Beda Pendapat Ulama soal
Penetapan Awal Ramadhan
Setiap menjelang bulan Ramadhan, kita
senantiasa disuguhi fenomena perbedaan pendapat terkait penetapan awal puasa.
Ironisnya, perbedaan ini tidak jarang menimbulkan konflik di tengah-tengah
masyarakat berupa saling ejek dan saling klaim bahwa kelompoknya benar,
sedangkan kelompok lain salah. Bulan yang seharusnya dijadikan sebagai momen
peningkatan ibadah dan amal saleh justu dinodai oleh saling cemooh
antarkelompok masyarakat.
Kementerian Agama sebagai lembaga yang punya
otoritas dalam penetapan awal puasa, telah berusaha menyatukan
perbedaan-perbedaan tersebut dengan menggelar sidang itsbat yang dihadiri oleh
para ulama, ilmuwan, pakar hisab-rukyat, dan perwakilan dari berbagai
organisasi massa yang ada di Indonesia. Hanya saja, terkadang ada kelompok yang
tidak mengikuti hasil sidang itsbat dimaksud dengan alasan mereka telah
memiliki metode penetapan sendiri. Karenanya menjadi sangat penting bagi
masyarakat untuk mengetahui metode-metode yang digunakan oleh para ulama dalam
menetapkan awal bulan Ramadhan.
Dalam menetapkan awal bulan Ramadhan, ulama
berbeda pendapat. Pertama, mayoritas ulama dari madzhab Hanafi, Maliki,
Syafi’i dan Hanbali menyatakan bahwa awal bulan Ramadhan hanya bisa ditetapkan
dengan menggunakan metode rukyat (observasi/mengamati hilal) atau istikmal,
yaitu menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Mereka berpegangan pada
firman Allah subhanahu wa ta’ala dan Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 185:
فَمَنْ
شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Maka barangsiapa di antara kalian
menyaksikan bulan maka hendaklah ia berpuasa (pada) nya.”
Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
صُومُوا
لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا
عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
“Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan
berbukalah kalian karena melihatnya. Jika kalian terhalang (dari melihatnya)
maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.” (HR. Bukhari,
hadits no. 1776).
Pada ayat dan hadits di atas, Allah dan
Rasul-Nya mengkaitkan kewajiban berpuasa dengan melihat hilal. Artinya,
kewajiban berpuasa hanya bisa ditetapkan dengan melihat hilal atau
menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari. (Lihat: Muhammad Ali
al-Shabuni, Rawa’i al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an,
Damaskus: Maktabah al-Ghazali, Juz 1980, hal. 210).
Kedua, sebagian ulama,
meliputi Ibnu Suraij, Taqiyyuddin al-Subki, Mutharrif bin Abdullah dan Muhammad
bin Muqatil, menyatakan bahwa awal puasa dapat ditetapkan dengan metode hisab
(perhitungan untuk menentukan posisi hilal). Mereka berpedoman pada firman
Allah subhanahu wa ta’ala dan Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Allah berfirman dalam surat Yunus ayat 5:
هُوَ
الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ
لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ
“Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan
bulan bercahaya, dan Dialah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar kamu
mengetahui bilangan tahun, dan perhitungan (waktu).”
Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
إِذَا
رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ
عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
“Jika kalian melihat hilal (hilal Ramadhan)
maka berpuasalah, dan jika kalian melihatnya (hilal Syawwal) maka berbukalah.
Jika kalian terhalang (dari melihatnya) maka perkirakanlah ia.”
Ayat di atas menerangkan bahwa tujuan
penciptaan sinar matahari dan cahaya bulan serta penetapan tempat orbit
keduanya adalah agar manusia mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.
Artinya, Allah subhanahu wa ta’ala mensyariatkan kepada manusia agar
menggunakan hisab dalam menentukan awal dan akhir bulan Hijriyah. Sedangkan
poin utama dari hadits di atas adalah kata “Faqdurû lah”. Menurut mereka, arti
kata tersebut adalah perkirakanlah dengan menggunakan hitungan (hisab).
Dari kedua pendapat di atas, tampaknya
pendapat kelompok pertama yang menyatakan bahwa awal Ramadhan hanya bisa
ditetapkan dengan rukyat dan istikmal merupakan pendapat yang
sangat kuat, karena dalil-dalil yang mereka kemukakan sangat jelas dan tegas
menyatakan hal tersebut. (Lihat: Mahmud Ahmad Abu Samrah dkk., Al-Ahillah
Baina al-Falaq wa al-Fiqh, Jurnal al-Jami’ah al-Islamiyyah, Volume 12,
Nomor 2, Halaman 241).
Akan tetapi, seiring dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi terutama dalam bidang ilmu astronomi, peran hisab
sangatlah urgen dalam mendukung hasil rukyat. Apalagi, hisab yang didukung
dengan alat modern memiliki akurasi yang sangat tinggi.
Dalam konteks negara Indonesia, terdapat
beberapa kriteria penetapan awal Ramadhan, di antaranya: Pertama, imkanur
rukyat (visibilitas hilal). Imkanur Rukyat adalah mempertimbangkan
kemungkinan terlihatnya hilal. Kriteria ini mengharuskan hilal berada minimal 2
derajat di atas ufuk, sehingga memungkinkan untuk dilihat. Akan tetapi, adanya
hilal belum teranggap sampai hilal tersebut dapat dilihat dengan mata. Kriteria
ini digunakan oleh NU sebagai pendukung proses pelaksanaan rukyat yang
berkualitas.
Kedua, wujudul hilal.
Wujudul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan Ramadhan dengan menggunakan
dua prinsip: Ijtimak (Konjungsi) telah terjadi sebelum Matahari terbenam, dan
bulan terbenam setelah matahari terbenam. Jika kedua kriteria tersebut
terpenuhi maka pada petang hari tersebut dapat dinyatakan sebagai awal bulan.
Kriteria ini digunakan oleh Muhammadiyah.
Ketiga, imkanur rukyat MABIMS.
Yaitu penentuan awal bulan Ramadhan yang ditetapkan berdasarkan musyawarah
Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura
(MABIMS). Menurut kriteria ini, awal bulan Hijriyah terjadi jika saat matahari
terbenam, ketinggian Bulan di atas horison tidak kurang dari 2 derajat dan
jarak lengkung Bulan-Matahari (sudut elongasi) tidak kurang dari 3 derajat, dan
ketika terbenam, usia bulan tidak kurang dari 8 jam setelah ijtimak/konjungsi.
Keempat, rukyat global.
Yaitu Kriteria penentuan awal bulan Ramadhan yang menganut prinsip bahwa jika
satu penduduk negeri melihat hilal, maka penduduk seluruh negeri berpuasa.
Kriteria ini digunakan sebagian muslim Indonesia dengan merujuk langsung pada
Negara Arab Saudi atau menggunakan hasil terlihatnya hilal dari Negara lain.
Dengan adanya metode dan kriteria penetapan
awal Ramadhan yang sangat variatif, tidak mengherankan jika terjadi perbedaan
dalam memulai puasa Ramadhan. Hanya saja, penting kiranya untuk berusaha
menyatukan perbedaan-perbedaan tersebut, mengingat bahwa amaliah di bulan
Ramadhan dan lebaran di bulan Syawal merupakan syi’ar Islam dan momen
kebahagiaan yang layaknya dilaksanakan dan dinikmati bersama-sama.
Pemerintah melalui Kementerian Agama memiliki
peran sentral dalam menyatukan perbedaan dimaksud, yaitu dengan
menyelenggarakan sidang Itsbat awal Ramadhan yang didasarkan pada rukyat, dan
hisab sebagai pendukung. Keputusan Itsbat bersifat mengikat dan berlaku
bagi umat Islam secara nasional, sebagaimana kaidah fiqih:
حُكْمُ
الحَاكِمِ يَرْفَعُ الخِلَافَ
“Keputusan Hakim (Pemerintah) dapat
menghilangkan perselisihan.”
Hanya saja, jika perbedaan penetapan awal
Ramadhan masih saja terjadi maka prinsip toleransi sepatutnya tetap
dikedepankan. Sebab, menjaga persatuan dan kerukunan umat merupakan perintah
Allah yang wajib dilaksanakan. Wallahu A’lam. []
Husnul Haq, Dosen IAIN Tulungagung dan
Pengurus LDNU Jombang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar