Memahami
Makna Investasi dan Praktiknya
Pada prinsipnya,
sebuah usaha bisa dikategorikan menjadi tiga model, yaitu (1) usaha mandiri,
(2) usaha bersama dengan modal bersama, dan (3) usaha bersama dengan modal dari
orang lain. Sejatinya untuk jenis usaha yang ketiga, pada dasarnya jika tidak
masuk ke dalam usaha mandiri, berarti ia masuk kategori usaha bersama jika
dipandang dari segi modalnya. Intinya adalah, bagaimanapun bentuk dan pola
usaha, keberadaannya mensyaratkan adanya modal.
Sebagai salah satu
syarat wajib bagi berdirinya sebuah badan usaha, modal ada kalanya diperoleh
dari hasil patungan, namun ada kalanya juga modal usaha diperoleh dari rekanan
baru yang menyuntikkan modal. Bahkan, kadang demi menjaga eksistensi sebuah
perusahaan, seorang manajer perusahaan terpaksa harus mencari pemodal pengganti
agar rekanannya yang keluar dari lingkup jalur usaha bisa tergantikan. Masuknya
rekanan baru ke dalam lingkungan sebuah usaha dengan modal ini selanjutnya
disebut sebagai investor (penanam modal). Proses masuknya modal disebut dengan
istilah investasi.
Melihat cara masuknya
modal ke dalam suatu badan usaha, dengan tetap memperhatikan konsep syariah
tentang profit and loss sharing, maka adakalanya modal (urudl) tersebut
bersifat bebas risiko, dan adakalanya rentan risiko. Untuk ‘urudl yang bersifat
bebas risiko biasanya diterapkan oleh perbankan untuk keperluan-keperluan
pembiayaan jangka pendek, sebagaimana terjadi pada akad salam, istisnaiy, bai’
murabahah, musyarakah mutanaqishah, musaqah (akad pembiayaan pertanian),
pembiayaan serikat dagang, dan lain-lain. Disebutkan sebagai bebas risiko
karena pihak yang memberikan funding (biaya) akan senantiasa mendapatkan
kembalian modal ditambah dengan keuntungan.
Kita ambil contoh
misalnya pada kasus pembiayaan pertanian. Pak Ahmad membutuhkan biaya pertanian
sebesar 10 juta rupiah. Total biaya tersebut diperuntukkan untuk keperluan
membeli mulsa, bibit, pupuk, obat-obat pertanian, dan lain sebagainya. Pihak
perbankan menawari dengan jalan membelanjakan seluruh kebutuhan Pak Ahmad
sebagaimana dimaksud, yang selanjutnya diambil labanya. Melihat model praktik
seperti ini, maka kedudukan seorang nasabah terhadap dananya adalah sebagai
investor, sementara bank berlaku sebagai pihak mudlarib dengan bidang usaha
berupa jasa pembiayaan dengan akad murabahah atau bai’ bil ahd, atau bai’ tawarruq yang bersifat
insidental. Risiko tidak kembalinya modal tidak ditemukan sehingga dana nasabah
menjadi aman.
Dalam praktik akad
istishna’iy, misalnya Pak Zaid ingin mendirikan sebuah pabrik tahu. Seluruh
dana pendirian pabrik ditanggung oleh perbankan selaku lembaga pembiayaan.
Setelah pabrik tahu jadi, total biaya pendirian dihitung secara bersama-sama
ditambah dengan keuntungan yang diambil oleh bank, dan selanjutnya Pak Zaid
membeli seluruh peralatan yang sudah jadi tersebut dengan akad bai’ bil ahd atau bai’ bi
al-tsamani al-ajil tergantung pada kesepakatan. Tentu dalam kondisi akad yang
sedemikian ini, kondisi jaminan modal nasabah tetap dalam posisi aman. Makanya
kemudian, investasi pada jalur seperti ini termasuk jenis jalur tanpa
risiko.
Selain jalur tanpa
risiko, ada juga jalur rawan risiko. Jalur rawan risiko ini sebagaimana terjadi
bila perbankan ikut ambil bagian saham sebuah perusahaan tertentu dengan jalur
usaha spesifik. Misalnya, perbankan mengambil peran selaku pemegang saham
sebuah industri makanan kemasan, minuman kaleng, atau jalur infrastruktur.
Rawannya untung rugi pada investasi jalur seperti ini memungkinkan terjadinya
perhitungan rugi laba.
Nah, berdasar
keterangan di atas, kita ambil sebuah kesimpulan bahwa yang dinamakan sebagai
investasi adalah pasti menyinggung adanya jalur usaha tertentu. Apabila jalur
usaha ini tidak ada, maka suatu maal (harta) yang diberikan kepada suatu badan
usaha bukan disebut sebagai modal, melainkan hanya sebuah titipan/tabungan /
simpanan biasa. Sebuah contoh, akhir-akhir ini sering kita temui adanya istilah
investasi emas. Setelah pengkaji telusuri, ternyata model pelaksanaan investasi
emas ini dilakukan dengan jalan seorang nasabah membeli emas ke pegadaian baik
secara kontan. Selanjutnya, emas tersebut dititipkan ke pegadaian untuk jangka
waktu tiga tahun atau dalam jangka waktu terbatas. Sewaktu-waktu emas naik,
emas titipan tersebut akan dijual. Apakah mekanisme seperti ini merupakan
bagian dari investasi? Jawabnya adalah bukan. Karena dalam investasi
mensyaratkan adanya usaha oleh seorang ‘amil. Sementara dalam pelaksanaan
investasi emas tidak dijumpai adanya usaha. Apakah emas bisa dipergunakan dalam
jalur investasi?
Ada tiga jalur akad
investasi sebagaimana sudah banyak kita bahas dalam tulisan-tulisan terdahulu.
Ada jalur murabahah, jalur mudlarabah dan jalur musyarakah. Dalam jalur
murabahah dan mudlarabah tidak ada ketentuan jenis modal. Sementara pada
musyarakah, ada syarat bahwa modal (‘urudl) harus bersifat sejenis. Misalnya,
ada tiga orang patungan usaha. Ketiga-tiganya harus menyerahkan jenis modal
yang sama. Apabila disepakati bahwa modal berupa emas, maka seluruh syarik
harus mengumpulkan berupa emas dalam modalnya. Dengan demikian, jika investasi
emas diterapkan pada akad musyarakah, maka tidak memungkinkan untuk
dilaksanakan di tengah perjalanan sebuah usaha. Karena ada dampak risiko untuk
jatuh kepada praktik ribawi. Penggunaan emas sebagai ‘urudl hanya memungkinkan
tanpa risiko jatuh ke dalam praktik ribawi apabila diterapkan di awal pendirian
badan usaha.
Adapun investasi emas
pada jalur murabahah dan mudlarabah, memungkinkan untuk dilaksanakan dengan
memanfaatkan praktik jual beli tawarruq, bai’ bi al-wafa’
atau bai’ul uhdah. Praktiknya adalah
seorang calon ‘amil yang membutuhkan pembiayaan diberikan qardlu berupa emas
senilai biaya yang dibutuhkannya, dan selanjutnya pada saat mengembalikan, maka
si ‘amil wajib mengembalikan berupa emas dengan jenis dan kadar berat yang sama
kepada lembaga pembiayaan. Pihak lembaga pembiyaan dalam hal ini bisa mengambil
keuntungan berupa selisih harga emas antara waktu diterimanya emas oleh calon
‘amil dan keuntungan yang didapat dari hasil jual beli emas secara muajjalan
(bertempo). Keuntungan dari bai’ muajjalan ini selanjutnya dibagikan kepada
nasabah, sementara emas yang diinvestasikannya memiliki berat dan kadar
kembalian yang tetap. Inilah yang dimaksud dengan istilah investasi emas.
Catatan:
Apa yang sudah
dijelaskan oleh pengkaji pada praktik investasi emas ini adalah bila emas
dibeli oleh seorang nasabah dengan harga kontan. Bagaimana bila investasi ini
dibeli dengan jalan mencicil? Apakah juga bisa disebut dengan istilah investasi
emas? Tunggu pembahasannya pada tulisan mendatang! Wallahu a’lam. []
Muhammad Syamsudin,
Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P.
Bawean, Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar