Agama dan
Politik
Oleh:
Komaruddin Hidayat
Tak
terhitung lagi berapa jumlah buku dan artikel yang membahas hubungan antara
agama dan politik. Isu ini selalu jadi bahan diskusi yang tak kunjung selesai
dari dekade ke dekade baik di Barat maupun di Timur.
Isu ini
bahkan mempunyai akar kesejarahan ke abad-abad lalu. Sebuah teori mengatakan,
politik pada awalnya dilahirkan oleh agama. Misi Rasul Tuhan dengan agama yang
dibawa pada urutannya membentuk jejaring kekuasaan untuk menyebarkan dan
mewujudkan doktrinnya. Ini berarti agama mesti memiliki kekuasaan politik.
Kekuasaan
politik yang dilahirkan agama ini semakin diperlukan ketika gerakan keagamaan
menghadapi musuh yang merasa terancam oleh gerakan kenabian. Karena itu, para
Rasul Tuhan selalu dihadang dan diancam oleh rezim kekuasaan yang ada. Tak
mengherankan makanya ketika membaca kisah Ibrahim, Musa, Jesus, dan Muhammad
yang berhadapan secara frontal dengan rezim tiran yang menindas rakyat. Sebuah
kekuasaan politik mesti dihadapi dengan kekuasaan politik. Jadi, punya alasan
logis-historis bahwa agama dan politik tak bisa dipisahkan.
Dalam
sejarah Islam, Nabi Muhammad setelah pindah ke Madinah lalu menyusun kontrak
sosial politik yang dikenal dengan nama Piagam Madinah. Salah satu warisan
budaya yang sangat fenomenal yang diwariskan Nabi Muhammad adalah komunitas
politik religius yang berpusat di Madinah yang terus dijaga dan diwariskan dari
generasi ke generasi dengan berbagai inovasi dan deviasinya. Di Barat pun tak
jauh berbeda.
Negara
Vatikan meskipun sebagai institusi moral-keagamaan, tak pernah lelah memberikan
perhatian dan pesan moral pada kehidupan politik ketika politik dinilai telah
merendahkan derajat kemanusiaan dan menjadi sumber perang. Jadi, agama dan
politik tidak mungkin dipisahkan. Para biksu Buddha di Thailand pun
sekali-sekali terlibat dalam gerakan politik dengan membawa pesan moral
keagamaan.
Rasanya,
tak mungkin politik steril dari agama. Hanya format hubungannya yang mengalami
perbedaan dan perubahan dari zaman ke zaman, berbeda antara negara yang satu
dan yang lain. Baik agama maupun politik pada awalnya mulia dan suci, tujuannya
untuk mengangkat harkat-derajat kemanusiaan didasarkan pesan-pesan Ilahi.
Namun, dalam perjalanannya panggung politik jadi ajang perebutan kekuasaan
dengan mengkhianati pesan mulia agama.
Agama dan
politik lalu dipisahkan secara tegas. Agama ditempatkan pada wilayah pribadi,
paling jauh wilayah komunal, lalu politik melekat pada wilayah negara dan
pemerintahan. Agama jangan lagi mencampuri politik dan negara. Namun, di
Indonesia tidak sejauh itu yang terjadi, negara bahkan memberikan dukungan,
pengakuan, dan perlindungan pada agama. Hanya, posisi agama tidak lagi punya
wibawa dan pengaruh efektif sebagaimana zaman keemasan agama ketika melahirkan
komunitas sebagaimana masa Nabi Muhammad di Madinah.
Dunia
telah berubah. Sosok suci seorang Nabi tak lagi ada. Masyarakat dunia mungkin
telah merasa dewasa dengan warisan agama para Rasul Tuhan dan dukungan iptek
yang dibangunnya. Yang kadang membuat sedih adalah ketika ajaran agama lalu
dipelintir dan dimanipulasi sebagai instrumen perebutan kekuasaan politik,
bukan sebagai rujukan etika berpolitik. Sampai di sini posisi dan hubungan
antara agama dan politik menjadi berbalik.
Bukan
agama membimbing bagaimana berpolitik yang anggun dan terhormat, melainkan
agama dibajak dijadikan jampi-jampi politik. Agama yang tegas mengajarkan hidup
bersih antikorupsi, tetapi banyak orang yang selalu mengusung simbol dan
identitas agama telah melakukan korupsi. Agama lalu kehilangan ethosdan daya
dobraknya dalam memberantas korupsi, melainkan ajarannya dikonstruksi
sedemikian rupa sehingga pemahaman dan pengamalan agama dijadikan mekanisme
penyucian dosa dari korupsi.
Sebuah
pemahaman yang jelas tidak berdasar pada ajaran dasar agama. Berbagai tindakan
pidana ingin diputihkan dengan zikir-zikir dan ritual keagamaan, sebuah paham
dan praktik keagamaan yang justru merusak martabat agama. []
KORAN
SINDO, 21 Maret 2014
Komaruddin Hidayat ; Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar