Rabu, 24 April 2019

Buya Syafii: Aku Tidak Golput


Aku Tidak Golput
Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Dalam telusuran saya via internet, Pemilu 2019 adalah pemilu yang ke-13. Diawali Pemilu 1955, 10 tahun setelah proklamasi, sebuah pemilu di tengah pertarungan ideologi kepartaian yang sengit, tetapi semuanya berjalan mulus, damai, dan tak setetes darah pun yang tertumpah. Sampai dengan Pemilu 1999, angka golput (golongan putih) yang tidak menggunakan hak pilihnya berada pada angka di bawah 10 persen.

Dalam Pemilu 1955, angka golput itu hanya 8,6 persen. Baru memasuki abad ke-21 dalam Pemilu 2004, angka golput itu meningkat hingga angka 15,9 persen. Rupanya pergantian abad telah membawa suasana baru dalam kultur politik Indonesia, yang memengaruhi perilaku pemilih sehingga angka golput menunjukkan kecenderungan naik secara mengejutkan.

Dalam Pemilu Legislatif (Pileg) tahun 2009, angka golput itu mencapai 29,3 persen, turun sedikit pada Pileg 2014 menjadi 24,8 persen, tetapi naik lagi dalam pemilu presiden (pilpres) pada tahun yang sama dalam angka 29,1 persen. Pemilu-pemilu selama Orba (orde baru), 1971-1992, angka golput tertinggi terjadi pada Pemilu 1992 pada angka 4,9 persen.

Tetapi harus dicatat, dalam pemilu-pemilu selama Orba ini, pemenangnya sudah ditentukan sebelumnya, yaitu partai Golkar. Partai-partai lain (PDI dan PPP) adalah partai pengiring belaka. Dengan demikian, kualitas pemilu-pemilu ini adalah pemilu yang cacat. Bukankah selama era Orba, yang berlaku adalah sistem demokrasi semu, alias demokrasi dalam nama, autoritarianisme dalam kenyataan.

Perkembangan sistem demokrasi di Indonesia sejak era reformasi sampai sekarang belum menemukan bentuknya yang memuaskan. Dari sisi prosedural dan ritme lima tahunan, semuanya sudah memenuhi syarat. Tetapi jika dikaitkan dengan kualitas demokrasi yang sehat tanpa masifnya praktik politik uang, demokrasi kita masih jauh dari harapan.

Apalagi, bila diukur dengan tingkat kesejahteraan rakyat yang merata, situasi demokrasi Indonesia masih sangat mengecewakan. Jika demikian halnya, apakah lebih baik jadi golput saja atau tetap menggunakan hak pilih, demi perbaikan sistem demokrasi dalam pemilu-pemilu yang akan datang?

Sebagai pendukung demokrasi dengan segala cacat dan kelemahannya, saya sejak Pemilu 1955 adalah pendukung sistem ini. Oleh sebab itu, jadi golput bukanlah tabiat saya. Demokrasi memang tidak jarang menyebabkan kita sebal dan marah, tetapi apakah ada sistem politik lain yang memberi peluang yang sama kepada setiap warga negara menjadi apa dan siapa saja?

Seorang tukang ojek dalam sistem demokrasi tidak mustahil berhasil jadi anggota DPR atau posisi eksekutif dengan syarat rakyat banyak memilihnya. Apakah tuan dan puan masih juga tergoda untuk mencari sistem politik lain, seperti kerajaan, khilafah, dan yang sejenisnya yang membunuh hak warga untuk menduduki posisi-posisi puncak dalam sebuah negara?

Memang seorang warga tidak boleh dipaksa agar menggunakan hak pilihnya dalam pemilu, apalagi melalui fatwa keagamaan yang tidak akan pernah efektif. Tetapi, agar kualitas dan legitimasi demokrasi kita semakin baik dari waktu ke waktu, judul Resonansi ini: “Aku Tidak Golput,” mohon dipertimbangkan dengan hati lapang, pikiran jernih, dan demi penyehatan sistem demokrasi Indonesia yang menjadi tanggung jawab kita bersama.

Ke sampingkan sementara egoisme politik pribadi lalu pergi ke TPS besok pagi dan bulatkan tekad untuk menunaikan hak pilih sesuai dengan kecenderungan hati nurani masing-masing. Satu suara dalam pemilu menjadi sangat penting bagi perjalanan demokrasi kita selanjutnya, terlepas dari sisi bopengnya di sana-sini.

Saya berharap agar angka golput dalam Pemilu 2019 ini bisa surut ke batas 15 persen, misalnya. Siapa tahu dalam perjalanan waktu pada 2024 nanti, angka golput itu kembali berada pada posisi di bawah 10 persen.

Tanpa munculnya kesadaran kolektif untuk membenahi sistem demokrasi kita agar memberi harapan dan titik terang bagi kepentingan rakyat banyak, maka Indonesia tercinta akan terus saja bergelut dan berputar dalam lingkaran setan yang melelahkan. Solusinya: jangan biarkan demokrasi mati suri di tangan mereka yang berpikir pendek, demi pragmatisme politik tanpa kawalan nilai-nilai Pancasila.

Meminjam hasil keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar tahun 2015 bahwa Negara Pancasila sebagai dâr al-‘ahdi wa al-syahâdah (negara hasil konsensus nasional dan kesaksian bersama), maka impian untuk mengganti dasar negara Indonesia selain Pancasila sudah tertutup mati buat selama-lamanya.

Dengan dasar Pancasila, kita bangun bangsa dan negara ini dengan penuh kesabaran dan sikap kritis agar cita-cita untuk tegaknya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai tujuan kemerdekaan benar-benar terwujud.

Maka imbauan: “Aku Tidak Golput” adalah salah satu bukti komitmen warga negara dalam upaya menguatkan dan menyehatkan sistem demokrasi, yang telah jadi kesepakatan para pendiri bangsa jauh sebelum Proklamasi Kemerdekaan 1945. []

REPUBLIKA, 16 April 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar