Selasa, 30 April 2019

Buya Syafii: Sistem Pemilu yang Membunuh


Sistem Pemilu yang Membunuh
Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Berdasarkan sumber Republika pekan yang lalu, korban meninggal dunia KPPS plus aparat negara yang bertugas baru berada pada angka 20 orang (lih. "Resonansi", 23 April 2019, hlm. 9). Empat hari kemudian, pada 27 April, menurut KPU, anggota KPPS yang menjadi korban meninggal dunia ada pada angka 272 (naik jadi sekitar 1.400 persen) dan yang sakit sebesar 1.878.

Ini bukan angka kematian yang main-main. Tinggi sekali. Siapa yang harus memikul dosa? Tentunya ini adalah dosa kolektif. Tetapi yang lebih besar dosanya adalah MK dan para pengusul sistem pemilu serentak ini dengan dalih efisiensi dan biaya lebih murah.

Jelas para pengusul dan hakim MK pada 2014 itu tidak berpikir jauh dengan mengabaikan manajemen pelaksanaan yang ruwet dan sangat melelahkan. Publik pun waktu itu mengamini saja gagasan pemilu serentak ini.

Sekiranya korban tidak mencapai angka setinggi itu, keruwetan pelaksanaan pemilu mungkin tidak akan memicu keguncangan psikologis seperti sekarang ini. Negara dan para pengusul tidak cukup hanya minta maaf dan memberikan santunan kepada keluarga korban, tetapi harus berjanji untuk tidak mengulang kesalahan fatal yang merenggut nyawa para petugas ini. Sistem pemilu wajib diubah segera.

Sekiranya korban meninggal dunia dalam jumlah itu akibat jatuhnya pesawat terbang, misalnya, jagat raya pasti akan heboh berbulan-bulan. Namun, jika karena korban pemilu hanyalah dinilai ringan karena meninggal dunia dalam menjalankan tugas negara. Cara berpikir yang semacam ini adalah sesat dan keliru setelah diuji dalam pelaksanaan.

Oleh sebab itu, UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 dan pelaksanaannya di lapangan jangan dibiarkan menggantung terlalu lama, demi menghormati korban nyawa yang setinggi itu. Kita semua harus belajar dari kesalahan fatal dalam merumuskan sesuatu UU dan risiko pelaksanaannya di lapangan.

UU ini dengan persetujuan DPR RI ditekan Presiden Joko Widodo tanggal 15 Agustus 2017 dan diundangkan oleh Menkumham Yasonna H Laoly pada 16 Agustus 2017. UU ini sangat gemuk dengan 573 pasal plus penjelasan dan empat lampiran.

Memang dalam UU ini tidak dimuat tentang sistem pemilu serentak yang dilaksanakan pada 2019 ini, karena hal itu berdasarkan Keputusan MK No 14/PUU-XI/2013 tentang pemilu serentak yang diputuskan pada 23 Januari 2014 dengan Ketua MK Hamdan Zoelvan ketika itu.

Keputusan MK ini disambut gembira oleh berbagai pihak. Effendi Gazali sebagai salah seorang pengusul berkata: “Ini merupakan kemenangan rakyat, tetapi kita kecewanya putusan ini ditunda-tunda pembacaannya.”

Ada lagi komentar pakar hukum tata negara Irman Putra Sidin yang menyambut dengan riang keputusan MK ini: “Saya kira semua dimenangkan dengan keputusan ini dan tidak ada yang kalah.” Anggota DPR Fraksi PDI-P Trimedya Panjaitan malah menilai “keputusan MK ini cukup negarawan, arif, dan bijaksana.”

Nah, sekarang, karena ternyata pemilu serentak itu telah menjadi sistem pembunuh terhadap anggota KPPS, apakah komentar dan pujian di atas tidak perlu dicabut kembali dan sampaikan penyesalan yang mendalam.

Ternyata para penegak hukum, pakar, dan elite politik telah melakukan kesalahan karena tidak mampu memperkirakan pelaksanaannya di lapangan yang demikian sulit, ruwet, dan sangat melelahkan.

Nyawa manusia yang melayang dalam jumlah ratusan itu semestinya, menyadarkan elite bangsa ini untuk ekstra hati-hati dalam membuat keputusan politik dan hukum publik, yang menyangkut masalah besar tentang nasib bangsa dan negara.

Para hakim MK yang menyandang kedudukan sebagai negarawan pada masa sekarang dan pada masa yang akan datang harus benar-benar bijak, cerdas, dan hati-hati dalam mengabulkan atau tidak mengabulkan usulan judicial review yang diajukan oleh mereka yang mengaku para pakar komunikasi, tata negara, dan siapa pun yang menjadi pengusul. Cukup sekali ini saja korban pelaksana pemilu yang telah merenggut nyawa manusia demikian banyak.

Terakhir, sekali lagi, pemilu serentak yang relatif aman dan damai ini, jika tidak dicederai oleh pelaksanaan di lapangan yang telah membunuh demikian banyak warga bangsa, bisa saja diteruskan pada pemilu-pemilu yang akan datang. Namun, dengan korban nyawa yang demikian masif maka sistem pemilu ini wajib ditinjau, dipelajari, dan diubah segera.

Nyawa manusia jangan lagi dikorbankan oleh sistem pemilu serentak yang semula demikian dielu-elukan: efisien dan lebih murah! Saya juga kecewa berat karena paslon 01 dan 02 seperti membisu atas kematian yang tragis dan dramatis ini. []

REPUBLIKA, 30 April 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar