Kekerasan Seksual dalam
Fiqih (7): Pencabulan oleh Non-Mahram dan Sanksinya
Dalam sebuah jurnal penelitian yang
dipublikasikan oleh Lex Crimen Volume II Nomor 1, terbit pada bulan Januari-Maret
tahun 2013 disebutkan bahwa latar belakang terjadinya perkosaan dan pencabulan
adakalanya bukan disebabkan oleh dorongan seksual yang tidak bisa dikendalikan.
Perkosaan kadangkala akibat adanya peluang yang diciptakan oleh korban sendiri
dengan menyanggupi keinginan pelaku untuk jalan-jalan atau naik ke mobil. Di
suatu tempat pada saat posisi korban tidak berdaya dan tidak ada orang lain
yang bisa menolong, di situlah modus pencabulan dan pemerkosaan terjadi.
Beberapa kasus memiliki modus operandi yang
sama, yakni seringkali korban percaya kepada pelaku. Saat ditawarkan minuman
beralkohol, korban lalu percaya dan menerimanya, tanpa ada kecurigaan
sedikitpun kepada pelaku yang sudah mempunyai niat untuk melakukan
perkosaan/pencabulan. Ini yang akan menjadi fokus kajian fiqih kita pada kasus
pencabulan kali ini.
Berdasarkan publikasi Buletin Psikologi,
Tahun XI, No. 2 Desember 2003, diinformasikan bahwa tindakan pencabulan
kadangkala dilakukan oleh pelaku dengan jalan menyentuh organ vital dengan
tangan, atau rabaan, menggelitik, remasan, mendekap, mencium atau dengan modus
lain berupa memasukkan suatu alat ke kelamin korban. Catatan kasus yang terjadi
di rumah sakit Surabaya oleh salah seorang perawat beberapa waktu lalu hanya
merupakan salah satu contoh saja. Namun untuk kasus pencabulan dengan alat ini,
yang kadangkala sulit dideteksi. Untuk kasus rabaan, ciuman, sentuhan, remasan,
dan lain-lain sudah kita bahas pada tulisan terdahulu. Kali ini fokus utama
kita adalah pada kajian fiqih untuk kasus pencabulan yang melibatkan hilangnya
keperawanan.
Perlu digarisbawahi bahwa kasus ini kadang
tidak hanya terjadi pada perempuan saja, akan tetapi juga kadang menimpa kaum
laki-laki. Saudara pernah mendengar istilah laki-laki amrad? Laki-laki amrad
adalah laki-laki yang memiliki wajah cantik, namun ia laki-laki dan berjiwa
laki-laki. Dalam beberapa teks fiqih disebutkan bahwa laki-laki amrad dilarang
bepergian tanpa disertai mahram.
Kajian terdahulu menyebut bahwa perempuan
yang menjadi korban dengan modus operandi pencabulan ini disebut sebagai mustakrahah
(yang dipaksa). Untuk korban, telah disepakati oleh ulama sebagai yang tidak
berlaku pidana atau hukuman baginya. Bagaimana dengan pelakunya?
Untuk pelaku pencabulan semacam ini, had bagi
pelaku harus tetap menilik pada syarat pelaku yaitu:
1.
Sebagai orang yang telah baligh,
2.
Berakal,
3.
Merdeka yang dalam istilah kontemporer sering dimaknai sebagai memiliki
kebebasan berbuat
4.
Ia tahu bahwa zina adalah diharamkan.
Bentuk hukuman yang ditawarkan syariat
terhadap kejahatan pencabulan yang menghilangkan keperawanan ini, ada beberapa
segi, sesuai dengan hierarki pidana sanksi pelukaan (had jarîmah). Dalam
kasus pencabulan yang melibatkan hilangnya keperawanan, berlaku jarimah
ta’zir (sanksi yang mengandung unsur pidana penjeraan). Dalam literatur
fiqih terdapat dua had yang bisa diberikan, yaitu:
1.
Ganti rugi/denda sebab penghilangan keperawanan (arsyun bikarah) yang
ditetapkan oleh hakim (diyat hukumah)
2.
Apabila sampai terjadi penghilangan fungsi anggota tubuh dan kelamin
(menghilangkan fungsi kenikmatan jima’) maka berlaku pidana qishash.
Beberapa kalangan ada yang menyebutnya sebagai hukum pengebirian dengan qiyas
kepada penghilangan fungsi mata, tangan, gigi, dan sejenisnya.
Karena dalam kasus pencabulan ini tidak ada
unsur persenggamaan di dalamnya, maka pidana pengasingan (taghrib) dan
dera cambuk (untuk pelaku yang belum menikah) dan rajam (untuk pelaku
yang sudah menikah) tidak bisa diterapkan. Karena, bagaimanapun juga, syarat
pelaku bisa disebut zina adalah selain ia sudah berusia mukallaf, ada
syarat lain juga harus terjadi pertemuan dua khitan.
Jika demikian lantas apa kedudukan alat yang
dipergunakan untuk memaksakan penghilangan keperawanan bagi gadis tersebut
dalam syariat, dan apa bentuk sanksi yang bisa diterapkan kepada pelaku?
Sudah pasti bahwa alat ini sifatnya adalah
sama dengan kedudukan alat bukti melakukan pelukaan. Itulah sebabnya, kategori
kekerasan seksual pencabulan yang melibatkan perusakan keperawanan ini masuk
unsur jarîmah. Salah satu dasar yang bisa dipergunakan dalam hal ini
adalah sebagai berikut:
ـ
(فرع : في إزالة بكارة أجنبية بأصبع) مثلا (لا بذكر حكومة) ؛ لأنها جراحة (ويقتص
بالبكارة من بكر مثلها) ـ
Artinya: “Permasalahan cabang: Menjelaskan
tentang berlakunya diyat hukumah pada kasus penghilangan keperawanan
perempuan ajnaby dengan jari dan bukan dengan dzakar, karena penghilangan
dengan jalan ini adalah masuk delik pelukaan (jirâhah). Besarnya diyat hukumah
keperawanan dikalkulasi menurut perempuan yang semisal.” (Abu Yahya Zakariya
al-Anshary, Asna al-Mathâlib Syarh Raudli al-Thalib, Kairo: Mauqi’u
al-Islâmy, tt.: 19/92)
Di dalam kelanjutan ibarat ini, Syeikh
Zakaria juga menegaskan bahwa:
ـ
( فإن أفضاها) غير الزوج
مع إزالة بكارتها (دخل أرش البكارة في الدية) ؛ لأنهما وجبا للإتلاف فيدخل الأقل
في الأكثر بخلاف المهر لاختلاف الجهة فإن المهر للتمتع والأرش لإزالة الجلدة
Artinya: “(Wajibnya tebusan ini diberikan)
jika yang membedah dara keperawanan adalah bukan suami, maka masuk hukum
tebusan keperawanan (arsyu al-bikarah) dalam rupa diyat. Baik suami atau
bukan suami, keduanya sama-sama wajib mengeluarkan tebusan itu disebabkan
karena perusakan yang dilakukannya, sehingga masuk unsur minimal dan
maksimalnya, hanya berbeda sebutan. Jika suami maka wajib mahar disebabkan
jalur penyaluran seksualnya, namun bila bukan suami, maka masuk unsur wajib
sebab perobekan selaput dara.” (Abu Yahya Zakariya al-Anshary, Asna
al-Mathâlib Syarh Raudli al-Thalib, Kairo: Mauqi’u al-Islâmy, tt.: 19/92)
Sampai di sini, dapat ditarik sebuah
kesimpulan bahwasanya, jika kasus pencabulan terjadi hingga menyebabkan
kerusakan organ vital fungsi seksual kaum hawa, maka menurut Syeikh Abu Yahya
Zakaria al-Anshary, pelaku dikenakan diyat hukumah. Diyat hukumah adalah
suatu harta yang wajib dikeluarkan karena kasus pidana dan diberikan kepada
korban (untuk diyat ringan) dan keluarganya (untuk diyat berat, seperti
pembunuhan). Besaran diyat ini ditentukan oleh hakim, dan secara teknis
dikalkulasi menurut harga budak. Misalnya, harga budak yang masih perawan dan
dengan kualitas kecantikan yang mirip dengan korban adalah seharga 100 juta,
namun akibat hilangnya keperawanannya ia menjadi berharga 80 juta, maka besaran
diyat yang harus ditanggung oleh pelaku pencabulan tersebut adalah sebesar 20
juta, yang menjadi harga selisih antara keduanya. Dewasa ini, karena budak
sudah tidak ada lagi, maka besaran tersebut sepenuhnya diserahkan oleh hakim
menurut pertimbangan sisi keadilan.
Tentu, apa yang menjadi ketentuan di sini
tidak berlaku, apabila pihak korban ridha dalam melakukan hal tersebut,
meskipun wujudnya dalam kasus perzinaan. Ridhanya pihak korban mendudukkan ia
sebagai salah satu pelaku.
فكأنها
رضيت بإزالتها
Artinya: “Seolah-olah sang perempuan ridla
dengan kehilangan selaput daranya.” (Abu Yahya Zakariya al-Anshary, Asna
al-Mathâlib Syarh Raudli al-Thalib, Kairo: Mauqi’u al-Islâmy, tt.: 19/92)
Diyat hukûmah, juga berlaku untuk kasus wathi
syubhat atau sebab nikah yang rusak, namun teradi pemaksaan pemakaian alat
lain dalam penghilangan dara keperawanan, sehinggaa hilangnya keperawanan tidak
dilakukan dengan jalan wathi (menggauli dengan zakar). Perlu ditegaskan,
bahwa dalam kasus ini rincian yang harus dipahami, adalah bahwa Si perempuan
pada dasarnya adalah ridla jika selaput daranya robek akibat wathi. Oleh
karenanya, bila dipergunakan alat lain, maka penggunaan alat tersebut merupakan
bentuk pemaksaan sehingga berlaku diyat yang dibebankan oleh hakim
kepada laki-laki pelakunya, ditambah dengan besaran mahar mitsil bagi
perempuan janda.
Untuk kasus sebagaimana tersebut terakhir,
Syeikh Abu Yahya Zakariya Al-Anshary menegaskan:
لأنها
رضيت بالوطء لا بالإفضاء (أو) وهي (مكرهة أو) زالت (بشبهة) من نكاح فاسد أو غيره
(فحكومة ، ومهرها ثيبا) يجبان
Artinya: “Karena si perempuan ridha dengan
bedahnya dara keperawanan akibat wathi dan bukan sebab selain wathi,
atau ia diperkosa atau hilang sebab cara syubhat semisal nikah yang rusak atau
lainnya, maka dalam hal ini berlaku diyat hukûmah. Maharnya setara dengan mahar
janda yang wajib dibayar oleh kedua laki-laki (yang membedah keperawanannya
baik dengan jallan syubhat atau pemaksaan/pencabulan) .” (Abu Yahya Zakariya
al-Anshary, Asna al-Mathâlib Syarh Raudli al-Thalib, Kairo: Mauqi’u
al-Islâmy, tt.: 19/92)
Demikian, sekilas ulasan mengenai hilangnya
keperawanan akibat kasus pencabulan dengan menggunakan alat seks dan sejenisnya
yang dilakukan oleh pihak lain selain suami, atau oleh suami namun dari hasil
nikah yang rusak dan penghilangannya dilakukan tidak dengan jalan wathi (menggauli).
Wallâhu a’lam bish shawâb. []
Ustadz Muhammad Syamsudin, Ketua Tim Perumus
Bahtul Masail Qanuniyah Munas NU 2019 dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri
Putri, Pulau Bawean, Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar