Fiqih Transaksi: Leasing
(Sewa Guna Usaha) dengan Hak Opsi
Leasing dengan hak opsi
dipahami sebagai yang berbeda dengan leasing tanpa hak opsi. Jika pada
kasus leasing tanpa hak opsi, seorang leasee memiliki keterikatan untuk
melakukan pembelian terhadap barang dengan harga yang sudah pasti. Hanya saja,
dalam akad musyarakah, prinsip ijarah harus disertai dengan aquisisi secara
berangsur salah modal dari rekan musyarakah yang lain.
Adapun leasing dengan hak opsi, dulunya
dipahami sebagai seorang leasee yang tidak memiliki keterikatan untuk melakukan
pembelian. Ia bisa melakukan pilihan antara membeli atau sekedar menyewa barang
yang disewagunausahakan pada akhir tempo perjanjian dengan mitranya. Namun,
karena pada akhirnya leasing ini dimaksudkan untuk tujuan pembiayaan agar
seorang leasee bisa memiliki suatu barang, maka keluarlah Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing) yang
selanjutnya mendefinisikan “leasing dengan hak opsi” sebagai seorang leasee di
akhir masa perjanjian berhak untuk memutuskan pilihan antara membeli barang,
atau melanjutkan akad sewa guna usaha barang.” Dengan demikian, berdasarkan
peraturan ini, bila terjadi keterlambatan dalam pembayaran oleh leasee terhadap
cicilan, maka pihak leasee dan lessor bisa melakukan negosiasi berupa
penjadwalan ulang terhadap sewa guna usaha objek leasing. Keputusan ini dapat
dimaknai sebagai akad shuluh (damai). Bagaimana peran dan untung ruginya shuluh
ini, insyaallah akan dihadirkan dalam kesempatan berikutnya.
Hal-hal yang perlu dicatat dalam kaidah
leasing dengan hak opsi adalah:
1. Adanya peran dua akad dalam satu
transaksi, yaitu akad ijarah, dan akad musyarakah yang akrab disebut akad jual
beli.
2. Ada masa tempo kontrak ijarah yang berlaku
antara pihak lessor dengan pihak leasee.
3. Setelah jatuh tempo, apabila pihak leasee
belum mampu untuk melakukan pembelian, maka harus dilakukan akad sewa guna
usaha yang baru atau biasa disebut penjadwalan ulang. Hal ini mengingat, barang
yang dijadikan objek leasing adalah barang hasil musyarakah (modal bersama)
sehingga masing-masing pihak memiliki hak untuk mentasharrufkan.
Dugaan Adanya Dua Akad dalam Satu Transaksi
Adanya dua akad dalam satu objek transaksi
atau yang biasa dikenal sebagai al-uqudu al-murakkabah, merupakan perkara yang
dilarang oleh Nabiullah Muhammad SAW. Bagaimana gambaran dari larangan ini?
Sebuah hadits yang menyebutkan hukum asal larangan adalah:
نهى
عن صفقتين في صفقة
Artinya: “Rasulullah SAW melarang dua bentuk
akad sekaligus dalam satu objek.” (Lihat Muhammad bin Abdu al-Rahman bin Abdu
al-Rahim al-Mubarakfury, Syarah Hadits Tuhfatu al-Ahwadzy, Beirut: Daru
al-Kutub Al-Ilmiyah, Juz 4: 357)
Illah / alasan larangan dari praktik dua
bentuk akad dalam satu objek ini adalah ketidakjelasan harga.
والعلة
في تحريم بيعتين في بيعة عدم استقرار الثمن في صورة بيع الشيء الواحد بثمنين
Artinya: “Illah dari keharaman dua jual beli
dalam satu objek transaksi jual beli adalah ketiadaan tetapnya harga – adanya
dua harga dalam satu objek jual beli.” (Lihat Muhammad bin Abdu al-Rahman bin
Abdu al-Rahim al-Mubarakfury, Syarah Hadits Tuhfatu al-Ahwadzy, Beirut:
Daru al-Kutub Al-Ilmiyah, Juz 4: 357)
Maksud dari keterangan di atas adalah bahwa
dua akad dalam satu objek transaksi dipandang “haram” disebabkan harga tidak
ditentukan terlebih dahulu sebelum kedua pihak yang bertransaksi meninggalkan majelis
akad. Di satu sisi, barang dihukumi sebagai dibeli secara kontan, namun di sisi
yang lain barang juga bisa dibeli secara kredit. Ketidak pastian ini nantinya
bisa membawa dampak mudarat bagi salah satu pihak, makanya kemudian diharamkan.
Solusi agar akad ini menjadi sah adalah pemastian harga ketika di awal
transaksi.
Penjelasan Akad Ijarah dalam Leasing dengan
Hak Opsi
Boleh hukumnya menyewakan objek leasing
kepada salah satu pihak di dalam syirkah itu sendiri selagi kegunaannya bukan
untuk kepentingan usaha bersama. Kebolehan itu menitiktekankan pada upaya
melihat nisbah bagian sebagai ‘ainun (barang) manfaat. Ibnu Qudamah menyatakan:
ولأنها
عين يمكن استيفاء المنفعة المباحة منها مع بقائها ، فجازت إجارتها بالأثمان ونحوها
Artinya: “Karena sesungguhnya suatu barang
yang bisa diambil manfaat mubahnya bersama tetapnya barang, maka boleh diambil
sewanya dengan suatu harga tertentu, dan semisal.” (Lihat: Ibnu Qudamah, Al
Mughny li Ibni al-Qudamah, Daru Ihyai al-Turats al-Araby, 1985, Juz:.
5/248).
Dasar ketetapan penentuan harga sewa adalah
sebuah hadits yang diriwayatkan dari Sa’id bin Musayyab dari Sa’ad bin Abi
Waqqash, Rasulullah SAW bersabda:
كنا
نكري الأرض بما على السواقي من الزرع وما سعد بالماء منها , فنهانا رسول الله صلى
الله عليه وسلم عن ذلك , وأمرنا أن نكريها بذهب أو فضة
Artinya: “Kami pernah menyewakan tanah dengan
(bayaran) hasil pertaniannya; maka, Rasulullah melarang kami melakukan hal
tersebut dan memerintahkan agar kami menyewakannya dengan emas atau perak.” HR.
Abu Daud (Lihat: Ibnu Qudamah, Al Mughny li Ibni al-Qudamah, Daru Ihyai
al-Turats al-Araby, 1985, Juz:. 5/248).
Peran Akad Musyarakah dalam Leasing dengan
Hak Opsi
Syarat dari musyarakah adalah adanya
amal/usaha dari mudlarrib dan salah satu praktik amal dalam akad leasing
adalah menyewakan objek transaksi. Sebagai catatan adalah bahwa harga sewa
mutlak harus disepakati oleh kedua belah pihak karena nantinya berpengaruh
terhadap pembagian hasil.Dan karena sejak awal, leasing sudah disepakati
dilaksanakan secara musyarakah, maka nisbah saham bisa mengalami pengurangan
seiring penebusan/akuisisi saham sehingga nisbah sewa juga turut berkurang.
Kedudukan akad ijarah dan musyarakah dalam
leasing dengan hak opsi
Di dalam leasing dengan hak opsi (hak khiyar),
akad sewa menyewa (ijarah) berdiri secara terpisah dari akad musyarakah. Dalam
akad musyarakah mengharuskan bagi hasil. Akad ijarah terjadi setelah serikat
terbentuk. Seorang leasee di dalam leasing berperan selaku penyewa objek
leasing (ajiir). Sebagai penyewa ia wajib memberikan ujrah kepada
serikat. Ujrah ini selanjutnya dibagi bersama menurut nisbah kepemilikan
modal.
Akad musyarakah dapat dijadikan alasan untuk
melakukan angsuran aquisisi modal / kepemilikan syirkah sebagaimana ini umum
terjadi dalam syirkah musahamah atau syirkah mutanaqishah. Dengan demikian,
berlakunya akad ijarah di dalam musyarakah ini bukan berlangsung linier
sehingga dipandang sebagai uquudu al-murakkabah, melainkan ia berlangsung
terpisah (paralel) antara satu sama lain.
وليس
هذا الخبر محمولا على ظاهره : لأن البيع بانفراده جائز ، والقرض بانفراده جائز ،
واجتماعهما معا من غير شرط جائز ، وإنما المراد بالنهي بيع شرط فيه قرض . وصورته :
أن يقول قد بعتك عبدي هذا بمائة على أن تقرضني مائة ، وهذا بيع باطل ، وقرض باطل :
لأمور منها : نهي النبي صلى الله عليه وسلم عنه .
Artinya: “Hadits (larangan ba’iun wa salafun)
ini tidak dipahami sebagai makna dlahirnya: “karena jual beli yang berdiri
terpisah hukumnya adalah boleh, hutang piutang juga boleh, mengumpulkan
keduanya bersama-sama tanpa adanya syarat adalah boleh. Yang dikehendaki dari
makna larangan jual beli di dalam hadits itu adalah bila di dalam jual beli ada
syarat menghutangi. Contoh gambarannya: Bila seseorang berkata “Aku jual
hambaku ini kepadamu dengan 100, dengan syarat kamu menghutangi aku 100.” Jual
beli seperti ini adalah bathil dan qardlunya juga bathil karena beberapa hal,
yang salah satunya adalah adanya larangan Nabi SAW dari melakukannya.” (Lihat:
Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardy al-Bashry, Al-Hawy
al-Kabiir fi Fiqhi Madzhaby al-Imam Al-Syafi’iy, Daru al-Kutub al-Ilmiyyah,
1999: 5/351)
Maksud dari ibarat di atas adalah bahwa
tidaklah setiap perkara jual beli yang bersama-sama dengan hutang lantas
diputus haram. Yang diputus haram adalah bila hutang linier dengan syarat bagi
terlaksananya jual beli. Andaikata si fulan pada ibarat di atas, menjadikan
hamba sahayanya sebagai jaminan dalam akad rahnun (gadai), maka pada
prinsipnya hal tersebut adalah boleh, sehingga yang terjadi bukan jual beli,
melainkan akad rahnun dan qardlu.
Di dalam leasing, kedudukan janji perpindahan
hak milik pada saat akhir masa akuisisi adalah berlangsung paralel dan terpisah
sebab musyarakahnya. Karena terpisah, maka boleh diterapkan dalam praktik
mu’amalah.Adapun karena memandang adanya dua akad yang berdiri sendiri-sendiri
ini, makanya ulama’ menyebutnya sebagai Musyarakah bi nihayati al-tamlik atau
ijarah muntahiyah bi al-tamlik. Kedua istilah adalah sama, hanya berbeda titik
tekan. Wallahu a’lam.
Catatan:
1. Dalam musyarakah mutanaqishah, ujrah
yang turut dibayarkan harus ikut turun seiring jumlah angsuran. Jika ujrah
tidak ikut turun seiring angsuran akuisisi modal musyarakah, maka akadnya
menjadi fasad dan tetapnya ujrah bisa dipandang sebagai riba qardlu, yaitu riba
karena hutang-piutang.
2. Dalam akad sewa-menyewa, ada masa jatuh
tempo persewaan. Bila sudah jatuh tempo, dan penyewa tidak bisa lagi melakukan
pembayaran sewa atau melakukan penjadwalan ulang, maka barang harus kembali
kepada syirkah, dan selanjutnya diputuskan menurut akad shuluh. []
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih
Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar