Senin, 08 April 2019

Buya Syafii: Lafaz Allah di Langit Biru Itu


Lafaz Allah di Langit Biru Itu
Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Ada rasa geli dan sedikit malu saat saya menulis "Resonansi" kali ini. Karena merasa senang, gambar lafaz Allah di langit biru dalam huruf Arab yang sangat indah kiriman Bung GM (Goenawan Mohamad) beberapa hari yang lalu langsung saya sebarkan kepada banyak sahabat, termasuk sejumlah petinggi di republik ini.

Bukan saja lafaz itu yang dikirim GM, melainkan juga kalimat berikut (dikutip sebagaimana aslinya): “Di negeri yang dianggap kafir, New Zealand, penghormatan diberikan kpd minoritas yg jadi korban, muslimin dan muslimat. Angkatan Udaranya menulis ‘Allah’ di langit.” Saya hanya memberi komentar satu kata saja terhadap kiriman itu: “Dahsyat.”

Sebagaimana terlihat pada gambar itu, di sebelah atas nama Allah yang dipertunjukkan oleh enam pesawat AU (Angkatan Udara) itu, ada kalimat bahasa Inggris berikut ini: “New Zealand Air Force yesterday displayed the name of Allah in Arabic in solidarity with Muslim community.” (AU Selandia Baru kemarin mempertunjukkan nama Allah dalam huruf Arab dalam semangat solidaritas dengan komunitas Muslim).

Siapa yang tidak terkesan dan terharu oleh semangat tanda simpati yang ditunjukkan orang lain terhadap korban selepas terjadinya serangan brutal oleh teroris-rasis kulit putih Australia, Brenton H Tarrant. Tragedi itu berlaku di dua masjid ketika salat Jumat di Jl Christchurch, Selandia Baru, pada 15 Maret 2019 dengan korban tewas 50 jamaah.

Agak lama saya merenungkan berita dan kejadian di atas. Sebelum itu, reaksi spontan terhadap serangan keji itu saya kirimkan kepada Komjen Suhardi Alius (Kepala BNPT) pada 17 Maret berikut ini (disalin sesuai aslinya): "Jenderal SA, Selandia Baru yg selama ini dikenal dunia sbg salah salah satu kepingan bumi yg paling aman dan nyaman, kini tercabik sudah. Kebetulan korbannya Muslim, di kawasan lain, lagi-lagi korbannya Muslim dan non-Muslim dlm kuantitas yg lbh dahsyat. ‘Dunia kita’, kata Anthony Gidden, ‘adalah dunia yg lintang pukang,’ ‘a runway world.’ Selebihnya, kt tdk tahu, ke mana jenis homo sapiens ini mau melangkah: ke arah perdamaian atau ke hara-kiri total. Allahu a’lam! Maarif."

Kembali kepada alur cerita semula. Berita dari GM itu juga saya kirimkan kepada Prof Azyumardi Azra. Komentarnya begini: “Bukan New Zealand Air Force tapi TNI AU dalam Jogja Air Show 2017. Tapi, hebatnya, kata pihak TNI AU, formasi itu sebenarnya terjadi tanpa kesengajaan! Barangkali itulah bukti kebesaran Allah.”

Kemudian, saya menjadi semakin tersadarkan oleh komentar Ahmad Sahal, intelektual muda NU yang kritikal: “Terima kasih informasinya. Janganlah kita mudah menyebarkan sesuatu yang tidak diketahui kebenarannya atau hoaks. Foto itu bukan pesawat RNZAF tapi Tim Aerobik Jupiter TNI AU."

Ada lagi catatan dari Erik Tauvani yang senada dengan Sahal. “Gambar ini belum tentu valid, Buya. Karena saya juga melihat gambar serupa tapi keterangannnya di Pakistan pada 2018 yang lalu.”

Aduh, ternyata saking senangnya, berita hoaks di atas saya sebarkan dengan penuh antusiasme. Bukan karena gambar itu palsu, melainkan karena peristiwanya di Indonesia, bukan di Selandia Baru, sebagaimana Prof Azra telah mengoreksinya.

Untuk mengurangi “rasa dosa”, peringatan Ahmad Sahal itu saya kirimkan pula kepada mereka yang tadinya tertipu oleh ulah saya yang percaya begitu saja terhadap kiriman seorang sahabat. Hebatnya, sebagian besar mereka yang mendapat sebaran saya bukan main terharunya.

Inilah di antara ungkapan kekaguman mereka: “Luar biasa, Buya. Ini yang harus dicontoh oleh bangsa kita, Buya. Bagaimana penghargaan negara terhadap minoritas.” “Ya, Prof. Negara kafir yang Islami.” “Hebat Prof. Izin share.”

“Ya Allah luar biasa penghormatannya terhadap Islam.” “Luar biasa, Buya.” “Begitu humanis mereka, Buya. Negara mayoritas Islam sepertinya tidak ada yang seperti itu.” Masih ada format keharuan yang lain. Setelah catatan Ahmad Sahal sampai kepada mereka, barulah paham apa yang sebenarnya berlaku. Itulah sebabnya saya geli dan malu.

Akhirnya, untuk selanjutnya saya mesti lebih berhati-hati berselancar di dunia medsos, sekalipun yang diviralkan itu hal-hal yang baik dan positif, bukan fitnah atau ujaran kebencian. Dunia IT ini sungguh mengerikan. Di sisi lain, banyak pula manfaatnya. []

REPUBLIKA, 02 April 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar