Jumat, 26 April 2019

Buya Syafii: Saatnya Mengendorkan Emosi


Saatnya Mengendorkan Emosi
Oleh: Ahmad Syafii

Masih terngiang dalam ingatan saya ucapan Jimmy Carter saat dikalahkan Ronald Reagan dalam Pilpres 1980: “I can’t say it doesn’t hurt.” (Tidak bisa saya katakan ia [kekalahan] itu tidak menyakitkan).

Adalah aneh saat kalah orang akan bergembira ria, kecuali jika kemenangan itu memang tidak diinginkannya. Dalam Pilpres Indonesia 2019, kedua kontestan sama-sama ingin menang, tidak ada yang mau kalah.

Kalimat bersayap: “Siap menang, siap kalah,” adalah untuk menjaga emosi pendukung agar mampu menjaga kedewasaan sikap menghadapi semua kemungkinan. Secara tersirat kalimat bersayap itu bisa saja berbunyi: “Siap menang, tidak siap kalah,” karena kekalahan itu memang menyakitkan, menggoreskan luka.

Namun, sebagai bangsa besar yang bineka, Indonesia sudah lulus dalam ujian dalam mengatasi bermacam tantangan dan cobaan yang pernah mengganggu keutuhan dan integrasi nasionalnya. Bahkan, pada akhir tahun 1950-an ketika daerah-daerah bergolak melawan Jakarta, menurut AH Nasution, kekuatan perlawanan sudah menguasai sepertujuh wilayah republik.

Nyaris saja Indonesia pada tahun-tahun penuh musibah itu terbelah. Tokh, pada akhirnya dapat dipertautkan kembali, sekalipun dengan meninggalkan luka bagi daerah-daerah yang bergolak.

Tantangan Pileg dan Pilpres 2019 berbeda wataknya dibandingkan pergolakan daerah tahun 1950-an/1960-an. Jika dulu bersifat vertikal: daerah versus pusat, sekarang horizontal: elite versus elite, pendukung versus pendukung dalam komunitas yang sama. Bahkan, getarannya terasa sampai di akar rumput, dalam rumah-rumah ibadah, dan di kedai-kedai kopi.

Bahkan, dalam hubungan suami-istri. Suami ke utara, istri ke selatan, anak-anak ke barat, menantu ke timur. Tetapi yang menghibur adalah kenyataan dalam fenomena yang serbahorizontal ini hanya sedikit yang serius. Gelombang besarnya terlihat santai-santai saja.

Sabtu pagi, 20 April, saya didatangi seorang pengusaha dari Jakarta. Dia bercerita tentang keluarganya yang berbeda pilihan dengan sikap landai saja. Masing-masing bebas menyalurkan aspirasi politiknya, tanpa gesekan sedikit pun. Ada lagi, cerita teman saya beretnis Jawa, sedangkan istrinya etnis Gayo (Aceh).

Etnis Jawa ke 01, etnis Gayo ke 02, senapas dengan kecenderungan masyarakat Aceh di daerah asal. Semuanya berjalan normal, tidak perlu neng-nengan (Jawa, saling membisu). Bagi saya, suasana semacam ini menyiratkan kedewasaan politik dalam sistem demokrasi yang semoga semakin waras.

Ada pun masih ada segelintir elite yang membawa-bawa agama sebagai pembenaran kecenderungan politik partisannya tak usah terlalu dirisaukan. Dalam perjalanan waktu, ketika demokrasi semakin sehat dan kuat, cara-cara semacam itu pasti akan ditelan musim.

Apalagi, 'ancaman' people power yang diteriakkan tanpa mematuhi konstitusi dan perangkat hukum, anggap saja sebagai hiburan politik saat demokrasi masih dalam proses menjadi.

Kecemasan sebelum pemilu akan banyak yang golput ternyata tidak terbukti. Bahkan, info yang kita dapat bahwa semangat menggunakan hak pilih pada 17 April yang lalu sangat membesarkan hati, mencapai angka 80 persen, sementara politik uang kabarnya mulai berkurang.

Selain hal-hal positif di atas, kita juga perlu ingat bahwa proses pemilu kali ini sungguh ruwet, lima lembar surat suara (empat di DKI Jakarta) yang harus dicoblos, sungguh merepotkan, tidak saja bagi mereka yang kurang melek huruf, yang paling melek huruf sekalipun harus membolak-balik lembaran itu. Bahkan, kabarnya cawapres 02 memerlukan tempo 10 menit di kotak suara.

Jika ada korban dalam pemilu kali ini bukan karena perbedaan pilihan politik, melainkan apa yang menimpa para petugas di lapangan. Dalam catatan Republika, sampai tanggal 19 April sudah jatuh korban 20 orang petugas pemilu dan polisi sebagai aparat pengawal keamanan. (lih. Republika, hlm. 2).

Mereka sebagian besar wafat karena kelelahan dalam bertugas, sebagian kecil karena sakit dan kecelakaan. Bayangkan para petugas itu telah bekerja siang dan malam dengan waktu istirahat yang sangat sempit.

Saya sarankan kepada negara agar keluarga para korban ini disantuni dengan memadai, seperti untuk pendidikan dan kesehatan anak-anaknya. Mereka telah memberikan nyawanya demi menegakkan sistem demokrasi Indonesia menjadi sehat dan kuat. Dan mohon diingat, anggaran pemilu kali kabarnya berada pada angka di atas 20 triliun, sebuah angka raksasa.

Oleh sebab itu, segala bentuk sengketa pemilu harus diselesaikan secara konstitusional. Tidak di luar jalur itu, sebab bisa memicu anarkisme dan tindakan brutal lainnya. Jika ini berlaku, korbannya bukan siapa-siapa, melainkan bangsa negara ini.

Sambil menanti pengumunan resmi KPU tentang hasil pemilu pada 22 Mei 2019, mari kita semua sama-sama mengendorkan emosi untuk bersabar kemudian menerima hasil final itu. []

REPUBLIKA, 23 April 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar