Inilah Sembilan Kesunnahan
dalam Khutbah
Khutbah Jumat merupakan salah satu bagian
terpenting dalam pelaksanaan Jumat. Khutbah Jumat tidak sama dengan
ceramah-ceramah biasa. Ada beberapa anjuran yang perlu diperhatikan. Berikut
ini Sembilan hal yang disunnahkan dalam pelaksanaan khutbah Jumat.
Pertama, khutbah di atas
mimbar.
Anjuran ini karena mengikuti sunnah Nabi
sebagaimana hadits riwayat Imam al-Bukhari dan Muslim. Demikian pula
disunnahkan posisi mimbar berada di sebelah kanan mihrab (pengimaman). Bila
tidak ditemukan mimbar, maka cukup digantikan dengan tempat yang tinggi,
tujuannya karena lebih sempurna dalam memperdengarkan khutbah kepada Jamaah.
Kedua, menghadap para
jamaah.
Khutbah dianjurkan dilakukan dalam posisi
menghadap para jamaah, bukan membelakangi mereka. Bagi para jamaah disunnahkan
pula menghadapkan wajahnya kepada khatib. Dalam titik ini, terdapat beberapa
hadits Nabi yang menjelaskan hal tersebut. Di antaranya haditsnya ‘Adi bin
Tsabit dari ayahnya bahwa beliau mengatakan:
كَانَ
النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ عَلَى الْمِنْبَرِ
اسْتَقْبَلَهُ أَصْحَابُهُ بِوُجُوهِهِمْ
“Nabi Saw saat berdiri di atas mimbar, para
sahabatnya menghadapkan wajahnya kepada beliau.” (HR. Ibnu Majah)
Ketiga, azan sebelum
khutbah.
Pada masa Rasulullah Saw, Abu Bakr dan Umar
bin Khattab, azan sebelum khutbah hanya dilakukan sekali, yaitu saat khatib
datang dan mengambil posisi duduk di atas mimbar. Baru di masa pemerintahan
Utsman bin Affan ditambahkan satu azan lagi. Sahabat Utsman menganggap sangat
perlu menambahkan satu azan untuk lebih mengumpulkan kaum muslim agar segera
bersiap mendengarkan bacaan khutbah, melihat jumlah kuantitas umat islam yang
bertambah banyak.
Dalam kitab al-Umm karya imam
al-Syafi’i ditegaskan:
أخبرنا
الرَّبِيعُ قال أخبرنا الشَّافِعِيُّ قال أخبرني الثِّقَةُ عن الزُّهْرِيِّ عن
السَّائِبِ بن يَزِيدَ أَنَّ الْأَذَانَ كان أَوَّلُهُ لِلْجُمُعَةِ حين يَجْلِسُ
الْإِمَامُ على الْمِنْبَرِ على عَهْدِ رسول الله صلى الله عليه وسلم وأبى بَكْرٍ
وَعُمَرَ فلما كانت خلافه عُثْمَانَ وَكَثُرَ الناس أَمَرَ عُثْمَانَ بِأَذَانٍ
ثَانٍ فَأُذِّنَ بِهِ فَثَبَتَ الْأَمْرُ على ذلك
“Dari al-Rabi’, dari al-Syafi’i, dari
seseorang yang terpercaya, dari al-Zuhri, dari al-Saib bin Yazid, bahwa
mula-mula azan Jumat dikumandangkan saat imam duduk di atas mimbar di zaman
Rasulullah, Abu Bakr dan Umar. Kemudian saat pemerintahan Utsman bin Affan dan
semakin banyaknya umat islam, khalifah Utsman memerintahkan azan yang ke dua,
kemudian dikumandangkan azan sesuai perintahnya. Kemudian azan jumat berlaku
tetap seperti petunjuk shabat Utsman.” (al-Imam al-Syafi’i, al-Umm, juz
1, hal.195).
Keempat, membaca khutbah
dengan lantang.
Khutbah hendaknya dibaca dengan lantang dan
keras. Hal ini agar dapat lebih menggugah antusiasme jamaah. Anjuran ini juga
berdasarkan sunnah fi’liyyah (perilaku) Nabi saat beliau menyampaikan khutbah.
Ditegaskan dalam hadits riwayat sahabat Jabir bin Abdillah:
كَانَ
رَسُولُ الله - صلى الله عليه وسلم - إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ وَعَلَا
صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ حَتَّى كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْشٍ
“Rasulullah Saw saat beliau berkhutbah, kedua
matanya memerah, suaranya lantang dan tampak sangat marah seakan-akan beliau
memperingatkan tentara perang.” (HR. Muslim).
Kelima, mengucapkan salam
sebelum berkhutbah.
Saat khatib maju ke depan dan telah sampai di
depan mimbar, hendaknya ia menghadap para jamaah dan mengucapkan salam kepada
mereka, setelah itu dianjurkan duduk sejenak sampai muazzin selesai
mengumandangkan azan di hadapannya. Demikian itu sebagaimana dilakukan oleh
para Nabi dan para sahabatnya.
Keenam, durasi khutbah
tidak terlampau pendek dan panjang.
Khutbah hendaknya disampaikan dalam durasi
yang standar, tidak terlampau pendek, tidak pula terlalu panjang. Dalam sebuah
hadits ditegaskan:
كَانَتْ
صَلَاةُ النَّبِيّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَصْدًا وَخُطْبَتُهُ
قَصْدًا
“Bahwa durasi shalat dan khutbahnya Nabi
sesuai dengan standar umum.” (HR. Muslim)
Tidak ada batasan pasti berapa lama durasi
waktu khutbah yang ideal menurut syari’at. Hanya saja, al-Imam al-Mawardi
menggaris bawahi bahwa prinsipnya adalah tidak terlampau lama sehingga dapat
membosankan dan tidak terlampau pendek sehingga pesan khutbah tidak dapat
dicerna dengan baik oleh jamaah. Dalam titik ini, disesuaikan dengan kondisi
kebiasaan masing-masing di setiap tempatnya.
Al-Imam al-Mawardi sebagaimana dikutip oleh
Syekh Ahmad bin Hamzah al-Ramli mengatakan:
وَحَسُنَ
قَوْلُ الْمَاوَرْدِيِّ وَيَقْصِدُ إيرَادَ الْمَعْنَى الصَّحِيحِ وَاخْتِيَارَ
اللَّفْظِ الْفَصِيحِ وَلَا يُطِيلُ إطَالَةً تُمِلُّ وَلَا يُقَصِّرُ تَقْصِيرًا
يُخِلُّ
“Dan bagus statemen al-Mawardi, hendaknya
khatib menyengaja makna yang benar dan memilih redaksi yang fasih, hendaknya ia
tidak memanjangkan khutbah yang dapat membosankan dan tidak memendekan khutbah
yang dapat merusak pesan khutbah.” (Syekh Ahmad bin Hamzah al-Ramli, Hasyiyah
‘ala Asna al-Mathalib, juz 3, hal.484).
Yang sering disalahpahami, khutbah dengan
durasi yang sangat panjang merupakan sebuah prestasi dan dianggap positif.
Padahal, hal tersebut tidak sesuai dengan petunjuk Nabi.
Sebagaimana ditegaskan dalam beberapa hadits,
bahwa Nabi memendekan khutbah dan memanjangkan shalat Jumat. Bacaan khutbah
yang terlampau panjang, di samping bertentangan dengan ajaran Nabi, juga dapat
mengakibatkan jamaah resah, karena beberapa di antara mereka terdapat orang
tua, anak kecil dan orang-orang yang segera melanjutkan aktivitas
kerjanya.
Ketujuh, memegang tongkat
dengan tangan kirinya.
Saat ia berkhutbah, tangan kiri khatib
dianjurkan memegang tongkat, pedang, busur panah atau benda-benda sejenis. Hal
ini berdasarkan hadits Nabi:
أَنَّهُ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ فِي خُطْبَةِ الْجُمُعَةِ مُتَوَكِّئًا
عَلَى قَوْسٍ أَوْ عَصًا
“Bahwa Nabi berdiri dalam khutbah Jumat
seraya berpegangan atas busur tanah atau tongkat.” (HR. Abu Daud).
Kedelapan, mudah dipaham
jamaah.
Sebaiknya materi khutbah berupa konten yang
ringan, mudah dicerna oleh para jamaah. Tidak menyampaikan materi yang berat,
sebab hal tersebut tidak dapat diambil manfaatnya. Contoh materi yang sederhana
misalkan yang berkaitan dengan keutamaan berjamaah, keutamaan membaca al-quran,
kemuliaan bulan-bulan tertentu, bahaya riba, efek negatif zina dan lain
sebagainya. Sahabat Ali mengatakan:
حَدِّثُوا
النَّاسَ بِمَا يَعْرِفُونَ أَتُحِبُّونَ أَنْ يُكَذَّبَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ
“Bicaralah kepada manusia dengan perkara yang
mereka ketahui. Apakah kalian suka Allah dan rasulNya didustakan?.” (HR.
al-Bukhari).
Kesembilan, duduk di antara dua
khutbah dalam durasi bacaan surat al-Ikhlash.
Lama durasi duduk di antara dua khutbah
hendaknya sekira cukup membaca surat al-Ikhlash. Dalam posisi tersebut, khatib
disunnahkan membaca satu dua ayat dari al-Qur’an sebagiamana hadits riwayat
Ibnu Hibban. Sebagian ulama menganjurkan yang dibaca adalah surat al-Ikhlash.
Demikianlah Sembilan hal yang disunnahkan
dalam khutbah. Semoga bermanfaat. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar