Ketika Ahli Ibadah ‘Kepedean’ Merasa Hanya
Menyembah Allah
Seperti berulang kali disampaikan oleh Emha
Ainun Nadjib (Cak Nun), kita tidak boleh merasa paling benar, apalagi sembari
menyalahkan orang lain. Sebab, Al-Qur’an telah mengajarkan pada kita untuk
bersikap rendah hati, seperti yang tersirat dalam doa Nabi Adam dan Nabi Yunus:
Rabbanâ dhalamnâ anfusanâ wa in lam taghfir lanâ wa tarhamnâ lanakûnannâ minal
khâsirîn. Lâ ilâha illâ Anta subhânaka innî kuntu minadh dhâlimîn.
Surat Al-Fatihah yang kita baca setiap rakaat
shalat bahkan juga memuat ayat yang meminta kita secara tersirat untuk
senantiasa merasa belum benar. Ihdinash shirâthal mustaqîm (tunjukkanlah kami
jalan yang lurus). Permohonan kita kepada Allah untuk ditunjukkan jalan yang
lurus menunjukkan bahwa jalan yang kita tempuh selama ini masih mengandung
kemungkinan tidak lurus, sehingga tak henti-hentinya kita memohon jalan yang
lurus.
Pesan agar kita senantiasa rendah hati dan
jangan merasa paling benar, ternyata juga terdapat dalam cerita yang dikisahkan
Syihabuddin Al-Qalyubi dalam kitab An-Nawadir. Berikut ceritanya.
Dikisahkan seorang ahli ibadah (‘âbid) sedang
melakukan shalat. Ketika ia sampai pada bacaan “iyyâka na‘budu” (hanya kepada-Mu
kami menyembah), dalam hatinya ia membatin bahwa ia sudah benar-benar menjadi
ahli ibadah yang sejati. Namun tiba-tiba ada suara gaib yang menyerunya.
“Engkau telah berbohong! Engkau sesungguhnya
sedang menyembah makhluk.”
Mendengar suara gaib tersebut, seketika ia
bertobat dan menjauh dari kehidupan manusia agar terhindar melakukan dosa.
Ia kemudian melakukan shalat lagi. Ketika
sampai pada bacaan “iyyâka na‘budu” (hanya kepada-Mu kami menyembah), kembali
ada suara gaib yang terdengar.
“Engkau telah berbohong!Yang engkau sembah
sesungguhnya istrimu,” demikian bunyi suara gaib itu.
Ia kemudian menceraikan istrinya. Ia
melakukan shalat lagi, dan ketika sampai pada bacaan “iyyâka na‘budu” (hanya
kepada-Mu kami menyembah), lagi-lagi ada suara gaib yang menyerunya.
“Engkau berbohong! Engkau sesungguhnya
menyembah hartamu.”
Mendengar seruan itu, ia kemudian mendermakan
seluruh hartanya. Ia melakukan shalat lagi dan ketika sampai pada bacaan
“iyyâka na‘budu” (hanya kepada-Mu kami menyembah), untuk ke sekian kalinya
kembali terdengar suara gaib.
“Engkau berbohong! Yang sesungguhnya engkau
sembah adalah pakaianmu.”
Saat itu juga ia mendermakan seluruh pakaian
yang ia miliki kecuali pakaian yang ia kenakan. Ia kembali melakukan shalat,
dan ketika sampai pada bacaan “iyyâka na‘budu” (hanya kepada-Mu kami
menyembah), masih ada suara gaib yang terdengar. Namun kali ini suara gaib itu
lain.
“Engkau benar, engkau telah menyembah-Ku.
Engkau adalah seorang ahli ibadah sejati,” demikian akhirnya suara gaib itu
berbunyi.
Kita tidak harus secara tekstual meniru apa
yang dilakukan ahli ibadah dalam cerita tersebut dalam artian sampai menjauhi
manusia, menceraikan istri, mendermakan seluruh harta dan pakaiannya. Sebab
pesan yang ingin disampaikan bukan itu, tetapi pertama, kita tidak boleh merasa
sudah menjadi orang yang benar seperti dibatinkan tokoh utama saat melakukan
shalat.
Anggapan si ahli ibadah bahwa ia sudah
benar-benar menjadi ahli ibadah ternyata dibantah berkali-kali oleh suara
gaib.
Kedua, untuk menjadi ahli ibadah sejati, kita
diminta melepaskan pikiran-pikiran duniawi saat melakukan ibadah. Manusia,
istri, harta, dan pakaian adalah beberapa hal yang seringkali muncul dalam
pikiran saat melakukan shalat. Maka, semua itu harus “dilepaskan”. Wallahu
a’lam bish shawab. []
(Moh. Salapudin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar