Jangan
Rebut Kursi Orang
Oleh:
Mohamad Sobary
Jamal D
Rahman menjadi komandan garis depan, sekaligus garis belakang dan penanggung
jawab urusan dapur, bagi terbitnya sebuah buku sastra, dengan judul yang
menggambarkan ungkapan positivistis, seperti cara para motivator memandang
dunia: 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh.
Di sana
tak dikatakan tapi terasa, dan tampak, pengaruh psikologis para motivator, yang
secara tersirat menggambarkan adanya gairah untuk bekerja sedikit, tapi ingin
memperoleh hasil sangat besar. Semangat itu bisa pula membuat hidup manusia
yang kompleks, bertakik-takik, mendalam sekali dan ruwetnya minta ampun itu,
berubah mendadak, dengan begitu mudahnya, hanya dengan kata-kata. Latihan
dasarnya seperti model komunikasi di taman kanak-kanak.
Kita
ditanya, seolah sambil lalu: apa kabar? Dan kita harus menjawab: luaaaar biasa.
Tapi di balik kata-kata itu sebetulnya terdapat suatu ambisi besar,
agar—seperti sudah disebutkan di atas—dalam hidup kita terjadi suatu perubahan
luar biasa, hanya dengan kata-kata belaka. Orang percaya—atau diminta
percaya—akan adanya mukjizat besar: kata-kata dinaikkan derajatnya menjadi
”mantra”, dan kekuatan supranatural ”mantra” itu disucikan menjadi ”doa”, dan
”doa” diubah menjadi ”sabda” yang memiliki pengaruh, mendekati kekuatan sabda
langit: ”kun fa ya kun”.
Betapa
mudahnya hidup dalam cara pandang dan kerangka berpikir seperti itu. Dan Jamal
pun meneladani, dan mengambil oper segenap proses yang sederhana dan mudah itu.
Dalam pengantarnya, Jamal menyebutkan pemilihan 33 tokoh sastra ini memiliki
semangat membangun kebudayaan Indonesia yang lebih bermartabat. Dia berusaha
meyakinkan kita—dengan mengulang pernyataan di atas— bahwa pemilihan 33 tokoh
itu memiliki arti penting dalam usaha menempatkan sastra dalam memperjuangkan
martabat kebudayaan Indonesia yang lebih tinggi.
Dalam
sepanjang lintasan sejarah hidupnya, belum pernah sastra Indonesia berani
memanggul— atau mau dibebani— misi suci seperti ini. Saya pun menjadi lega,
sebab selama ini saya tak tahu sama sekali, bagaimana akan jadinya nasib
kebudayaan Indonesia kalau buku ini tidak terbit. Segala puji bagi Tuhan,
karena buku ini muncul sebagai solusi bagi kusutnya persoalan besar kebudayaan
Indonesia. Kita pun mencatat, dengan tinta emas, bahwa kebudayaan Indonesia
betulbetul bersyukur, dan secara khusus berutang budi, pada tim 8, di bawah
komando Jamal D Rahman.
Meskipun
sudah sangat jelas, begitu besar jasa tim tersebut, kalau Jamal, atau Bung
Denny JA mengundang saya menjadi salah satu anggota tim tadi, niscaya saya akan
bersikap kerasmempersoalkan, mengapa hanya memilih 33 tokoh? Mengapa tidak 99,
atau cukup 11, supaya simbol keramatnya mengingatkan kita pada struktur untaian
biji-biji tasbih, yang dihubungkan dengan 99 asma Allah? Apa karena jumlah 99
akan mengesankan panitia bersikap terlalu murah hati, dan mengendurkan
persyaratan, yang pasti sangat ketat, untuk menempatkan 33 tokoh tadi?
Kalau 33
dianggap sudah ketat, mengapa tidak 11, yang jelas pasti lebih ketat lagi dan
lebih berorientasi pada kualitas, sehingga orang akan tahu, para tokoh itu
muncul melalui proses seleksi yang sangat ketat ? Bagi orang-orang serius yang
memilih 11, pilihan 33 itu tanggung. Dan kalau pada akhirnya mereka yang
sungguh-sungguh itu memandang bahwa memilih 11 tokoh ternyata masih kurang serius,
kurang ketat, maka mengapa tidak memilih hanya 1 tokoh, untuk dijatuhkan pada
Bung Denny JA?
Bukankah
konsultan politik ini sudah sukses besar dalam politik pemilihan pemimpin, dan
ingin tampil dalam dunia sastra? Dia sudah menulis satu buku, untuk membuktikan
kerja sedikit membawa hasil besar yang disebut di atas? Jamal, sebagai
komandan, telah berhasil mengomando tim 8, untuk menerapkan resep mujarab dunia
kaum motivator, yang ingin setiap detik ada perubahan luar biasa. Sebanyak 32
tokoh sastra, yang hidup dan berjuang sejak abad ke-19 hingga abad ke-21 ini,
sudah berjuang gigih membela kebudayaan, dan selama itu tak ada yang menyadari
kehadiran mereka selain tim 8 ini.
Misi tim
ini untuk mengumumkan pada dunia bahwa kehidupan dunia sastra Indonesia itu
demikian dinamis, progresif, dan sangat revolusioner, karena satu orang pemula,
yang hanya menulis sebuah buku, secara mendadak telah sama dan sejajar dengan
mereka, para leluhur, para pendahulu, para senior, yang sudah wafat maupun yang
masih hidup di tengah kita. Saya bergaul juga dengan para sastrawan. Tidak ada
informasi mengenai bagaimana sukacitanya, dan setinggi apa kebanggaan 33 tokoh
yang diposisikan sebagai ”paling berpengaruh” itu, setelah nama dan karya
mereka diabadikan di dalam buku suci kaum sastrawan ini.
Saya
pernah menduga, mungkin banyak sastrawan yang ”ngiler’ untuk masuk ke dalam
catatan sejarah prestasi yang dahsyat ini. Tap saya kaget ketika mendengar ada
sejumlah sastrawan lain yang memuji syukur kepada Allah SWT karena nama mereka
tak diutik-utik oleh tim 8, sehingga mereka bebas dari beban menjadi yang
”terpilih”. Rupanya persoalan ini berkembang menjadi ruwet. Ada yang tidak
rela, bukan karena namanya tak terpilih, melainkan karena rasa keadilan dan
kepantasan terinjak-injak dengan terbitnya buku ini.
Kualitas
sastrawan bukan hanya terletak di dalam karya-karyanya, melainlan juga di dalam
”laku” hidupnya sehari-hari, yang ditempuh dengan penuh kegembiraan karena
pergulatannya yang intens, mendalam, dengan nilai-nilai, dengan tradisi, dengan
sesama manusia, yang memancarkan semangat kesetaraan, persaudaraan dan
perbedaan-perbedaan yang memperkaya kehidupan. Kualitas hidup seperti ini tak
bisa ditempuh dengan jalan pintas, dan dadakan.
Intensitas,
dan keberanian mereka untuk hidup seadanya, tak mungkin dicapai hanya dengan
menjeritkan ”mantra”: luaaarrbiasa tadi. Rata-rata sastrawan itu humanis, dan
dermawan kalau kebetulan punya duit. Tapi sayang, mereka jarang punya. Tapi itu
tak terlalu menjadi persoalan. Buku ini menjadi masalah karena rasa keadilan
dilanggar tadi. Penyelesaiannya mungkin sederhana. Bung Denny JA, jadilah
sastrawan beneran, bersikap dermawan, dan biayai pencetakan buku baru, cetakan
kedua, yang di dalamnya nama Anda sudah tak ada lagi.
Kirimkan
buku-buku itu kesemua sekolah ditanah air, ke orang-orang terkemuka, ke
tokoh-tokoh, ke ormas-ormas sosial keagamaan, ke partaipartai politik, dan
perpustakaan perpustakaan yang jelas siap menerimanya. Sekali lagi, nama Anda
tak terdapat lagi di dalamnya, tapi tiap saat, anda menulis esai, puisi, atau
novel, naskah drama atau film, dan sesudah bertahun-tahun
Anda
bergulat di dunia sastra, niscaya Anda akan merasakan bahwa kebutuhan untuk
disebut ”tokoh sastra paling berpengaruh” itu kelak akan terbukti tidak
penting, tidak menarik, dan tidak ada gunanya, karena pergulatan hidup Anda
yang panjang, serius, dan mendalam di bidang sastra itu kelak akan membisikkan
pada Anda sendiri bahwa bukan nama, bukan julukan, melainkan jasa dan kualitas
serta ketulusannya yang jauh lebih penting.
Biarkan
tim demi tim, jumlahnya 8 atau berapa, memilih nama-nama tokoh sastra, dan
memanggul-manggul mereka ke langit, Anda sebaiknya tak usah ikut, karena
bukankah pengabdian di bidang sastra atau kebudayaan tidak dimaksudkan untuk
memperoleh nama dan pujian? Bukankah dalam darma hidup yang ruwet dan banyak
godaannya itu, munculnya nama sering menjadi simbol pamrih-pamrih, yang
membikin hambar makna dan kualitas darma kita?
Nama dan
jasa boleh saja dimunculkan, tapi akan mulia bila kita menempuh kemunculan
”alamiah”, dan tak menggeser orang-orang lain dari posisi mereka. Kursi kosong
masih banyak. Jangan ”timpe”kursi orang supaya kita tak merusak harmoni
kehidupan. []
KORAN
SINDO, 24 Maret 2014
Mohamad Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk
Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar