Sikap Rasulullah
Terhadap Koruptor
Korupsi merupakan
sebuah tindakan yang merugikan pihak lain dan menguntungkan diri sendiri atau
kelompoknya. Dalam praktiknya, korupsi adalah sebuah kejahatan yang sudah ada
sejak lama. Selama usia manusia itu sendiri. Tidak terkecuali pada zaman
Rasulullah Muhammad. Ada beberapa riwayat yang menceritakan kalau zaman
Rasulullah pun ada orang yang melakukan korupsi.
Lalu, bagaimana sikap
Rasulullah terhadap koruptor?
Pertama,
mempublikasikan koruptor. Dalam sebuah hadist riwayat Bukhari dan Muslim di
dalam kitab al-Minhaj fi Syarh Sahih Muslim ibnu al-Hajjaj diceritakan bahwa
suatu ketika Abdullah bin al-Lutbiyah ditunjuk untuk menjadi pemungut zakat di
Bani Sulaim. Usai menyelesaikan tugasnya, ia kembali menghadap Rasulullah dan
melaporkan hasil zakat dari masyarakat Bani Sulaim. Akan tetapi, Rasulullah
mendapati ada hal yang tidak benar dalam laporan al-Lutbiyah.
Segera setelah
mengetahui kalau al-Lutbiyah melakukan korupsi, Rasulullah langsung berpidato
di hadapan khalayak ramai. Beliau memberitahukan kepada masyarakat Muslim pada
saat itu tentang ketidakbenaran yang telah dilakukan al-Lutbiyah. Tidak lain,
tujuan Rasulullah melakukan publikasi tindak pidana korupsi adalah untuk
membuat malu dan jera para koruptor, serta sebagai pelajaran bagi yang lainnya
agar tidak melakukan hal yang sama.
Kedua, menyebut
koruptor tidak akan masuk surga. Rasulullah menilai kalau orang yang melakukan
korupsi, meski hanya seutas tali sekalipun, akan membawanya ke dalam neraka.
Rasulullah bersabda demikian manakala seorang budak yang bernama Mid’am atau
Kirkirah tewas setelah lehernya terkena anak panah nyasar.
Para sahabat yang
tidak mengetahui kalau Mid’am korupsi sejumlah harta rampasan perang
(ghanimah), mendoakannya masuk surga. Sontak saja, Rasulullah yang berada dalam
satu majelis bersabda kalau Mid’am tidak akan masuk surga karena ulahnya itu.
Demikian yang tertera dalam sebuah hadist riwayat Abu Dawud di dalam kitab ‘Aun
al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud.
Ketiga, tidak ikut
menshalatkan jenazah koruptor. Rasulullah memerintahkan para sahabatnya untuk
menshalatkan seseorang yang menggelapkan perhiasan seharga dua dirham. Akan
tetapi, perintah Rasulullah kepada para sahabatnya untuk menshalatkan koruptor
itu mengisyaratkan kalau Rasulullah sendiri tidak berkenan menshalatkan orang
yang telah menggelapkan harta rampasan di jalan Allah itu. Hal ini sesuai
dengan hadist hadist riwayat Abu Dawud.
Ibnu Rusydi di dalam
kitabnya Bidayatul Mujtahid juga mengungkapkan kalau ulama, kiai, modin, dan
orang terpandang lainnya –apalagi Rasulullah- tidak perlu ikut menshalatkan
koruptor. Cukup masyarakat umum saja yang menunaikan fardlu kifayah tersebut.
Demikian beberapa
sikap tegas dan keras yang dilakukan Rasulullah kepada mereka yang melakukan
tindak pidana korupsi. Karena bagaimanapun juga mengambil sesuatu yang bukan
haknya adalah perbuatan yang tidak bisa dibenarkan. Apalagi sampai merugikan
orang lain, bahkan negara. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar