Politik Islam dan
Politisasi Islam
Oleh: Moeh. Zainal Abidin
Islam sering disebut sebagai agama yang
“kaffah”, agama yang mengatur seluruh tatanan kehidupan umatnya. Mulai dari hal
terkecil, seperti cara memakai dan melepas sandal hingga hal yang besar,
seperti tata cara berpolitik yang bertujuan untuk mengatur hajat hidup orang
banyak.
Dalam bahasa Arab (bahasa yang lazim
digunakan oleh umat Islam), term politik identik dengan kata “siyasah”, yang
berarti mengatur atau mengurusi. Sehingga jika diartikan secara terminologi,
politik dalam Islam (siyasah) bisa bermakna tata cara mengatur atau mengurus
seluruh umat Islam.
Berkaitan dengan hal ini, Nabi Muhammad Saw
bersabda: "Siapa saja yang bangun pagi dengan tujuan selain Allah maka ia
bukanlah (hamba) Allah, dan siapa saja yang bangun pagi namun tidak
memperhatikan urusan kaum muslimin maka ia bukan dari golongan mereka."
(HR. Al Hakim).
Namun yang menjadi persoalan mendasar adalah,
bagaimana bentuk politik Islam secara jelasnya? Apakah Madinah yang dipimpin
oleh nabi Muhammad bisa dikategorikan sebagai manifestasi dari formulasi
politik beliau?
Menurut penulis, piagam Madinah merupakan
undang-undang berisi perjanjian yang menetapkan hak, dan kewajiban bagi kaum
Muslimin, Yahudi, serta kelompok-kelompok lain di kota Madinah, sehingga bisa
menjadi suatu komunitas, yang di dalam bahasa Arab disebut dengan “ummah”.
Kalimat “ummah” sendiri, dalam piagam Madinah
terdapat pada dua pasal, yakni pasal 1 dan 25. Menurut Ali Syari'ati, konsep
ummah dalam Pasal 1 dari piagam Madinah bersifat eksklusif, hanya bagi umat
Islam. Hal ini berarti, golongan manusia yang tidak berakidah sama, tidak dapat
disebut sebagai umat yang satu. Sehingga konsep “ummah” dalam pengertian khusus
(pengikut Nabi Muhammad Saw) berlaku disini. (M. Latif Fauzi: 2005).
Sedangkan dalam pasal 25, golongan Yahudi dan
sekutunya sebagai bagian dari “ummah” sehingga konsep “ummah” secara umum
(seluruh generasi umat manusia tanpa memandang batsan agama), berlaku dalam
pasal ini.
Jika menilik perbedaan dari konsep”ummah” di
atas, penulis menyimpulkan bahwa Nabi Muhammad saw, berusaha membangun sebuah
negara yang menaungi berbagai golongan, tanpa membedakan suku maupun agama,
dimana beliau sebagai pemimpin negara yang berhak mengambil keputusan jika
dalam setiap permasalahan, sebagaimana tertera dalam pasal 23.
Nabi Muhammad Saw telah mengajarkan kepada
umatnya cara membangun sebuah negara (state) dengan tingkat heterogenitas
tinggi, sehingga salah jika ada yang mengatakan bahwa nabi Muhammad hanyalah
bertugas untuk menyampaikan risalah tanpa memperhatikan keadaan sosio-politik
masyarakat Madinah waktu itu.
Itu semua tidak berarti bahwa Islam
mengharuskan umatnya untuk membangun sebuah negara, sebab tidak ada satu
perintah pun, entah itu dalam Qur'an maupun hadis yang mewajibkan umat Islam
mendirikan negara. Nabi Muhammad Saw hanya mengajari dan memberikan contoh
kepada kita, bagaimana membangun negara melalui Piagam Madinah, meskipun konsep
negara modern baru muncul berabad-abad setelah beliau wafat.
Konteks Kekinian
Banyak kelompok-kelompok Islam yang menginginkan
kembalinya kejayaan Islam masa lampau dengan mimpi mendirikan negara
Islam/khilafah internasional. Mereka menggunakan ayat-ayat Al-Qur'an sebagai
legitimasi atas keinginan tersebut, diantaranya adalah QS al-Maidah ayat 44,
45, dan 47.
Ayat-ayat tersebut menerangkan bahwa, barang
siapa yang memutuskan perkara tidak dengan hukum Allah, maka mereka adalah
golongan orang-orang yang kafir, zalim dan fasik. Dalam perspektif mereka,
hakim (pemutus perkara) haruslah seorang khalifah, artinya khalifah dengan khilafahnya
menjadi wajib diwujudkan.
Mereka juga menggunakan ijma' sahabat sebagai
legitimasi untuk mendirikan khilafah, yakni pasca wafatnya Rasulullah Saw, para
sahabat berkumpul untuk memilih satu khalifah. Pendapat ini dikuatkan dengan
argumen yang menunjukkan bahwa khilafah telah ada sejak awal mula Islam hingga
keruntuhan Turki Usmani pada 1924.
Imam al-Qurthubi dalam al-Jami' li Ahkam
al-Qur'an menjelaskan bahwa, QS al-Maidah ayat 44-47 turun di kalangan
orang-orang Yahudi, sebagaimana dijelaskan dalam shahih muslim dari sahabt
al-Bar'bi azib. Menurut beliau, jika seorang muslim melakukan dosa besar (asal
tidak menghalalkannya), ia masih dihukumi sebagai muslim, bukan kafir. Beliau
juga menambahkan, bahwa dalam ayat -ayat diatas terdapat makna tersembunyi
(izhmar), yakni "Barang siapa yang tidak memakai hukum Allah karena
menolak al-Qur'an dan mengingkarinya, maka ia digolongkan sebagai orang-orang
kafir.
DR. Ainur Rofiq menyebutkan bahwa pada masa
awal Islam sampai runtuhnya kekhalifahan Utsmani tidak hanya ada satu khilafah
saja, selain itu juga tidak ada kesatuan khilafah yang kontinyu pada masa
tersebut. Beliau juga menambahkan bahwa, konsekuensi khilafah versi Islam garis
kanan atau HTI, membuka peluang menjadi negara absolut dan autokritik. Alasannya
adalah kewenangan khalifah yang terlalu besar. Pola separasi kekuasaan;
legislatif, eksekutif dan yudikatif ada di tangan khalifah, sementara
bawahannya hanya memmiliki kewenangan delegasi, bukan atribusi. (DR. Ainur
Rofiq al-Amin: 2012).
Padahal kita semua tahu bahwa, nabi Muhammad
selalu mengajak para sahabatnya untuk bermusyawarah sebelum mengambil
keputusan, meskipun beliau adalah pengambil keputusan. Hal-hal semacam itu pula
yang dilaksanakan oleh Khulafaur Rasyidin, para penerus kepemimpinan beliau.
Melalui sifat tersebut, beliau mengajarkan dan mencontohkan kepada kita bahwa
Islam adalah agama yang demokratis dan segala sesuatunya bisa didiskusikan,
kecuali dalam bidang aqidah. []
Moeh. Zainal Abidin, Ketua PMII Rayon
Ushuluddin Komisariat Walisongo Semarang, Mahasiswa Perbandingan Agama fakultas
Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar