Hukum
Mati Koruptor
Oleh: Moh
Mahfud MD
Kamis dan
Jumat pekan ini tersiar berita tentang laporan Amnesti Internasional bahwa pada
2013 Republik Rakyat China (RRC) merupakan negara yang paling banyak
melaksanakan hukuman mati.
Pada 2013
China menjatuhkan hukuman terhadap 778 orang. Hukuman mati di China secara
tegas memang dijatuhkan, terutama terhadap para koruptor. Ketika saya
berkunjung ke China, akhir tahun 2007, di sana ada eksekusi hukuman mati
terhadap dua pejabat perusahaan listrik negara karena penyuapan. Beberapa tahun
sebelum itu, seorang jaksa tinggi di sebuah provinsi juga dijatuhi hukuman mati
karena mengunjungi suatu negara di Eropa dengan menggunakan anggaran negara
secara koruptif.
Jaksa
tinggi itu menghadiri undangan dari kejaksaan di satu negara di Eropa untuk
satu pembicaraan bidang hukum antarkejaksaan kedua negara. Sang jaksa tinggi
menggunakan anggaran negara untuk kunjungan dinasnya itu. Sialnya, Pemerintah
China akhirnya mengetahui bahwa sang jaksa bukan murni diundang tapi minta
diundang melalui koleganya di negara Eropa tanpa agenda yang jelas, dengan
akal-akalan, agar dapat berkunjung dengan menggunakan anggaran negara.
Sang
jaksa pun dijatuhi hukuman mati. Itulah hebatnya China, sangat keras memerangi
korupsi dan menghukum berat pelakunya tanpa pandang bulu. Terhadap korupsi
biasa yang tak spektakuler saja, pelakunya dijatuhi hukuman mati. Pada saat
menerima kunjungan pejabat tinggi dari China beberapa tahun lalu Presiden SBY
mengatakan ingin belajar pada China dalam pemberantasan korupsi.
China
memang perlu dicontoh dalam memerangi korupsi. Faktanya di Indonesia
teriakan-teriakan agar koruptor dihukum mati sudah banyak bergema di
masyarakat. Alasannya, koruptor telah merampas hak-hak rakyat dalam meraih
kesejahteraan sesuai dengan hak yang diberikan oleh konstitusi yang resminya
tertuang di dalam dasar dan tujuan negara. Di Indonesia tiga indikator utama
kesejahteraan rakyat yaitu kecukupan ekonomi, pemerataan pendidikan, dan
pelayanan kesehatan sungguh memilukan.
Kecukupan
ekonomi masyarakat jauh dari harapan, kemiskinan masih masif, distribusi
kekayaan dan pertumbuhan ekonomi sangat jomplang, tidak merata. Pembangunan
pendidikan tersendat-sendat, banyak anak seusia sekolah yang tak terjangkau.
Yang terjangkau pun banyak yang asal-asalan. Bahkan, banyak murid yang setiap
hari menempuh jalan jauh dan menyeberangi jembatan bambu yang digantung dengan
tali di atas sungai yang curam.
Pelayanan
kesehatan pun sungguh memilukan. Belum lama ini seorang pasien miskin dibuang
oleh pegawai rumah sakit di Lampung karena tidak ada yang menjamin untuk
membayar perawatannya. Orang yang bernama Suparman itu meninggal di tepi jalan,
tempat dirinya dicampakkan begitu saja. Banyak orang tak berani masuk ke rumah
sakit karena harus menyerahkan jaminan pembayaran lebih dulu.
Banyak
pula yang tak bisa keluar dari rumah sakit karena tak mampu membayar setelah
dirawat. Mereka itu tidak boleh pulang sebelum membayar dan setiap tambahan
hari ditahan di rumah sakit harus menambah jumlah pembayarannya. Ketakcukupan
ekonomi, tak menjangkaunya program pendidikan yang memadai, dan tak
terpeliharanya kesehatan rakyat oleh negara sebagai indikator utama
kesejahteraan sebenarnya bisa dimaklumi apabila negara ini benar-benar tidak
mampu karena tidak punya anggaran.
Persoalannya,
meski terbatas, anggaran-anggaran untuk membangun kesejahteraan itu sudah
disediakan oleh negara melalui APBN dan APBD tetapi dikorup secara
besar-besaran oleh para pejabatnya dalam jumlah yang gila-gilaan. Itulah sebabnya,
banyak yang berteriak agar koruptor dalam skala tertentu, apalagi oleh pejabat
tinggi tertentu, perlu dijatuhi hukuman mati.
Secara
konstitusional, untuk tindak pidana tertentu yang sangat membahayakan negara
dan mengancam kemanusiaan, hukum kita membenarkan dijatuhinya hukuman mati.
Untuk kejahatan terorisme, narkoba, dan pembunuhan berencana, misalnya, ancaman
hukuman mati dan penjatuhan kepada pelakunya di Indonesia sudah berjalan dan
banyak yang dieksekusi.
Mengapa
untuk kejahatan korupsi hukumannya kok ringan-ringan melulu? Bukankah korupsi
tak kalah jahatnya daripada terorisme, narkoba, dan pembunuhan berencana? Ada
soal penafsiran atas ancaman hukuman pidana mati bagi korupsi. Di dalam UU kita
tindak pidana korupsi ”hanya” bisa dituntut dan dijatuhi hukuman mati jika
korupsi tersebut dilakukan ketika negara dalam keadaan krisis.
Karena
tidak ada kriteria hukum yang jelas tentang ”negara dalam keadaan krisis” yang
bisa dikaitkan langsung dengan korupsi maka tidak ada jaksa yang menuntut
hukuman mati terhadap koruptor, sekakap apa pun. Para hakim pun bersikap sama,
tak ada yang berijtihad untuk menjatuhkan hukuman mati. Maka ketentuan UU yang
mensyaratkan ”saat negara dalam keadaan krisis”perlu dihapus melalui revisi UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ke depan,
kita perlu menyejajarkan kejahatan korupsi dengan kejahatan terorisme dan
narkoba, yakni sama-sama diancam maksimal hukuman mati tanpa syarat ”ketika
negara dalam keadaan krisis”. Ada yang mengatakan, ancaman hukuman mati itu
melanggar konstitusi.
Tetapi,
Mahkamah Konstitusi sudah membuat putusan yang final dan mengikat bahwa
pengancaman maksimal dan penjatuhan hukuman mati itu konstitusional asal
dicantumkan di dalam UU sesuai dengan ketentuan Pasal 28J UUD 1945. []
KORAN
SINDO, 29 Maret 2014
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum
Konstitusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar