Ibnu Taimiyah dan Imam
Nawawi Mengarang Wirid Sendiri
Di antara ulama yang biasanya paling ketat
dalam hal penentuan dzikir/wirid dengan jumlah tertentu dan dengan khasiat
tertentu adalah Syekh Ibnu Taimiyah. Darinya banyak para pendaku Salafi
menyangka bahwa penentuan dzikir/wirid dengan jumlah tertentu dan dengan
khasiat tertentu tanpa adanya petunjuk ayat atau hadits adalah termasuk dalam
kategori bid’ah. Yang tak banyak orang tahu, ternyata Syekh Ibnu Taimiah juga
mempunyai amalan mujarab yang tak berdasar ayat atau hadits. Silakan baca
testimoni dari Syekh Ibnu Qayyim, murid kesayangan Syekh Ibnu Taimiyah, berikut
ini:
وَمِنْ
تَجْرِيبَاتِ السَّالِكِينَ الَّتِي جَرَّبُوهَا فَأَلْفَوْهَا صَحِيحَةً أَنَّ
مَنْ أَدْمَنَ يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَوْرَثَهُ ذَلِكَ
حَيَاةَ الْقَلْبِ وَالْعَقْلِ. وَكَانَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ
قَدَّسَ اللَّهُ رُوحَهُ شَدِيدَ اللَّهْجِ بِهَا جِدًّا، وَقَالَ لِي يَوْمًا:
لِهَذَيْنِ الِاسْمَيْنِ وَهُمَا الْحَيُّ الْقَيُّومُ تَأْثِيرٌ عَظِيمٌ فِي
حَيَاةِ الْقَلْبِ، وَكَانَ يُشِيرُ إِلَى أَنَّهُمَا الِاسْمُ الْأَعْظَمُ،
وَسَمِعْتُهُ يَقُولُ: مَنْ
وَاظَبَ عَلَى أَرْبَعِينَ مَرَّةً كُلَّ يَوْمٍ بَيْنَ سُنَّةِ الْفَجْرِ
وَصَلَاةِ الْفَجْرِ يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ، لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ،
بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيثُ حَصَلَتْ لَهُ حَيَاةُ الْقَلْبِ، وَلَمْ يَمُتْ
قَلْبُهُ
"Sebagian percobaan para ahli ibadah
yang telah mereka uji coba lalu ternyata benar-benar terjadi (mujarrab) adalah
bahwa siapa pun yang terus-menerus membaca Yâ Hayyu Yâ Qayyûm lâ ilâha illâ
Anta, maka hal itu akan membuat hidupnya hati dan akal (lapang dada dan
cerdas). Syekhul Islam Ibnu Taimiyah—semoga Allah menyucikan ruhnya—sangat
gemar dengan hal ini. Ia berkata padaku pada suatu hari: Dua nama ini, yaitu
al-Hayyu al-Qayyûm, punya pengaruh yang besar dalam hidupnya hati. Dan, beliau
mengisyaratkan bahwa keduanya adalah Ismul A'dham dan aku mendengarnya berkata:
Siapa yang terus-menerus membaca sebanyak 40 kali setiap hari di antara salat
sunnah subuh dan salat subuh bacaan Yâ Hayyu Yâ Qayyûm lâ ilâha illâ Anta
birahmatika astaghîtsu, maka akan dia dapati hatinya hidup dan tak mati."
(Ibnu Qayyim, Madârik as-Sâlikîn, juz I, halaman 446)
Amalan wirid yang sangat disukai dan
disarankan oleh Syekh Ibnu Taimiyah di atas dengan jumlah, waktu, dan khasiat
seperti itu tak disebutkan dalam satu pun hadits Nabi. Ibnu Qayyim pun tak
bertanya mana dalilnya atau berlagak hebat dengan berkata bahwa guru kita Ibnu
Taimiyah tidak maksum sehingga dalam hal ini tidak perlu diikuti sebab ini
semua bid'ah. Tetapi beliau malah mengajarkannya di kitab Madârik as-Sâlikîn
yang dijadikan kitab akhlak standar oleh para pendaku Salafi.
Di kitabnya yang lain, Syekh Ibnu Qayyim
menjelaskan:
رب
اغْفِر لي ولوالدي وللمسلمين وَالْمُسلمَات وَلِلْمُؤْمنِينَ وَالْمُؤْمِنَات وَقد
كَانَ بعض السّلف يسْتَحبّ لكل احد ان يداوم على هَذَا الدُّعَاء كل يَوْم سبعين
مرّة فَيجْعَل لَهُ مِنْهُ وردا لَا يخل بِهِ وَسمعت شَيخنَا يذكرهُ وَذكر فِيهِ
فضلا عَظِيما لَا احفظه وَرُبمَا كَانَ من جملَة اوراده الَّتِي لَا يخل بهَا
وسمعته يَقُول ان جعله بَين السَّجْدَتَيْنِ جَائِز
"Rabbi ighfir lî wa liwalidayya wa
lil-muslimîna wal-muslimât wal-mu'minîna wal-mu'minât. Sebagian ulama salaf
menyunnahkan setiap orang untuk terus-menerus membaca doa ini setiap hari 70
kali dan dijadikan wirid yang tak pernah ditinggal. Saya mendengar guru kita
(Ibnu Taimiyah) menyebutkannya dan beliau menjelaskan bahwa di dalamnya ada
keutamaan besar yang saya tidak ingat. Seringkali ini jadi sebagian wirid yang
tak pernah beliau tinggal. Saya mendengar Beliau berkata: membacanya di antara
dua sujud diperbolehkan." (Ibnu Qayyim, Miftâh Dâr as-Sa’âdah, juz I,
halaman 298)
Simak pernyataan di atas yang sepertinya tak
akan Anda temukan dalam satu hadits pun. Ibnu Taimiyah menentukan batasan
bacaan 70 kali setiap hari dan bahkan memperbolehkan wirid ini untuk dibaca
dalam duduk di antara dua sujud ketika shalat. Adakah pendaku Salafi yang mau
mengatakan ini bid'ah? Atau malah berkelit mengatakan bahwa ini maslahah
mursalah sebab yang berkata adalah Syekh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim?
Sepertinya tidak akan ada yang menyimpulkan demikian.
Kalau mau objektif, wirid-wirid semacam ini
memang tidak termasuk dalam cakupan makna bid'ah sebab sejak awal memang tidak
dianggap sebagai syariat baru atau diyakini berasal dari anjuran Rasulullah
akan tetapi hanya kalam hikmah saja. Statusnya sama seperti nasihat seseorang
"Sebelum tidur bacalah Al-Qur'an satu maqra' biar kamu nanti hidup
enak". Nasihat hikmah semacam ini sama sekali bukan bid'ah meskipun tak
ada haditsnya dan melibatkan ibadah sebab unsur ibadahnya adalah yang
berkategori mutlak atau bebas dibaca kapan pun dalam jumlah berapa pun. Kalam
hikmah semacam ini urusannya hanya dengan manjur/mujarrab atau tidak, bukan
dengan sesat atau tidak. Bagaimana mungkin bacaan yang nyata-nyata baik akan
dinilai sesat? Siapa pun penganjurnya, baik itu Syekh Ibnu Taimiyah, Syekh Ibnu
Qayyim, atau ulama besar mana pun sama saja dan tak boleh dibeda-bedakan sebab
mereka tak akan menganjurkan sesuatu yang haram.
Sebagai penutup, penulis akan menukilkan
suatu wirid yang sangat banyak khasiatnya dan sudah diamalkan oleh sekian
banyak ulama dari generasi ke generasi, khususnya di kalangan pengikut mazhab
Syafi'iyah. Wirid ini panjang sekali, biasanya rangkaian wirid panjang disebut
dengan istilah hizb. Untuk menyingkat, penulis akan menukil bagian awalnya saja
sebagai berikut:
بسم
الله ، اللّه أكبر ، اللّه أكبر ، اللّه أكبر ، أقول على نفسي ، وعلى دِيني ، وعلى
أهلي ، وعلى مالي ، وعلى أصحابي ، وعلى أديانهم ، وعلى أموالهم ؛ ألف ألف ألف لا
حول ولا قوة إلاّ باللّه العلي العظيم . بسم الله ، وبالله ، ومن الله ، وإلى الله
، وعلى الله ، وفي الله ، ولا حول ولا قوة إلاّ بالله العلي العظيم .بسم الله على
دِيني وعلى نفسي ، بسم الله على مالي وعلى أهلي وعلى أولادي وعلى أصحابي ، بسم
الله على كلِّ شيءٍ أعطانيه ربي ، بسم الله ربِّ السموات السبع ، ورب الأرضين
السبع ، ورب العرش العظيم بسم الله الذي لا يضرُّ مع اسمه شيءٌ في الأرض ولا في
السماء وهو السميع العليم (3 مرات)ـ
Wirid di atas dalam versi lengkapnya sangat
populer dibaca para ulama besar dan para kiai di Indonesia. Pengarangnya adalah
seorang Imam Mujtahid dalam mazhab Syafi'i yang ilmunya terlalu luas dan
terlalu hebat untuk diabaikan begitu saja, bahkan oleh mereka yang biasanya
anti-mazhab sekalipun. Beberapa ulama menyebut beliau sebagai Wali Quthub,
gelar kewalian tertinggi yang hanya dimiliki satu orang di setiap masa, sama
seperti gelarnya Syekh Abdul Qadir al-Jilani. Beliau adalah Yahya bin Syaraf
an-Nawawi yang biasa kita kenal sebagai Imam an-Nawawi, pengarang kitab Syarh
Muslim, Riyâdl as-Shâlihîn, al-Majmû’ dan segudang rujukan monumental lainnya.
Wirid panjang atau hizb yang bagian awalnya seperti di atas dikenal dengan nama
Hizb an-Nawawi.
Silakan siapa pun berkata bahwa nama-nama di
atas bukan orang maksum yang tak bisa salah sehingga ucapan mereka atau wirid
yang mereka karang bisa saja ditolak. Namun dengan demikian maka tentu saja
ucapan pengkritik itulah yang lebih layak ditolak sebab dia sendiri juga tak
maksum dan levelnya jauh berada di bawah tokoh-tokoh di atas. Wallahu a'lam. []
Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember
dan Peneliti di Aswaja NU Center Jember.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar