Becermin dengan
'Wawasan Pancasila'
Penulis
: Yudi Latif
Judul
: Wawasan Pancasila, Bintang Penuntun
untuk Pembudayaan
Cetakan
: Ke-1, Oktober 2018
Tebal
: VIII+315
Penerbit
: Mizan
ISBN
: 978-602-441-089-6
Peresensi
: Syakir NF, mahasiswa pascasarjana Fakulas Islam Nusantara Universitas
Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta
Laku koruptif dan
sikap diskriminatif masih saja aktif. Tindak radikal dan ujaran kebencian tak
pernah pasif. Langkah taktis nan strategis pemerintah sudah represif. Namun,
suasana kebangsaan tak kunjung kondusif. Belum lagi diperparah dengan
berita-berita fiktif.
Lahirnya Wawasan
Pancasila dari rahim pemikiran Yudi Latif menjadi oase dan angin segar bagi
gersangnya suasana dan panasnya atmosfer politik yang tengah berkecamuk
akhir-akhir ini guna mengoreksi atas keindonesiaan pribadi.
Di Papua, terjadi
penembakan terhadap para pekerja yang tengah membangun jembatan di Kabupaten
Nduga. Sebelumnya, publik juga diramaikan dengan pro kontra perda syariah. Ada
lagi tentang pertemuan ribuan orang di Monumen Nasional mengatasnamakan
identitas tertentu. Publik seolah terus dibenturkan menjadi dua kelompok, satu
kubu setuju dan lainnya yang tak sepakat.
Benturan demikian
bukan saja membulirkan peluh, tapi juga membuat lingkungan teduh menjadi gaduh.
Penyakit demikian dari dulu tak kunjung sembuh. Malah semakin mengaduh akibat
sana sini saling misuh. Padahal pengalaman kita jika dihitung tahun sudah
berbilang puluh.
Keramaian di jagat
maya tak menghasilkan buah manis di dunia nyata. Alih-alih memikirkan manfaat
bagi masyarakat, kita justru terjebak pada kepentingan sesat dan sesaat. Habis
energi, bangsa sendiri yang harus menanggung rugi.
Melihat kondisi
demikian, perlu kiranya masyarakat menengok kembali ke masa lalu guna refleksi,
kilas balik atas perjalanan para pendiri membangun pondasi negeri. Di atas
segala perbedaan, baik ras, agama, maupun golongan, mereka telah bersepakat
Pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Yudi Latif
menguraikan perumusan lima poin penting hasil perasan atas berbagai pemikiran
yang ada di dunia itu dengan rinci yang terbagi ke dalam tiga fase, yakni fase
perintisan, fase perumusan, dan fase pengesahan.
Pria yang menamatkan
studi magister dan doktoralnya di Universitas Nasional Australia (ANU) itu juga
membahas Pancasila secara yuridis, filosofis, hingga praktis. Pada sektor
pertama, Kang Yudi, sapaan akrabnya, menguraikan Pancasila sebagai dasar
konstitusi negara. Selanjutnya, ia menjelaskan makna terdalam yang terkandung
dalam lima sila itu dari segi dimensi ontologis, epistimologis hingga
aksiologis. Dimensi terakhir, aksiologis, diperluas bukan hanya sebagai laku
diri dan karakter pribadi, tetapi juga sebagai benteng atas degenerasi akibat
globalisasi yang mencakup ideologi transnasional hingga gempuran pasar
internasional.
Sebagai suatu
diskursus yang sejak mula kelahirannya juga sudah menuai perdebatan, Pancasila
tentu saja tidak antikritik. Ia tidaklah sempurna. Namun, ketidaksempurnaan itu
tidak menggugurkan posisinya sebagai suatu hasil dari sebuah kesepakatan. Baik
buruk dari hasil itu harus ditanggung bersama. Adapun segala kekurangan,
sebagaimana yang dikritisi oleh Yudi Latif, seperti eksklusi sosial dalam
berketuhanan yang tidak lagi mencerminkan berkebudayaan, itu yang harus
dipenuhi oleh kita saat ini. Tidak lagi mempersoalkan redaksi lima sila itu,
terlebih mengganti dasar konstitusi tersebut yang sudah sejak dulu menjadi
kesepakatan bersama. Karena itu juga, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI)
KH Ma'ruf Amin menyebut NKRI sebagai negara kesepakatan (dar al-mitsaq).
Oleh karena itu,
kehadiran buku dari akademisi yang secara mendalam menekuni diskursus Pancasila
ini tentu sangat penting saat ini. Tulisan yang cair memberikan kenikmatan
tersendiri bagi pembaca. Meskipun Yudi sulit atau entah sengaja tidak
melepaskan diksi-diksi ilmiahnya sehingga bagi awam sesekali perlu sedikit
waktu memahaminya atau bahkan hingga membuka kamus. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar