Amal
Publik Vs Dosa Publik
Oleh: M
Hasan Mutawakkil Alallah
DALAM
sebuah diskusi publik di Jakarta (3/4/2014), Jusuf Kalla memberikan pernyataan
menarik tentang pentingnya politik sebagai medan jihad sosial. Itu bisa
terjadi, menurut dia, jika neraca amal publik seorang politikus lebih besar
daripada neraca dosa publiknya.
Kalla
menyatakan, ''Amal publik yang lebih besar daripada dosa publiknya membuat seseorang
(politikus) selalu dielu-elukan masyarakat. Itu tentu berbeda dengan orang yang
memiliki banyak dosa publik. Tapi, kita tidak bisa mengklaim seseorang layak
atau tidak. Kita hanya bisa melihat apa yang sudah dibuatnya untuk bangsa.''
Pernyataan
mantan wakil presiden tersebut menarik ditelaah lebih lanjut di ujung hiruk
pikuk politik menjelang pemilu legislatif 9 April 2014. Akhir-akhir ini, publik
memandang politik pasti kotor. Begitu mendengar istilah politik, kesadaran
kebanyakan di antara kita langsung tertuju pada pemahaman bahwa politik
merupakan ajang konflik, panggung perseteruan, serta medan aktualisasi
kepentingan individual politisi atau partai politik.
Pokoknya,
dalam pemahaman publik, hampir tidak ada kebaikan yang ditempelkan kebanyakan
di antara kita kepada politik. Politik dipahami masyarakat tidak memberikan
banyak keuntungan dan manfaat kepada mereka. Masyarakat mendasarkan pemahaman
tersebut pada perilaku sejumlah oknum politikus. Perilaku sejumlah politikus
itu terlalu berorientasi pada kepentingan personal, atau maksimal kelompok
tertentu, daripada kepentingan bersama.
Terlepas
dari kasus per kasus tersebut, publik harus diingatkan bahwa politik memegang
peran penting untuk menebar kebajikan bersama. Politik akan melahirkan individu
pemegang jabatan, mulai legislatif hingga eksekutif. Bahkan, jabatan yudikatif
kini harus melalui proses politik, meski dengan skema yang berbeda dengan
legislatif dan eksekutif.
Menjadi
pemegang kekuasaan publik seperti anggota legislatif, eksekutif, dan bahkan
yudikatif memiliki peran besar untuk menanam kebajikan yang diperluas. Sebab,
kehidupan bersama kita, antara lain, ditentukan kebijakan yang lahir dari
proses politik tersebut. Karena itu, jabatan publik menjadi medan penyebaran
kebajikan yang diperluas. Konsep kebajikan yang diperluas itulah yang disebut
Kalla dengan istilah ''amal publik''.
Dalam
kaitan ini, saya pun harus mengutip hadis Nabi Muhammad SAW berikut: Khoirunas
anfa'uhum linnas. Artinya, sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat
bagi sesamanya. Salah satu maksud hadis itu, semakin tinggi tingkat kemanfaatan
seseorang, semakin baik seseorang itu di mata Allah SWT dan manusia. Semakin
luas nilai kemanfaatan seseorang, semakin tinggi pula derajat pahalanya.
Intinya, derajat kemanusiaan bisa diukur dari nilai kemanfaatan yang diberikan
kepada umat manusia.
Nah,
politik memberikan ruang yang lebih luas kepada seseorang untuk menebar
kebajikan bersama. Kalau selama ini seseorang hanya bisa memberikan manfaat
kepada 10 orang, dengan menjadi politikus atau pemegang kekuasaan publik, dia
akan bisa memberikan kebajikan kepada jutaan warga Indonesia melalui kebijakan
politik yang dilahirkan.
Tentu,
kebajikan bersama itu juga akan memberikan manfaat balik. Masyarakat juga akan
mendoakan politikus atau pemegang jabatan publik tersebut. Sanjungan dan pujian
menjadi awal lahirnya doa yang akan mereka berikan kepada politikus dan atau
pemegang jabatan publik tersebut. Doa memperkuat kebajikan bersama itu.
Karena itu,
politik dalam kaitannya dengan penunaian tugas untuk menentukan kepemimpinan
(nasbul ri'asah) penting dipahami dan disadari bersama. Karena kepemimpinan
politik menentukan nasib kehidupan bersama, menggunakan hak pilih pada
hakikatnya merupakan keikutsertaan untuk menentukan pemimpin.
Sebagai
konsekuensi pentingnya kepemimpinan politik, penunaian tanggung jawab dan
kewenangan publik wajib dilakukan pejabat politik dengan penuh amanah. Bila
tanggung jawab dan kewenangan publik itu dilakukan dengan niat serta cara yang
benar, praktik politik dalam menunaikan tugas dan kewenangan publik tersebut
termasuk ibadah.
Meski
politik sangat berperan untuk menebar kebajikan yang diperluas, harus pula
diingatkan bahwa politik bisa pula menjadi kanal penebar keburukan dan
kejahatan. Kewenangan besar yang dimiliki pemegang kekuasaan publik sebagai
hasil proses politik segera berubah menjadi bencana bagi publik jika tidak
ditunaikan secara baik dan benar. Itulah yang disebut Jusuf Kalla dengan konsep
''dosa publik''.
Bila
dibaca dari kacamata nasbul ri'asah tersebut, penodaan atas tanggung jawab dan
kewenangan publik adalah penodaan pula terhadap prinsip, semangat, dan nurani
publik. Penunaian jabatan serta tanggung jawab publik dengan niat dan cara yang
salah juga merupakan perbuatan sia-sia yang tidak disukai agama.
Karena
itu, tugas kita bersama adalah jangan memperbesar ''produk gagal'' politik.
Kita perlu menggunakan hak suara yang kita miliki secara baik dan benar sesuai
dengan nilai idealisme kebangsaan, kenegaraan, serta keagamaan yang kita
cita-citakan bersama. Kecerobohan, kesembronoan, atau bahkan kesalahan dalam
menjatuhkan pilihan hanya akan memperbesar ''produk gagal'' politik yang
dimaksud.
Bila itu
terjadi, ''produk gagal'' politik tersebut tidak bisa dihindari. Salah satu
ciri ''produk gagal'' politik yang dimaksud adalah tidak terampilnya atau
bahkan buruknya perilaku politik politisi saat menjalankan tugas serta
kewenangan publik. Wujudnya, tidak sedikit politikus yang akan lahir dari
proses demokrasi itu tampil dengan praktik buruk dan jahat. Misalnya, korupsi
atau penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi.
Pengalaman
memberikan pelajaran penting bahwa neraca amal publik tidak boleh
dikesampingkan dalam memilih calon pemimpin negeri ini. Jangan korbankan negeri
ini dengan melakukan pemilihan politik tanpa melihat pentingnya neraca
tersebut. Terpilihnya calon pemimpin yang mengalami pailit amal publik hanya
akan mempercepat tercetaknya ''produk gagal''. Ujungnya, ''dosa publik'' akan semakin
tampak kuat dalam panggung politik negeri ini. Akhirnya, besar tekor daripada
untung untuk berkembangnya kebajikan bersama. []
JAWA POS,
05 April 2014
M Hasan Mutawakkil Alallah ; Ketua
Tanfidziyah PW NU Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar