Kamis, 11 April 2019

(Ngaji of the Day) Larangan Membawa-bawa Nabi dalam Pertengkaran Politik


Larangan Membawa-bawa Nabi dalam Pertengkaran Politik

Beberapa hari ini jagad dunia maya digemparkan oleh penyebaran hoaks oleh sejumlah kalangan elit politik. Penyebaran kabar palsu tersebut bermula dari salah satu tokoh yang mengaku telah dianiaya oleh orang yang tak dikenal.

Dari situ, banyak kalangan mempercayai dan ikut berempati, bahkan dengan lantang menyuarakan kasus tersebut mengandung motif politik lawan-lawannya dan harus segera diusut. Namun, beberapa waktu belakangan, polisi berhasil menguak bahwa kasus tersebut palsu, tidak sesuai fakta yang riil berdasarkan beberapa tanda bukti.

Dan pada puncaknya, pihak yang bersangkutan mengakui bahwa ia telah berbohong. Ia meminta maaf kepada publik dan beberapa elit politik yang merasa tertipu olehnya.

Banyak respons dari lapisan masyarakat mengenai hal ini. Secara umum, masyarakat sangat kecewa dengan sikap pelaku yang menyebarkan berita bohong tersebut. Bahkan ada yang mengusulkan tanggal 3 Oktober 2018 kemarin sebagai hari hoaks nasional.

Yang unik, beberapa kalangan menganggap, elit politik yang menerima (lalu menyebar) kabar bohong tersebut dalam posisi terzalimi, dikhianati. Mereka menyamakan elit politik yang mereka dukung seperti situasi yang pernah menimpa Nabi .

Mohon maaf, penulis tidak bermaksud untuk membela atau ikut campur dalam dukung-mendukung urusan politik. Namun, lebih kepada pandangan penulis agar pertarungan politik praktis selayaknya tidak membawa-bawa nama mulia Baginda Nabi Muhammad sebagai alat pembelaan. Karena itu, perlu dilihat secara jernih bagaimana kisah sesungguhnya Nabi ketika menerima kabar bohong tersebut.

Saat itu, Nabi dikhianati oleh sekelompok kaum musyrik yang meminta Nabi untuk mendatangkan para sahabat yang mengajarkan kepada mereka Al-Quran dan Sunnah. 

Nabi mengabulkan permintaan mereka dengan mengutus 70 pengajar yang ahli baca. Sebelum sampai di tempat tujuan, 70 utusan tersebut dibantai, mereka mati dalam keadaan syahid.

Kisah ini masyhur disebutkan dalam beberapa kitab Sirah Nabawiyyah. Bahkan salah satu pakar hadits yang otoritatif, Imam Muslim meriwayatkannya dalam kitab Shahih-nya.

Demikian riwayat dari Imam Muslim:

عن أنس بن مالك قال: جاء ناس إلى النبى صلى الله عليه وسلم فقالوا: أن ابعث معنا رجالا يعلمونا القرآن والسنة. فبعث إليهم سبعين رجلا من الأنصار، يقال لهم: القراء. فيهم خالى حرام. يقرؤون القرآن، ويتدارسون بالليل يتعلمون. وكانوا بالنهار يجيئون بالماء فيضعونه فى المسجد، ويحتطبون فيبيعونه، ويشترون به الطعام لأهل الصفة وللفقراء. فبعثهم النبى صلى الله عليه وسلم إليهم، فعرضوا لهم فقتلوهم، قبل أن يبلغوا المكان

"Dari Anas bin Malik, datang sekelompok orang kepada Nabi, mereka berkata, hendaknya utuslah untuk kami beberapa laki-laki yang mengajarkan Al-Quran dan Sunnah. Kemudian Nabi mengutus kepada mereka 70 sahabat Anshar yang disebut-sebut sebagai pakar qiraah, termasuk di antaranya pamanku, Haram. Mereka membaca, saling bertadarus dan belajar Al-Quran di malam hari. Di siang hari mereka membawakan air dan meletakannya di masjid. Mereka mencari kayu dan menjualnya dan hasilnya mereka belikan makanan untuk Ahlu Shuffah (penghuni teras masjid Nabawi) dan orang-orang fakir. Nabi mengutus mereka kepada kaum musyrik. Mereka diganggu dan dibunuh sebelum sampai di tempat tujuan." (Shahih Muslim)

Kisah tersebut shahih dan benar serta dapat dipertanggungjawabkan. Namun, sangat tidak tepat bila dijadikan sebagai dalih untuk kepentingan politik tertentu. Bukan hanya karena Nabi maksum dari perbuatan menyebar hoaks, tapi juga pribadi beliau terlalu mulia untuk dijadikan tameng umatnya yang bergelimang dosa ini. Tidak pantas menggunakan kisah tersebut sebagai alat untuk 'bertengkar', bertarung dalam kancah perpolitikan. Menyebut Nabi pernah ditipu untuk kemudian dijadikan persamaan situasi yang menimpa elit politik yang didukung, sesungguhnya justru dapat membuka kran untuk menghina Nabi .

Syekh Ibnu Hajar al-Haitami menentang keras orang yang bertengkar kemudian ia dihina sebagai orang yang fakir dan penggembala kambing, lantas ia membela diri bahwa Nabi juga fakir dan menggembala kambing.

Menurutnya, tindakan tersebut dapat memberikan persepsi yang salah di masyarakat, bahwa sifat fakir atau profesi menggembala kambing merupakan kekurangan bagi Nabi. 

Demikian pula dalam kasus ini, mengaitkan situasi politik dengan peristiwa Nabi yang pernah ditipu dan khianati, akan berpotensi ada sebuah anggapan bahwa Nabi mudah sekali ditipu.

Syekh Ibnu Hajar juga mengutip pandangan dari Imam Suyuthi, bahwa derajat Nabi lebih tinggi untuk dibanding-bandingkan dengan siapa pun.

Dalam pandangan Syekh Ibnu Hajar, wajib bagi pemerintah untuk menghukum dan mencegah pelakunya dari perlakuan yang tidak pantas  kepada Nabi tersebut. Demikian pula bagi para ulama, agar mencegah masyarakat untuk tidak menirunya.

Dalam himpunan fatwa Syekh Ibnu Hajar al-Haitami ditegaskan:

وسئل رحمه الله تبارك وتعالى بما لفظه كثيرا ما يتخاصم اثنان فيعير أحدهما الآخر بالفقر، أو رعي الغنم مثلا فيقول الآخر الأنبياء كانوا فقراء ويرعون الغنم، أو نحو ذلك مما هو معروف عند العامة مألوف فما حكم ذلك؟

"Beliau ditanya, sering kali dua orang bertengkar, lantas salah satunya menghina pihak lain dengan sifat fakir atau penggembala kambing, kemudian ia berkilah, para Nabi juga fakir dan menggembala kambing, atau ucapan-ucapan lain yang lazim dipakai, bagaimana hukumnya?

فأجاب عفا الله تبارك وتعالى عنه بقوله هذا مما ينبغي أن يفطم عنه الناس غاية الفطم؛ لأنه يؤدي إلى محذورات لا يتدارك خرقها ولا يرتقع فتقها وكيف وكثيرا ما يوهم ذلك العامة إلحاق نقص له - صلى الله عليه وسلم - ببعض صفاته التي هي من كماله الأعظم
وإن كان بعضها بالنسبة إلى غيره - صلى الله عليه وسلم - نقيصة في ذاته كالأمية، أو باعتبار عرف العوام الطارئ كالفقر ورعي الغنم

“Beliau menjawab, pertengkaran yang demikian ini merupakan hal yang wajib dihindari oleh siapa pun dengan sebenar-benarnya. Sebab dapat menciptakan hal-hal negatif yang tidak dapat diatasi dan dicegah. Terlebih, banyak di antaranya yang dapat menyebabkan persepsi negatif kepada orang awam dengan menyebut beberapa kekurangan Nabi yang pada hakikatnya hal tersebut merupakan kesempurnaannya yang agung.”

Meski beberapa beberapa di antaranya merupakan sifat kurang bila dinisbatkan kepada selain Nabi, seperti buta huruf, atau berdasarkan penilaian khalayak umum yang baru seperti sifat fakir dan profesi menggembala kambing.

فتعين الإمساك عن ذلك وتأكد على الولاة والعلماء منع الناس من الإلمام بشيء من تلك المسالك فإنها في الحقيقة من أعظم المهالك

“Maka, wajib untuk mencegah dari perbuatan tersebut. Wajib bagi pemerintah dan ulama untuk mencegah manusia dari menetapi perbuatan-perbuatan tersebut, karena sesungguhnya hal tersebut termasuk tempat kebinasaan yang besar.”

وقد بالغ الحافظ الجلال السيوطي شكر الله تبارك وتعالى سعيه. فأفتى بوجوب التعزير البليغ على من عير ولده برعي المعزى فقال مستدلا على أن ذلك ليس بنقص الأنبياء رعوا المعزى؛ لأن مقام الأنبياء - عليهم الصلاة والسلام - أجل من أن يضرب مثلا لآحاد الناس

“Bahkan, Imam Suyuthi berpandangan lebih tentang masalah ini, beliau berfatwa wajib menghukum dengan hukuman seberat-beratnya bagi orang yang menghina anaknya dengan profesi menggembala kambing, beliau berargumen bahwa menggembala kambing tidak menunjukan kekurangan para Nabi, sebab derajat para Nabi lebih besar untuk dibanding-bandingkan dengan individu manusia yang bukan Nabi.” (Syekh Ibnu Hajar al Haitami, al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra, juz.4, hal.236).

Walhasil, sikap membela tokoh tertentu dengan membandingkannya dengan Nabi merupakan hal yang tercela, dapat menodai kemuliaan derajat Nabi.

Tidak selayaknya bagi Muslim yang baik untuk melakukannya dan bagi siapa pun tidak patut untuk menirunya. Bila memungkinkan, pemerintah perlu mengeluarkan tindakan tegas agar hal demikian tidak terulang lagi.

Berpolitik memang harus berdasarkan ajaran akhlak dan teladan luhur dari Rasulullah . Tapi bukan dengan mempolitisasi nama beliau yang agung, untuk kepentingan ego kelompok dan diri sendiri. Wallahu a’lam bish shawab. []

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar