Ushul Fikih, Lahir setelah
Diterapkan
Penulis: M. Masyhuri Mochtar
Ilmu Ushul Fikih adalah ilmu tentang
kaidah-kaidah atau bahasan-bahasan sebagai metodologi untuk memahami atau
memperoleh hukum-hukum syariah yang bersifat praktis dari dalil-dalil yang
rinci (tafshîli). Dengan kata lain Ushul Fikih adalah ilmu yang membahas
unsur-unsur umum dalam prosedur mendeduksikan hukum-hukum Islam. Proses deduksi
ini sangat luas sedemikian rupa sehingga mencakup setiap kejadian dan peristiwa
dalam kehidupan manusia.
Melihat sejarahnya, ilmu Ushul Fikih mulai
dikenal sejak Abad ke-2 H saat Imam asy-Syafi’i (150-204 H/767-820 M) berhasil
menformulasikan metodologi penggalian hukum fikih melalui ar-Risâlah-nya. Meski
demikian, pada dasarnya ilmu Ushul Fikih telah muncul bersamaan dengan Fikih
itu sendiri, walaupun pembukuan ilmu Ushul Fikih lebih akhir dari Fikih. Sebab,
saat Fikih dikaji maka secara tidak langsung dalam penggalian hukum akan
menggunakan Ushul Fikih. Meskipun metode tersebut belum terkonsep secara
matang. Bukan hanya di era mujtahidin, di masa Sahabat pun Ushul Fikih telah
dikenal dan digunakan dalam Istinbâthul-Hukm.
Memang, awalnya Ushul Fikih hanya ditemukan
dalam terapan konsep penggalian hukum, tidak berupa disiplin ilmu seperti
sekarang. Nabi Muhammad e sebagai sumber syariah Islam kedua, adalah orang
pertama yang menerapkan kaidah-kaidah dalam ilmu Ushul Fikih. Kemudian
diteruskan oleh para pakar Fikih dari kalangan pembesar Sahabat seperti Abu
Bakar t, Sayidina Ali t, Ibnu Mas’ud t dan Umar bin Khattab t. Mereka, dalam
menfatwakan sebuah hukum bukan berarti tidak berstandar pada qayyid dan
batasan-batasan tertentu. Sayidina Ali misalnya, pernah berpendapat mengenai
hukuman bagi orang yang meminum minuman keras, “Bahwa ketika seorang meminum
khamr, maka dia linglung, dan saat linglung dia qadzf (menuduh zina), maka dari
itu orang yang meminum khamr wajib di had qadzf (hukuman bagi orang yang
menuduh zina).” Penalaran Sayidina Ali ini adalah termasuk pandangan jauh
kedepan yang akhirnya dikenal dengan konsep Sadzdzud-Darâ’i’ (preventif).
Juga Ibnu Mas’ud ketika ditanyakan perihal
iddah perempuan yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan hamil, beliau
berkata, “Iddahnya dengan melahirkan.” Ibnu Mas’ud berargumen dengan al-Qur’an
di surat ath-Thalaq ayat 04. Kemudian Ibnu Mas’ud mengatakan, “Aku bersaksi
bahwa surat an-Nisâ’ul-Shughra (ath-Thalaq) diturunkan setelah surat an-Nisâ’ul-Kubrâ
(al-Baqarah). Di sini Ibnu Mas’ud menggunakan konsep bahwa ayat yang turun
kemudian dapat me-naskh atau men-takhsîsh hukum dari ayat yang turun
sebelumnya. Walaupun ketika itu Ibnu Mas’ud tidak mengutarakan demikian.
Pasca Sahabat, muncul beberapa fuqaha’ dari
Tabi’in, seperti halnya Sa’id bin Musayyib di Madinah, Alqamah dan an-Nakha’i
di Iraq. Di mana, mereka dalam berfatwa semuanya berdasarkan al-Qur’an, Hadis
dan pendapat para Sahabat. Namun, di antara mereka ada yang menggunakan standar
kemaslahatan sebagai metode penggalian hukum ketika tidak menemukannya dalam
al-Qur’an dan Hadis. Ada pula yang menggunakan qiyas (analogi), seperti Ibrahim
an-Nakha’i dan fuqaha’ lain di Iraq.
Hingga pada Abad ke-2 H di mana kekuasan
Islam semakin luas, persoalan demi persoalan muncul di tengah masyarakat. Di
sinilah para pemikir Islam dituntut untuk berijtihad agar menghasilkan hukum
yang berkembang sesuai dengan perkembangan zaman saat itu. Akhirnya, perbedaan
konsep dan cara pandang dalam memutuskan persoalan dari beberapa mujtahid tidak
bisa dielakkan. Perbedaan dan perdebatan terjadi antara para ulama mengenai
hasil ijtihad, dalil dan jalan-jalan yang ditempuhnya. Bukan saja antar ulama
yang berbeda daerah tempat tinggal, ulama dalam satu kawasan pun kadang masih
terjadi perbedaan.
Yang paling mengemuka adalah perbedaan cara
pandang antara para pakar Fikih Madinah yang dikenal dengan Ahlul-Hadîts
(Kelompok Pemegang Hadis) dan fuqaha’ Iraq yang dikenal dengan Ahlur-Ra’yi
(Kelompok Rasionalis). Pelopor utama dari dua aliran ini adalah Imam Malik bin
Anas untuk fuqaha’ Madinah dan Imam Abu Hanifah untuk fuqaha’ Iraq. Parahnya,
dari masing-masing kedua aliran ini tidak memiliki metodologi yang sistematis
dan konsisten, sehingga semakin menimbulkan keanekaragaman hasil pemikiran dan
meruncingnya perbedaan pendapat.
Maka kita temukan misalnya, beberapa teori
yang menjadi prinsip dalam aplikasi penggalian hukum yang dilakukan oleh Imam
Hanafi. Di mana sumber primernya adalah al-Qur’an, kemudian Hadis, dan pendapat
Sahabat yang telah disepakati, serta tidak mengambil hukum dari pendapat
Tabi’in. Menurutnya, posisi Tabi’in sama dengan dirinya. Kemudian kita temukan
juga medologi qiyâs (analogi) dan istihsân (menetapkan sebuah hukum atas dasar
anggapan baik).
Sedangkan dari Imam Malik, terlihat
konsistensinya dalam berpegang teguh kepada amal perbuatan penduduk Madinah.
Juga penolakannya terhadap atsar-atsar yang dinisbatkan pada Nabi, yang karena
atsar itu berbeda dengan nash yang terdapat dalam al-Qur’an. Maka itu, Imam
Malik menolak tegas terhadap Hadis tentang penjilatan anjing di suatu wadah
sehingga harus dibasuh sebanyak tujuh kali. Karena menurutnya hadits tersebut
bertentangan dengan nash al-Qur’an. Juga penolakannya terhadap Hadis tentang
adanya khiyâr majlis (bolehnya membatalkan transaksi jual beli selama kedua
pihak masih berada di tempat transaksi). Perbedaan prinsip dalam penggalian
hukum seperti inilah yang akhirnya melahirkan perbedaan dalam berbagai produk
hukum yang dihasilkan oleh para ulama.
Pada akhirnya, dari sekian perbedaan cara
pandang itu muncullah semacam komparasi dua aliran di atas dan memadukannya
dalam sebuah konsep. Adalah Imam Syafi’i melalui karya monumentalnya,
ar-Risâlah mampu memadukan antara dua konsep penggalian hukum dari dua aliran
di atas. Dengan kemampuan dan pengalaman yang dimilikinya, asy-Syafi’i
menertibkan perbedaan pemahaman tersebut dengan memperkenalkan sebuah metodologi
yang sistematis dan konsisten serta menempatkan kedua aliran itu secara
proporsional. Hal ini bisa ia lakukan, karena latar belakang Imam asy-Syafi’i
yang pernah belajar dengan guru yang beraliran Ahlul-Hadîts (Imam Malik) dan
yang beraliran Ahlur-Ra’yi. Dari sinilah kemudian dikenal dengan adanya ilmu
baru dalam Islam, yakni ilmu Ushul Fikih.
Dengan upaya ini, tidak heran jika kemudian
Imam asy-Syafi’i dikenal sebagai orang yang telah memadukan kedua aliran ini.
Di satu sisi beliau telah merumuskan logika hukum di balik teks-teks al-Qur’an
dan Hadis; dan di sisi lain ia juga telah menempatkan posisi Hadis sahih secara
proporsional, yakni sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an, walaupun
tidak selaras dengan amal yang dipraktekkan penduduk Madinah. Berbeda dengan
Imam Malik yang menyatakan bahwa Hadis sahih bisa ditolak jika tidak selaras
dengan amal yang dipraktekkan oleh penduduk Madinah.
Lahirnya ilmu Ushul Fikih sebagai metodologi
untuk menggali hukum Fikih justru setelah lahirnya ilmu Fikih bukanlah sesuatu
yang aneh. Sebab, dalam beberapa disiplin ilmu Islam banyak juga terjadi
demikian. Artinya, sebuah konsep ilmu memang seringkali baru lahir setelah
sekian lama diterapkan oleh manusia. Ilmu Nahwu misalnya, kelahirannya jauh
lebih akhir dari pada penggunaan tata bahasa yang benar dalam bahasa Arab.
Begitu juga ilmu tata syair (‘Arûdh). Syair-syair Arab sudah bermunculan
sebelum al-Khalil bin Ahmad merumuskan ilmu ‘Arûdh. Begitu juga, manusia sudah
mampu berargumen dengan menggunakan nalar rasional sebelum Aristotels menemukan
Ilmu Mantik, atau logika. Karena, disiplin ilmu pengetahuan rata-rata memang
hanyalah rumusan terhadap pengalaman-pengalaman yang terjadi sebelumnya. []
Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri,
Pasuruan – Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar