Mencari Pemimpin yang Makan
Belakangan
Oleh: Jaelani SF
2014 dikatakan sebagai tahun politik. Ada dua
momentum yang sangat menentukan masa depan bangsa Indonesia ditahun ini,
pertama, pemilihan umum legislatif yang akan diselenggarakan pada tanggal 9
April 2014. Ini akan menjadi momentum lahirnya para legislator mulai dari pusat
sampai daerah, sekaligus penentu elektabilitas partai politik pemenang pemilu.
Kedua, pemilihan presiden Republik Indonesia yang akan diselenggarakan pada
tanggal 9 Juli 2014. Ini akan menjadi penentu lahirnya pemimpin Indonesia yang
akan menahkodai negeri ini selama lima tahun mendatang.
Dari gambaran di atas jelaslah bahwa
konsentrasi negeri ini akan tertuju pada dua momentum besar ini. Tetapi, secara
substansi semua sisi penting untuk kita refleksikan dalam menghadapi tahun
politik 2014 yakni aspek ekonomi dan aspek hukum yang juga tidak bisa
dilepaskan dari relasinya yang sangat dekat dengan politik
.
Fenomena Ekonomi-Politik
Secara simbolik Indonesia direpresantasikan
sebagai negara pinggiran yang tersandera oleh negara pusat (core state) sebagai
pemain utamanya, sehingga tata hubungan ekonomi politik pada level
Internasional menjadi situasi yang timpang. Negara pinggiran semakin
terpinggirkan dikarenakan lembaga-lembaga supra-nasional semisal world bank
bekerja bahkan melampaui kedaulatan negara. Polarisasi dari tangan-tangan
negara adidaya (Amerika Serikat dan Eropa) menjadi konsekuensi globalisasi
karena selain hasrat penaklukan di sektor ekonomi dan politik, segmentasi yang
lain seperti budaya dan sosio-religus juga menjadi orientasi penaklukan neo
imperialisme di Abad 21 yang bernama neo liberalisme.
Secara umum watak neoliberalisme pada level
internasional yaitu perdagangan bebas untuk barang dan jasa, kebebasan
sirkulasi kapital dan kebebasan investasi. Neoliberalisme yang pada mulanya
lahir dari pemikiran neo-klasik dan lebih dekat dengan konsep ekonomi politik
kapitalis, telah menjadi hegemoni ruang-ruang sosial yang lain.
Dalam Konteks ekonomi, insvestasi asing
besar-besaran masuk ke Indonesia dengan dalih kesejahteraan rakyat. Tetapi,
nalarnya murni penguasaan aset ekonomi di dalam negeri. Blok perdagangan dunia
yang dibentuk oleh negara inti, (di Amerika Latin di bentuk NAFTA dan di asia
tenggara dengan AFTA) lebih dilatar belakangi oleh penciptaan sentrum-sentrum
perdagangan untuk hasrat pengakuan Amerika.
Skenario globalisasi begitu berdampak
terhadap situasi kebangsaan, keIndonesiaan dan keislaman di negeri ini. Dalam
konteks kebangsaan misalnya, keutuhan Indonesia begitu dengan keberagaman
kultural, tetapi oleh skenario internasional dibuat semakin terpinggirkan
dengan ekspor wacana Amerika di era 90-an yaitu developmentalisme.
Pada sisi yang lain, dinamika politik
Indonesia yang semakin terbuka, menjadi satu pencapaian demokrasi yang baik.
Tetapi ada hal yang lebih substansi dan mesti diperjuangkan hari ini, yakni
orientasi dari politik yang telah mengalami pergeseran terlalu jauh. Politik
yang semestinya bermakna mensejahterakan rakyat, kini berubah menjadi
‘bagi-bagi kekuasaan’.
Politik yang hanya berorientasi kekuasaan
inilah yang menjadi penyebab terjadinya dominasi mayoritas terhadap minoritas
di Indonesia. Otonomi Daerah yang pada awalnya diharapkan menjadi pendorong
kemandirian daerah untuk mengelola pemerintahan justru berbuah oligarki politik
lokal yang lebih jauh menciptakan kesenjangan yang terlalu jauh antara elit
politik di daerah dengan rakyatnya.
Pada titik inilah, merefleksikan kembali
makna politik menjadi faktor penting dalam menumbuhkan sebuah tatanan politik
yang berorientasi untuk kesejahteraan rakyat. Perubahan tafsir politik inilah
yang akan mengarahkan kesadaran para politisi kita untuk benar-benar melahirkan
kebijakan yang benar-benar bersentuhan dengan rakyat.
Sistem Hukum
Pasca reformasi kita sering mendengan istilah
reformasi hukum. Istilah yang dianggap banyak kalangan hanya sekedar pepesan
kosong. Betapa tidak, harapan besar masyarakat Indonesia mengenai penegakan
supremasi hukum disegala bidang dan tanpa pandang bulu belum benar-benar
menjadi kesadaran para elit politik dan para penegak hukum di negeri ini.
Banyak sudah lembaga hukum yang terbentuk di
Indonesia, semestinya ini menjadi isyarat bahwa siapapun yang melakukan
pelanggaran hukum akan dikenai sangsi yang setimpal. Harapan ini menjadi
harapan semua masyarakat kita karena banyak kejahatan yang berimbas pada
pemiskinan sistematis. Sebut saja korupsi—kejahatan yang satu ini benar-benar
menjadi sebab musabab kemiskinan sistematis di Indonesia. Hampir semua bidang kehidupan
menjadi “lahan” untuk melakukan tidak pidana korupsi, mulai dari korupsi
pembangunan fasilitas publik, korupsi di sektor migas dan pertambangan, korupsi
APBN, korupsi bidang perbankan dan lainnya, menjadi wujud ketamakan para elit
terhadap kuasa yang benama “uang”.
Efek terburuk dari korupsi bukanlah pada
raibnya uang negara, melainkan kehancuran kepercayaan rakyat (social distrust)
terhadap pemimpinnya. Kehancuran kepercayaan membawa efek bola salju di tengah
kehidupan berbangsa, yaitu rontoknya nilai-nilai luhur, menipisnya semangat
patriotisme, dan berkembangnya mental pragmatis. Dalam titik itu, Indonesia
akan menjadi bangsa dengan kadar martabat yang rendah dan artinya jalan
mewujudkan nation survivality akan lebih berat.
Pemerintah lewat lembaganya telah melakukan
ikhtiyar untuk pemberantasan kejahatan ini, tetapi lagi-lagi belum mencapai
titik yang maksimal, sepertinya membutuhkan formulasi dan produk hukum yang
tepat agak para pelaku kejahatan benar-benar jera terhadap sebuah keputusan hukum.
Segenap elemen bangsa harus dikerahkan untuk
menciptakan tatanan masyarakat yang sadar hukum. Ini akan menjadi alternatif
pencegahan pelanggaran hukum di level akar rumput. Pada sisi yang lain, para
elit politik pun harus memiliki kesadaran yang sama untuk berhenti membodohi
rakyat dengan manipulasi termasuk melakukan tindakan pidana yang bernama
korupsi.
Arus Balik
Di tahun 2013 banyak sudah yang telah
terjadi, disemua aspek kehidupan—yang paling terlihat menjadi wacana yang
mengemuka adalah tertangkapnya parah tokoh yang berasal dari eksekutif,
legislatif dan yudikatif karena tindak pidana korupsi. Dari peristiwa ini
paling tidak ada dua catatan penting, pertama, bahwa tindak pidana korupsi
sudah menjamur disemua sendi kehidupan, mulai dari pusat hingga daerah kedua,
tindak pidana korupsi selalu berelasi dengan politik. Hal ini tergambar dari
para pelaku korupsi yang berasal dari para petinggi partai politik.
Bagaimana nasib negeri ini di masa yang akan
datang jika semua elemen tidak memiliki kesadaran bersama untuk melahirkan
figur-figur pejuang moralitas. Partai Politik memiliki pekerjaan rumah yang
sangat banyak menuju Pemilu 9 April 2014, karena ditangan partai politiklah
akan lahir “pemimpin yang apabila panen datang dia yang makan paling belakang,
apabila rumah kebakaran dia yang paling akhir menyelamatkan diri dan apabila
musuh datang dia yang paling depan untuk menyambutnya”.
Semoga di momentum tahun Politik 2014 akan
menjadi ruang yang sangat strategis untuk menjadi arus balik kejayaan Indonesia,
karena pada momentum Pemilu mendatang rakyatlah yang akan menentukan nasibnya.
Melahirkan figur-figur yang memiliki integritas dan menjunjung tinggi moralitas
serta memiliki visi Keindonesiaan yang sadar akan pluralisme dan kebhinekaan.
[]
Jalani SF, Ketua PPA PB PMII, Mahasiswa
Pascasarjana Kajian Kepemimpinan Nasional Universitas Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar