Tersesat
dalam Pesta Demokrasi
Oleh:
Yudi Latif
“Wakil
rakyat tidak sungguh sungguh mewakili dan melayani rakyat, tetapi berdiri di
atas dan terputus dari rakyat. Hal kontras kehidupan wakil rakyat dengan
rakyatnya tecermin dari pemberitaan yang serbakontradiktif.”
DEMOKRASI
Indonesia benar-benar menampilkan diri sebagai pesta yang gaduh dan seronok.
Setiap sudut kota dan desa, jalanan, serta ruang publik menjelma menjadi ruang
penampakan wajah para politikus; ruang media jumbuh dengan kampanye politik.
Triliunan rupiah uang rakyat terkuras untuk memenuhi ekstravaganza pesta
demokrasi ini.
Di tengah
kegaduhan pesta, banyak orang mabuk kepayang yang melupakan pokok persoalan.
Bahwa demokrasi lebih dari sekadar ledakan perhimpunan, pesta pemilihan, atau
rebutan kekuasaan, tapi modus kekuasaan yang seharusnya lebih menjunjung tinggi
daulat rakyat dengan mewujudkan tujuan negara, seperti termaktub dalam
pembukaan UUD 1945, `Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial'.
Perkembangan
demokrasi Indonesia membuat rakyat harus terbiasa memahami istilah dengan
pengertian terbalik. Di negara ini, pemaknaan `demokrasi' tidak mengikuti
definisi Abraham Lincoln, `government of the people, by the people, and for the
people' (pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat), tetapi
terjungkir menjadi government off the people (pemerintahan terputus dari
rakyat), buy the people (membeli rakyat), dan force the people (menekan
rakyat).
Wakil
rakyat tidak sungguh-sungguh mewakili dan melayani rakyat, tetapi berdiri di
atas dan terputus dari rakyat. Hal kontras kehidupan wakil rakyat dengan
rakyatnya tecermin dari pemberitaan yang serbakontradiktif. Di satu sisi, wakil
rakyat memboroskan anggaran untuk renovasi ruang banggar yang supermahal;
dengan tanpa rasa malu, sebagian di antara mereka bahkan mengusulkan untuk
menjadikan hal itu sebagai standar pembangunan ruangan di lingkungan DPR. Saat
yang sama, media memperlihatkan potret jembatan gantung di daerah Banten, yang
saban hari dilintasi warga dan siswa, yang kondisinya seperti jembatan
prasejarah yang mengenaskan.
Defisit
keadilan
Kenyataan
itu menunjukkan bahwa surplus kebebasan yang menyertai orde reformasi tidak
serta-merta mampu membebaskan rakyat dari belenggu penderitaan. Terbukti pula
bahwa kebebasan saja tidak bisa mengatasi tirani (pemusatan dan kezaliman
kekuasaan). Saatnya mempertimbangkan penghayatan klasik, seperti dalam tradisi
Islam, yang memperhadapkan tirani bukan dengan kebebasan, melainkan dengan
keadilan. Dalam perspektif ini, masalah Indonesia bukan lah defisit kebebasan,
melainkan defisit keadilan.
Sumber
ketidakadilan politik hari ini bermula dari melambungnya ongkos kekuasaan. Banjir
uang yang mengalir ke dunia politik membawa polusi pada kehidupan publik.
Segala nilai dikonversikan dalam nilai uang. Kepentingan investor nyaris selalu
dimenangkan ketika nilai kebajikan sipil dan ideal kewargaan tak memiliki
sarana yang efektif untuk mengekspresikan diri. Hubungan politik digantikan
oleh hubungan konsumtif. Politik mengalami proses konsumerisasi dan
privatisasi. Dengan konsumerisasi, branding recognition lewat manipulasi
pencitraan menggantikan kualitas dan jati diri. Dengan privatisasi, modal
menginvasi demokrasi dengan menempatkan `aku' di atas `kita' yang menimbulkan
penolakan atas segala yang civic dan publik.
Ketika
uang menjadi bahasa politik, sementara mayoritas rakyat hidup dalam kemiskinan
atau dalam keserakahan orang kaya baru, keampuh an demokrasi elektoral lekas
ambruk. Suara bisa dibeli dan dimanipulasi. Idealisme pemilih dirobohkan,
otoritas Komisi Pemilihan Umum dihancurkan. Ketika nilai-nilai idealisme
kewargaan tidak memiliki saluran efektif, nilai-nilai kepentingan investor
mendikte kebijakan politik.
Di bawah
kendali `tirani modal', demokrasi cuma mempersoalkan bagaimana caranya menang
dan mendapatkan keuntungan. Demokrasi melupakan bahasa `hikmat-kebijaksanaan'
yang mempertanyakan apa yang benar, yang dipersyaratkan dalam sila keempat dari
Pancasila.
Dengan
hilangnya bahasa hikmat-kebijaksanaan, gerak demokrasi menjauh dari cita-cita
keadilan sosial. Demokrasi yang dijalankan secara tidak hati-hati serta tidak
disesuaikan dengan kondisi sosial budaya dan falsafah bangsa bisa menyebabkan
ketidakadilan dan penderitaan rakyat ritaan rakyat serta gagal memberikan
martabat dan pemerintahan yang baik.
Meski
pesta demokrasi dirayakan dengan berbagai pe milihan langsung, keluaran yang
dihasilkan justru memenuhi sisi negatif dari poliarki yang di bayangan
Aristoteles; pemerintahan mediokritas yang di darahi oleh praktik politik kotor
di bawah penguasaan uang. Bawaan negatif itu tak terhindarkan karena demokrasi
Indonesia dirayakan oleh kedangkalan, tanpa memberi ruang bagi kedalaman etika
dan penalaran.
Dalam
demokrasi tanpa kedalaman etika, seperti dalam aliran sungai, hal-hal sepele
mengambang di permukaan, membiarkah hal-hal berbobot substantif tenggelam.
Politik sebagai ruang penampakan sekadar dihiasi oleh basa-basi etiket; pola
gerak tutur sebagai teknis pengelolaan kesan. Adapun substansi etika politik,
sebagai perkhidmatan kepada kebajikan hidup bersama, dikaramkan.
Krisis
kedalaman etika ini diperburuk oleh krisis kedalaman penalaran. Berbagai cacat
yang tampak pada hasil amendemen konstitusi, produk perundang-undangan, dan
desain institusi demokrasi mencerminkan merosotnya kualitas nalar publik.
Kemana
saja kita berpaling, sulit menemukan para politikus dan pekerja intelektual
yang secara tekun mengembangkan penalaran secara jernih dan mendalam.
Upaya
menyemai politik harapan harus memperkuat kembali visi yang mempertimbangkan
warisan baik masa lalu, peluang masa kini, serta keampuhannya mengantisipasi
masa depan. Visi ini harus menjadi kenyataan dengan memperkuat kapasitas
transformatif kekuasaan, lewat aktualisasi politik harapan.
Ruang
kebebasan
Untuk
merealisasikan politik harapan, suatu bangsa harus keluar dari tahap anarki,
tradisionalisme, dan apati menuju penciptaan pemimpin publik yang sadar. Pada
tahap pertama, seluruh tindakan politik diabsahkan menurut logika pemenuhan
kepentingan pribadi, yang menghancurkan sensibilitas pelayanan publik. Pada
tahap kedua, untuk mencapai sesuatu, pemimpin mendominasi dan memarginalkan
orang lain. Pada tahap ketiga, peluang-peluang yang dimungkinkan demokrasi tak
membuat rakyat berdaya, justru membuatnya apatis.
Pada
tahap keempat, tahap politik harapan, para pemimpin menyadari pentingnya
merawat harapan dan optimisme dalam situasi krisis, dengan cara memahami
kesalingtergantungan realitas serta kesediaan bekerja sama menerobos
batas-batas politik lama. Kekuasaan digunakan untuk memotivasi dan memberi
inspirasi yang memungkinkan orang lain mewujudkan keagungannya. Warga menyadari
pentingnya keterlibatan dalam politik dan aktivisme sosial untuk
bergotong-royong merealisasikan kebajikan bersama.
Semua
pihak harus menyadari bahwa politik, sebagaimana dikatakan Hannah Arendt,
adalah suatu `ruang penjelmaan (space of appearance) yang memungkinkan dan
merintangi pencapaian manusia di segala bidang. Oleh karena itu, teranggelapnya
langit harapan di negeri ini sangat ditentukan oleh warna politik kita.
Para
aktor politik harus insaf bahwa ruang kebebasan yang memungkinkannya berkuasa
hanya dapat dipertahankan sejauh dipertautkan dengan tanggung jawab dan
penghormatan pada yang lain. Bermula dari keinsafan para pemimpin di pusat
teladan, semoga akan mengalir berkah ke akar rumput, membawa bangsa keluar dari
kelam krisis menuju terang harapan. []
MEDIA
INDONESIA, 17 Maret 2014
Yudi Latif ; Pemikir Kebangsaan dan
Kenegaraan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar