Saatnya Mengendorkan Emosi
Oleh: Ahmad Syafii
Masih terngiang dalam ingatan saya ucapan Jimmy Carter saat
dikalahkan Ronald Reagan dalam Pilpres 1980: “I can’t say it doesn’t hurt.”
(Tidak bisa saya katakan ia [kekalahan] itu tidak menyakitkan).
Adalah aneh saat kalah orang akan bergembira ria, kecuali jika
kemenangan itu memang tidak diinginkannya. Dalam Pilpres Indonesia 2019,
kedua kontestan sama-sama ingin menang, tidak ada yang mau kalah.
Kalimat bersayap: “Siap menang, siap kalah,” adalah untuk menjaga
emosi pendukung agar mampu menjaga kedewasaan sikap menghadapi semua
kemungkinan. Secara tersirat kalimat bersayap itu bisa saja berbunyi: “Siap
menang, tidak siap kalah,” karena kekalahan itu memang menyakitkan,
menggoreskan luka.
Namun, sebagai bangsa besar yang bineka, Indonesia sudah lulus
dalam ujian dalam mengatasi bermacam tantangan dan cobaan yang pernah
mengganggu keutuhan dan integrasi nasionalnya. Bahkan, pada akhir tahun 1950-an
ketika daerah-daerah bergolak melawan Jakarta, menurut AH Nasution, kekuatan
perlawanan sudah menguasai sepertujuh wilayah republik.
Nyaris saja Indonesia pada tahun-tahun penuh musibah itu terbelah.
Tokh, pada
akhirnya dapat dipertautkan kembali, sekalipun dengan meninggalkan luka bagi
daerah-daerah yang bergolak.
Tantangan Pileg dan Pilpres 2019 berbeda wataknya dibandingkan
pergolakan daerah tahun 1950-an/1960-an. Jika dulu bersifat vertikal: daerah
versus pusat, sekarang horizontal: elite versus elite, pendukung versus
pendukung dalam komunitas yang sama. Bahkan, getarannya terasa sampai di akar
rumput, dalam rumah-rumah ibadah, dan di kedai-kedai kopi.
Bahkan, dalam hubungan suami-istri. Suami ke utara, istri ke
selatan, anak-anak ke barat, menantu ke timur. Tetapi yang menghibur adalah
kenyataan dalam fenomena yang serbahorizontal ini hanya sedikit yang serius.
Gelombang besarnya terlihat santai-santai saja.
Sabtu pagi, 20 April, saya didatangi seorang pengusaha dari
Jakarta. Dia bercerita tentang keluarganya yang berbeda pilihan dengan sikap
landai saja. Masing-masing bebas menyalurkan aspirasi politiknya, tanpa gesekan
sedikit pun. Ada lagi, cerita teman saya beretnis Jawa, sedangkan istrinya
etnis Gayo (Aceh).
Etnis Jawa ke 01, etnis Gayo ke 02, senapas dengan kecenderungan
masyarakat Aceh di daerah asal. Semuanya berjalan normal, tidak perlu neng-nengan (Jawa, saling
membisu). Bagi saya, suasana semacam ini menyiratkan kedewasaan politik dalam
sistem demokrasi yang semoga semakin waras.
Ada pun masih ada segelintir elite yang membawa-bawa agama sebagai
pembenaran kecenderungan politik partisannya tak usah terlalu dirisaukan. Dalam
perjalanan waktu, ketika demokrasi semakin sehat dan kuat, cara-cara semacam
itu pasti akan ditelan musim.
Apalagi, 'ancaman' people
power yang diteriakkan tanpa mematuhi konstitusi dan perangkat
hukum, anggap saja sebagai hiburan politik saat demokrasi masih dalam proses
menjadi.
Kecemasan sebelum pemilu akan banyak yang golput ternyata tidak terbukti.
Bahkan, info yang kita dapat bahwa semangat menggunakan hak pilih pada 17 April
yang lalu sangat membesarkan hati, mencapai angka 80 persen, sementara politik
uang kabarnya mulai berkurang.
Selain hal-hal positif di atas, kita juga perlu ingat bahwa proses
pemilu kali ini sungguh ruwet, lima lembar surat suara (empat di DKI Jakarta)
yang harus dicoblos, sungguh merepotkan, tidak saja bagi mereka yang kurang
melek huruf, yang paling melek huruf sekalipun harus membolak-balik lembaran
itu. Bahkan, kabarnya cawapres 02 memerlukan tempo 10 menit di kotak suara.
Jika ada korban dalam pemilu kali ini bukan karena perbedaan
pilihan politik, melainkan apa yang menimpa para petugas di lapangan. Dalam
catatan Republika,
sampai tanggal 19 April sudah jatuh korban 20 orang petugas pemilu dan polisi
sebagai aparat pengawal keamanan. (lih. Republika,
hlm. 2).
Mereka sebagian besar wafat karena kelelahan dalam bertugas,
sebagian kecil karena sakit dan kecelakaan. Bayangkan para petugas itu telah
bekerja siang dan malam dengan waktu istirahat yang sangat sempit.
Saya sarankan kepada negara agar keluarga para korban ini
disantuni dengan memadai, seperti untuk pendidikan dan kesehatan anak-anaknya.
Mereka telah memberikan nyawanya demi menegakkan sistem demokrasi Indonesia
menjadi sehat dan kuat. Dan mohon diingat, anggaran pemilu kali kabarnya berada
pada angka di atas 20 triliun, sebuah angka raksasa.
Oleh sebab itu, segala bentuk sengketa pemilu harus diselesaikan
secara konstitusional. Tidak di luar jalur itu, sebab bisa memicu anarkisme dan
tindakan brutal lainnya. Jika ini berlaku, korbannya bukan siapa-siapa,
melainkan bangsa negara ini.
Sambil menanti pengumunan resmi KPU tentang hasil pemilu pada 22
Mei 2019, mari kita semua sama-sama mengendorkan emosi untuk bersabar kemudian
menerima hasil final itu. []
REPUBLIKA, 23 April 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar