masalah besar tentang nasib bangsa
dan negara.
Para hakim MK yang menyandang kedudukan sebagai negarawan pada
masa sekarang dan pada masa yang akan datang harus benar-benar bijak, cerdas,
dan hati-hati dalam mengabulkan atau tidak mengabulkan usulan judicial review yang
diajukan oleh mereka yang mengaku para pakar komunikasi, tata negara, dan siapa
pun yang menjadi pengusul. Cukup sekali ini saja korban pelaksana pemilu yang
telah merenggut nyawa manusia demikian banyak.
Terakhir, sekali lagi, pemilu serentak yang relatif aman dan damai
ini, jika tidak dicederai oleh pelaksanaan di lapangan yang telah membunuh
demikian banyak warga bangsa, bisa saja diteruskan pada pemilu-pemilu yang akan
datang. Namun, dengan korban nyawa yang demikian masif maka sistem pemilu ini
wajib ditinjau, dipelajari, dan diubah segera.
Nyawa manusia jangan lagi dikorbankan oleh sistem pemilu serentak
yang semula demikian dielu-elukan: efisien dan lebih murah! Saya juga kecewa
berat karena paslon 01 dan 02 seperti membisu atas kematian yang tragis dan
dramatis ini. []
REPUBLIKA, 30 April 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar