Para
Pejuang Demokrasi
Oleh:
Komaruddin Hidayat
Saya
bertemu beberapa teman yang sekarang tengah berjuang memenangkan kontestasi
dalam pemilihan calon legislatif 9 April nanti. Di antara mereka ada yang
sangat yakin, percaya diri, pasti akan lolos duduk sebagai wakil rakyat.
Ada lagi
yang setengah yakin, namun tetap optimistis. Ada lagi yang mengeluh kehabisan
amunisi tenaga, waktu, dan uang. Karena merasa sebagai pejuang demokrasi yang
hendak memperjuangkan aspirasi rakyat, ada yang kemudian minta dukungan dana ke
sana kemari. Pejuang kebangsaan itu berhak mendapatkan dukungan rakyat,
sebagaimana para pejuang kemerdekaan dahulu juga dibantu rakyat, moral maupun
materiil.
Namun,
ada juga pikiran usil. Benarkah semua peserta pileg itu valid disebut sebagai
pejuang rakyat dan kebangsaan? Secara umum, saya ingin berprasangka baik saja.
Satu hal yang pasti, agenda demokratisasi politik, ekonomi dan ilmu pengetahuan
mesti didukung. Di dalam demokrasi tersimpan sebuah nilai dan cita-cita mulia,
yaitu sebuah pengakuan akan hak-hak asasi individu untuk mendapatkan hak
politik, keamanan, dan kesejahteraan sebagai warga negara yang sah dan baik.
Demokrasi
ingin memberikan kesempatan yang sama pada siapa pun untuk tampil menjadi wakil
rakyat, jadi pemimpin, dan berhak menyuarakan aspirasinya melalui aturan yang
ada. Bahwa dalam praktiknya antara cita dan realita demokrasi terhadap jarak
menganga, itu tidak aneh dalam perjalanan sejarahnya. Jadikanlah itu sebagai
agenda perjuangan yang mesti dibenahi. Bukankah hal yang serupa juga terjadi
pada agama?
Antara
kemuliaan ajaran agama di satu pihak dan perilaku umatnya di pihak lain sering
kali berseberangan dan bertabrakan? Yang mesti dilakukan oleh pimpinan parpol
adalah menegakkan aturan dan etika yang jelas dan tegas, jika terdapat kader
parpol yang merusak kemuliaan citacita demokrasi harus diamputasi.
Sebagaimana
yang terjadi pada tubuh Mahkamah Konstitusi, ketika salah seorang anggotanya
merusak prinsip dan etika MK, maka harus dipecat, bahkan masuk tahanan KPK.
Jadi, agenda perjuangan demokrasi dihadapkan pada beberapa medan tantangan.
Pertama,
tantangan dari dalam parpol sendiri. Bisa saja terjadi, parpol teriak-teriak
memperjuangkan demokrasi, namun kultur yang dibangun dalam tubuhnya tidak
demokratis. Kedua, ketika kader parpol berhasil duduk di lembaga wakil rakyat
atau tubuh pemerintahan, prinsipprinsip demokrasi yang menekankan transparansi
dan fairness dalam persaingan dan pertarungan politik, semua itu menguap.
Faktor
uang dan koncoisme sering kali merusak nilainilai dasar demokrasi, sehingga
nama dan konsep demokrasi menjadi luntur, kehilangan makna dan wibawa di mata
masyarakat. Ikon pejuang demokrasi yang melekat pada Bung Hatta semakin sulit
dijumpai padanannya. Ketiga, meskipun sistem demokrasi dianggap paling baik di
antara yang lain, sehebat apa pun demokrasi tetap memiliki kekurangan.
Dan lagi,
demokrasi bukanlah tujuan akhir. Dia sebagai instrumen untuk meraih tujuan yang
lebih tinggi lagi, yaitu terwujudnya masyarakat yang sejahtera, cerdas, makmur
dan terlindungi hak-hak sipilnya. Makanya menjadi ironis ketika mereka yang
tampil menjadi wakil rakyat dan petinggi di negeri ini berkat reformasi dan
gerakan demokratisasi, lalu lupa diri. Dalam waktu yang sangat singkat,
sebagian dari mereka hidupnya berubah.
Secara
materi menjadi kaya raya, sementara rakyat daerah pemilihannya tetap miskin,
sarana dan mutu sekolah tak berkembang, infrastruktur semakin rusak. Orang pun
bertanya-tanya, lalu rakyat mendapatkan keuntungan apa dari hiruk-pikuk
demokrasi dan reformasi yang telah menelan biaya mahal dan membuat rakyat
dirusak mentalnya dengan money politics? Ada lagi keluhan warga, garagara
desentralisasi telah memunculkan istilah ”putra daerah asli” dan ”nonasli”.
Sebuah
keluarga yang telah puluhan tahun tinggal di satu daerah tibatiba dianggap
warga pendatang dan hak politiknya terganjal, karena bukan putra daerah asli.
Ketika berlangsung pencalonan wakil rakyat, bupati, wali kota ataupun gubernur,
isu putra daerah dan pendatang lalu dimunculkan. Inikahdemokrasi yang hendak
mengangkat hak warga negara secara setara di depan hukum?
Gara-gara
bukan putra daerah, meskipun secara moral-intelektual lebih berkualitas, kalah
oleh putra daerah yang mutunya di bawah standar. Demikianlah, masih banyak
deviasi dan anomali dari hirukpikuk reformasi dan demokrasi yang mesti
diselesaikan oleh para wakil rakyat dan kabinet mendatang. Jadilah pejuang
demokrasi yang benar, bukannya sekadar pencari kerja dan popularitas.
Rakyat
sudah lelah, ingin perubahan dan perbaikan. Perjuangan politik tentu saja
memerlukan ongkos. Tetapi yang namanya money politics, jelas merusak kemuliaan
politik dan merusak mental rakyat. []
KORAN
SINDO, 28 Maret 2014
Komaruddin Hidayat ; Rektor
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar