Anas, Century dan Kejahatan Pemilu 2009
Bambang Soesatyo
Anggota Timwas Bank Century DPR RI/
Presidium Nasional KAHMI 2012-2017
Mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, mulai menguak misteri Rp 6,7 triliun lebih gelembung dana talangan atau bailout Bank Century. Dari data yang diungkap Anas kepada penyidik KPK, layak untuk memunculkan kesimpulan sementara bahwa ada kekuasaan atau institusi di atas KSSK yang patut diduga menunggangi keputusan KSSK menyetujui dana talangan atau bailout untuk Bank Century.
Penggelembungan dana bailout Rp 6,7 triliun tersebut mestinya bukanlah misteri. Akan menjadi misteri jika pemerintah cq KSSK (Komite Stabilisasi Sistem Keuangan), LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) bersama BI (Bank Indonesia) tidak bisa atau terus menolak mempertanggungjawabkannya. Memang, sampai hari ini, tak satu pun dari tiga institusi itu yang bersedia menjelaskan atau mempertanggungjawabkannya. Tentu saja rakyat melihat hal ini sangat janggal . Dengan model manajemen seperti apakah negara ini dikelola?
Tidak mungkin penggelembungan itu dilakukan siluman. Maka, sejatinya, harus bisa dipertanggungjawabkan. Sebab, dana sebanyak itu dikeluarkan dari kas sebuah institusi negara yang dikelola oleh orang-orang pandai dalam bidangnya. Orang-orang pandai itu jabatannya tinggi karena mengelola dana publik. Persoalannya sekarang adalah sampai kapan sikap menolak bertanggungawab yang dipertontonkan pemerintah dan BI ini akan ditoleransi?
Ketika diperiksa penyidik KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi ) baru-baru ini, Anas Urbaningrum memberi indikasi tentang penggunaan dana bailout Bank Century untuk membiayai kegiatan politik pada 2009. Kepada KPK, Anas mengungkap hasil audit akuntan independen tentang penerimaan dan pengeluaran dana kampanye Partai Demokrat untuk pemilihan presiden 2009. Total sumbangan itu mencapai Rp 232 miliar.
Anas curiga, ada aliran dana Bank Century yang digunakan untuk kampanye Pilpres 2009. Sebab, ada donatur individu atau korporasi yang identitasnya dipalsukan. Identitas donatur terdaftar, namun mereka tidak menyumbang dana kampanye. "Karena daftar penyumbang itu sesungguhnya tidak menyumbang, berarti ada sumber dana lain. Itulah yang perlu diselidiki," tutur Anas.
Apa yang dikemukakan Anas langsung mengonfirmasi temuan di lapangan oleh Panitia Khusus (Pansus) DPR untuk kasus Bank Century tentang kejanggalan profil nasabah penerima dana bailout. Faktor kejanggalan profil nasabah dan donatur partai ini mengindikasikan adanya operasi lain yang menunggangi keputusan KSSK menyetujui bailout untuk Bank Century.
Seperti diketahui, Ketua KSSK Sri Mulyani dan anggota KSSK Boediono secara terbuka sudah menegaskan bahwa volume bailout yang disetujui KSSK hanya Rp 632 miliar. keduanya pun siap mempertanggungjawabkan jumlah itu. Mengapa bisa membengkak sampai triliunan rupiah?
Rupanya, selain rekomendasi KSSK untuk pencairan Rp 632 miliar itu, muncul juga rekomendasi dari pihak lain kepada LPS untuk terus mencairkan, mendistribusikan dan menggunakan dana LPS. Per 24 November 2008, gelembung pencairan dana LPS sudah mencapai angka Rp 2,7 triliun. Pencairan berlanjut hingga usai Pilpres Juli 2009, dengan total Rp 6,7 triliun.
Artinya, tanpa sepengetahuan Ketua dan anggota KSSK, ada operasi atau perintah rahasia kepada LPS. Sebuah operasi rahasia menguras dana LPS dengan sandi ‘menyelamatkan Bank Century’. Beralasan jika Sri Mulyani sangat marah dan merasa dibohongi BI ketika pencairan bailout sudah menggelembung sampai angka Rp 2,7 triliun.
Perintah Rahasia
Wakil Presiden/Plt Presiden (saat itu) Jusuf Kalla pun sangat marah Ketika Sri Mulyani melaporkan ‘perampokan’ ini kepadanya . Padahal, sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla sudah diisolir dari proses penyelamatan Bank Century oleh BI dan KSSK. Konsekuensinya mungkin di luar perkiraan, sebab Jusuf Kalla langsung membawa persoalan ini ke ruang publik, sehingga kebijakan diam-diam menyelamatkan bank kecil itu menjadi pengetahuan umum.
Dan, ketika pers menanyakan sebab musabab gelembung dana talangan itu kepada mantan Gubernur BI Boediono yang kini Wakil Presiden RI, dia langsung menunjuk LPS sebagai pihak yang seharusnya memberikan penjelasan dan pertanggungjawaban. Tak mau dikambinghitamkan, LPS tak ragu sedikit pun untuk membantah Boediono. Menurut LPS, jumlah yang dicairkan sesuai rekomendasi KSSK.
Pertanyaannya, KSSK yang mana? Dan, mengapa pula LPS nekad mencairkan dana bailout melampaui jumlah yang di sudah diputuskan Sri Mulyani-Boediono? Kalau LPS nekad atau berani, mungkin karena perintah rahasia untuk pencairan dana bailout itu datang dari institusi di atas KSSK yang diketuai menteri keuangan dengan Gubernur BI sebagai anggota.
Berarti institusi di atas KSSK itu telah menunggangi keputusan KSSK menyelamatkan Bank Century. Institusi di atas KSSK itu pastilah sangat powerful sehingga LPS pun tak berani menolak.
Lalu, mengapa Ketua KSSK terkaget-kaget dan hanya bisa marah? Pertama, karena Sri Mulyani sadar bahwa operasi pencairan dana di LPS itu telah diskenariokan sedemikian rupa sehingga berada di luar kontrol dan kendali KSSK. Sangat mungkin terjadi karena operasi itu tunduk pada titah atau kehendak dari pejabat atau institusi yang wewenang dan kekuasaannya lebih tinggi dari Ketua dan anggota KSSK. Nah, kalau segala sesuatunya bisa dipaksakan, itu adalah kerja atau operasi intelijen.
Maka, jangan heran kalau pencairan dan pendistribusi dana Rp 2,7 triliun bisa dilakukan pada hari sabtu dan minggu ketika semua bank justru libur.
Walaupun Ketua KSSK Srimulyani sudah marah-marah, operasi menguras brankas LPS tak juga dihentikan. Operasi rahasia ini baru dihentikan setelah rampungnya Pilpres Juli 2009. Hampir lima tahun usia perampokan ini, tak satu pun institusi negara yang berani mempertanggungjawabkannya.
Sebelum ditangani penegak hukum, pemerintahan SBY-Boediono berkesempatan menunjukan moral pertanggungjawaban. Caranya sederhana saja; presiden cukup memanggil ketua dan anggota KSSK serta pimpinan LPS untuk mempertanyakan mengapa bisa terjadi penggelembungan dana talangan Bank Century hingga demikian besar? Sayangnya, SBY-Boediono tidak pernah mau berinisiatif memperjelas masalah ini.
Maka, wajar kalau rakyat berharap pada semua institusi penegak hukum. Jangan sampai institusi penegak hukum permisif, atau membiarkan kekuasaan bertindak semena-mena. Mendakwa Budi Mulya dengan sejumlah dakwaan, termasuk dakwaan merugikan perekonomian negara, belum cukup untuk menyembuhkan rasa keadilan rakyat, karena mega skandal ini menyimpan beragam kejahatan. Paling tidak, kejahatan Korupsi dan kejahatan pemilu. Setelah Anas mulai angkat bicara, inilah saatnya bagi penegak hukum mempersoalkan pertanggungjawaban atas gelembung dana talangan itu dan pencucian uang untuk kepentingan politik di pemilu 2009.
Mari berkaca atau belajar pada Afrika Selatan. Pejabat lembaga anti korupsi di Afrika Selatan, meminta kepada Presiden mereka Jacob Zuma untuk membayar atau mengembalikan sebagian dana yang digunakan untuk merenovasi rumah pribadinya.
Sebelumnya, Presiden Jacob Zuma dituduh melakukan pelanggaran karena menerima dana negara 23 juta dolar untuk memperbaiki rumahnya.
Kalau Afrika Selatan bisa, mengapa Institusi penegak hukum di Indonesia harus permisif? []
Bambang Soesatyo
Anggota Timwas Bank Century DPR RI/
Presidium Nasional KAHMI 2012-2017
Mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, mulai menguak misteri Rp 6,7 triliun lebih gelembung dana talangan atau bailout Bank Century. Dari data yang diungkap Anas kepada penyidik KPK, layak untuk memunculkan kesimpulan sementara bahwa ada kekuasaan atau institusi di atas KSSK yang patut diduga menunggangi keputusan KSSK menyetujui dana talangan atau bailout untuk Bank Century.
Penggelembungan dana bailout Rp 6,7 triliun tersebut mestinya bukanlah misteri. Akan menjadi misteri jika pemerintah cq KSSK (Komite Stabilisasi Sistem Keuangan), LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) bersama BI (Bank Indonesia) tidak bisa atau terus menolak mempertanggungjawabkannya. Memang, sampai hari ini, tak satu pun dari tiga institusi itu yang bersedia menjelaskan atau mempertanggungjawabkannya. Tentu saja rakyat melihat hal ini sangat janggal . Dengan model manajemen seperti apakah negara ini dikelola?
Tidak mungkin penggelembungan itu dilakukan siluman. Maka, sejatinya, harus bisa dipertanggungjawabkan. Sebab, dana sebanyak itu dikeluarkan dari kas sebuah institusi negara yang dikelola oleh orang-orang pandai dalam bidangnya. Orang-orang pandai itu jabatannya tinggi karena mengelola dana publik. Persoalannya sekarang adalah sampai kapan sikap menolak bertanggungawab yang dipertontonkan pemerintah dan BI ini akan ditoleransi?
Ketika diperiksa penyidik KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi ) baru-baru ini, Anas Urbaningrum memberi indikasi tentang penggunaan dana bailout Bank Century untuk membiayai kegiatan politik pada 2009. Kepada KPK, Anas mengungkap hasil audit akuntan independen tentang penerimaan dan pengeluaran dana kampanye Partai Demokrat untuk pemilihan presiden 2009. Total sumbangan itu mencapai Rp 232 miliar.
Anas curiga, ada aliran dana Bank Century yang digunakan untuk kampanye Pilpres 2009. Sebab, ada donatur individu atau korporasi yang identitasnya dipalsukan. Identitas donatur terdaftar, namun mereka tidak menyumbang dana kampanye. "Karena daftar penyumbang itu sesungguhnya tidak menyumbang, berarti ada sumber dana lain. Itulah yang perlu diselidiki," tutur Anas.
Apa yang dikemukakan Anas langsung mengonfirmasi temuan di lapangan oleh Panitia Khusus (Pansus) DPR untuk kasus Bank Century tentang kejanggalan profil nasabah penerima dana bailout. Faktor kejanggalan profil nasabah dan donatur partai ini mengindikasikan adanya operasi lain yang menunggangi keputusan KSSK menyetujui bailout untuk Bank Century.
Seperti diketahui, Ketua KSSK Sri Mulyani dan anggota KSSK Boediono secara terbuka sudah menegaskan bahwa volume bailout yang disetujui KSSK hanya Rp 632 miliar. keduanya pun siap mempertanggungjawabkan jumlah itu. Mengapa bisa membengkak sampai triliunan rupiah?
Rupanya, selain rekomendasi KSSK untuk pencairan Rp 632 miliar itu, muncul juga rekomendasi dari pihak lain kepada LPS untuk terus mencairkan, mendistribusikan dan menggunakan dana LPS. Per 24 November 2008, gelembung pencairan dana LPS sudah mencapai angka Rp 2,7 triliun. Pencairan berlanjut hingga usai Pilpres Juli 2009, dengan total Rp 6,7 triliun.
Artinya, tanpa sepengetahuan Ketua dan anggota KSSK, ada operasi atau perintah rahasia kepada LPS. Sebuah operasi rahasia menguras dana LPS dengan sandi ‘menyelamatkan Bank Century’. Beralasan jika Sri Mulyani sangat marah dan merasa dibohongi BI ketika pencairan bailout sudah menggelembung sampai angka Rp 2,7 triliun.
Perintah Rahasia
Wakil Presiden/Plt Presiden (saat itu) Jusuf Kalla pun sangat marah Ketika Sri Mulyani melaporkan ‘perampokan’ ini kepadanya . Padahal, sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla sudah diisolir dari proses penyelamatan Bank Century oleh BI dan KSSK. Konsekuensinya mungkin di luar perkiraan, sebab Jusuf Kalla langsung membawa persoalan ini ke ruang publik, sehingga kebijakan diam-diam menyelamatkan bank kecil itu menjadi pengetahuan umum.
Dan, ketika pers menanyakan sebab musabab gelembung dana talangan itu kepada mantan Gubernur BI Boediono yang kini Wakil Presiden RI, dia langsung menunjuk LPS sebagai pihak yang seharusnya memberikan penjelasan dan pertanggungjawaban. Tak mau dikambinghitamkan, LPS tak ragu sedikit pun untuk membantah Boediono. Menurut LPS, jumlah yang dicairkan sesuai rekomendasi KSSK.
Pertanyaannya, KSSK yang mana? Dan, mengapa pula LPS nekad mencairkan dana bailout melampaui jumlah yang di sudah diputuskan Sri Mulyani-Boediono? Kalau LPS nekad atau berani, mungkin karena perintah rahasia untuk pencairan dana bailout itu datang dari institusi di atas KSSK yang diketuai menteri keuangan dengan Gubernur BI sebagai anggota.
Berarti institusi di atas KSSK itu telah menunggangi keputusan KSSK menyelamatkan Bank Century. Institusi di atas KSSK itu pastilah sangat powerful sehingga LPS pun tak berani menolak.
Lalu, mengapa Ketua KSSK terkaget-kaget dan hanya bisa marah? Pertama, karena Sri Mulyani sadar bahwa operasi pencairan dana di LPS itu telah diskenariokan sedemikian rupa sehingga berada di luar kontrol dan kendali KSSK. Sangat mungkin terjadi karena operasi itu tunduk pada titah atau kehendak dari pejabat atau institusi yang wewenang dan kekuasaannya lebih tinggi dari Ketua dan anggota KSSK. Nah, kalau segala sesuatunya bisa dipaksakan, itu adalah kerja atau operasi intelijen.
Maka, jangan heran kalau pencairan dan pendistribusi dana Rp 2,7 triliun bisa dilakukan pada hari sabtu dan minggu ketika semua bank justru libur.
Walaupun Ketua KSSK Srimulyani sudah marah-marah, operasi menguras brankas LPS tak juga dihentikan. Operasi rahasia ini baru dihentikan setelah rampungnya Pilpres Juli 2009. Hampir lima tahun usia perampokan ini, tak satu pun institusi negara yang berani mempertanggungjawabkannya.
Sebelum ditangani penegak hukum, pemerintahan SBY-Boediono berkesempatan menunjukan moral pertanggungjawaban. Caranya sederhana saja; presiden cukup memanggil ketua dan anggota KSSK serta pimpinan LPS untuk mempertanyakan mengapa bisa terjadi penggelembungan dana talangan Bank Century hingga demikian besar? Sayangnya, SBY-Boediono tidak pernah mau berinisiatif memperjelas masalah ini.
Maka, wajar kalau rakyat berharap pada semua institusi penegak hukum. Jangan sampai institusi penegak hukum permisif, atau membiarkan kekuasaan bertindak semena-mena. Mendakwa Budi Mulya dengan sejumlah dakwaan, termasuk dakwaan merugikan perekonomian negara, belum cukup untuk menyembuhkan rasa keadilan rakyat, karena mega skandal ini menyimpan beragam kejahatan. Paling tidak, kejahatan Korupsi dan kejahatan pemilu. Setelah Anas mulai angkat bicara, inilah saatnya bagi penegak hukum mempersoalkan pertanggungjawaban atas gelembung dana talangan itu dan pencucian uang untuk kepentingan politik di pemilu 2009.
Mari berkaca atau belajar pada Afrika Selatan. Pejabat lembaga anti korupsi di Afrika Selatan, meminta kepada Presiden mereka Jacob Zuma untuk membayar atau mengembalikan sebagian dana yang digunakan untuk merenovasi rumah pribadinya.
Sebelumnya, Presiden Jacob Zuma dituduh melakukan pelanggaran karena menerima dana negara 23 juta dolar untuk memperbaiki rumahnya.
Kalau Afrika Selatan bisa, mengapa Institusi penegak hukum di Indonesia harus permisif? []
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar