Dekonstruksi Pemikiran
Liberal
“Dewasa ini para penghujat Al-Qur’an bukan
hanya kalangan orientalis, tapi juga para sarjana dengan titel akademis yang
tinggi dan berprofesi sebagai pengajar di perguruan tinggi Islam”. Inilah
kutipan kata-kata sinopsis yang ada di cover belakang buku Al-Qur’an dihujat,
sebuah karya ilmiah yang ditulis oleh Henri Shalahuddin untuk meng-counter
pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd, seorang pemikir modern Mesir yang telah dicap
sesat dan berbahaya oleh kebanyakan ulama Mesir saat ini.
Bukan suatu yang aneh, memang, bila saat ini
banyak internal umat Islam yang justru menggembosi Islam sendiri dengan
berkedok ingin menyesuaikan Islam dengan era modern. Mereka dengan terang
berani merombak al-Qur’an, menginterpretasi al-Qur’an dengan metodologi modern
yang menyimpang dari kriteria penafsiran yang telah ditetapkan oleh
mufassir-mufassir klasik. Bahkan, mereka lebih bangga dengan metodologi tafsir
hermeneutika yang dianggapnya adalah salah satu metode penafsiran kontemporer
yang patut diaplikasikan saat ini.
Sebagaimana yang telah diterapkan sendiri oleh
Nasr Hamid Abu Zayd, di Indonseia, sejak mekarnya pemikiran Abu Zayd yang serba
modern, metodologi hermeneutika telah menjadi salah satu kurikulum resmi di
UIN/IAIN/STAIN seluruh Indonesia. Hasil dari pembelajaran metode inipun tidak
tanggung-tanggung. Pada tahun 2004, Kampus IAIN Yogyakarta meluluskan sebuah
tesis master yang kemudian diterbitkan menjadi buku berjudul: “Menggugat
Otentisitas Wahyu al-Qur’an”. Tesis ini juga menggugat kesucian al-
Qur’an.(Adian Husaini: 2007)
Pemikir, intelektual, ilmuwan ataupun
cendekiawan seperti Abu Zayd, Mesir; atau seorang dosen di IAIN Sunan Ampel
Surabaya, Sulhawi Ruba, yang secara sadar dan meyakinkan, pernah menginjak
‘Lafaz Allah’, pada 5 Mei 2006, itu bukanlah orang orientalis yang menurut
Grand Larousse Encyclopedique seperti yang dikutip Amin Rais, orientalis adalah
sarjana yang menguasai masalah-masalah ketimuran (bangsa-bangsa timur) termasuk
bahasanya, kesusastrannya, dan secara umum kebudayaannya.
Namun, ironisnya, mengapa mereka berani
dengan terang menyatakan bahwa yang dikakukannya adalah untuk menyesuaikan
dengan era modern yang seakan-akan al-Qur’an yang telah diwahyukan dengan
sempurna (QS al-Mâ’idah [5]: 3) itu masih kurang dan perlu diadakan
dekonstruksi lagi?
Selain itu, kalau ditinjau dari alat dan
metode yang mereka terapkan untuk menafsiri al-Qur’an, di sini akan ditemukan
sebuah kecacatan dan pengkaburan otentisitas teks al-Qur’an dengan meninjau
sejarah tafsir hermeneutika yang dicatat oleh sejarah sebagai metode yang
digunakan dalam kajian Bibel. Dengan demikian, bila metode hermeneutika
diterapkan dalam menginterpretasi al-Qur’an, di samping mengaburkan
(merelatifkan) batasan antara ayat-ayat muhkamât dan mutasyâbihât; ushûl dan
furû’; tsawâbit dan mutaghayyirât; qat’iyyât dan zhanniyât; juga akan mereduksi
sisi kerasulan Rasulullah Muhammad r, hingga pada tingkatan menyatakan
Rasulullah sebatas manusia biasa yang sarat dengan kekeliruan dan hawa
nafsu.(Henri Shalahuddin:2007)
Kalau diulas kembali sejarah masa-masa
permulaan Islam, di sana juga akan terungkap kisah-kisah yang sama. Pada masa
sahabat Abu Bakar, misalnya, selain mengaku sebagai nabi, Musaylamah
al-Kadhdhab juga berani membuat Al-Qur’an tandingan yang juga tak kalah heboh
dengan Al-Qur’an yang asli.
Akan tetapi, bila ditinjau latar belakang
kehidupan dari pembuat Al-Qur’an tandingan itu, di situ akan ditemukan sebuah
catatan sejarah yang telah menggoreskan nama Musailimah al-Kadzdzab sebagai
tukang syair yang paling mahir di zamannya. Dengan demikian, jika tukang syair
saja mampu membuat al-Qur’an tandingan hanya dengan modal ahli dalam memumpuni
bidang syair Arab dan tidak mengetahui tentang ilmu-ilmu Al-Qur’an, lalu
bagaimana dengan kisah Abu Zayd, Amin Abdullah, Fazlurrahman, Mohammed Arkoun
dan masih banyak tokoh liberal lainnya yang kesemuanya pernah mengenyam di
bangku-bangku Universitas Islam lalu hijrah ke negeri Barat dengan tujuan untuk
mencerahkan agama dari keterpurukan sosial, ekonomi dan budaya Islam yang
identik dengan kemiskinan dan kemunduran dalam peradaban dunia?
Hal semacam ini, tentu merupakan kekeliruan
yang tidak patut untuk mereka lakukan kalau hanya beralasan untuk memerdekakan
Islam dari keterpurukan. Sebab, selain akan mencuci otak mereka dengan paham
sekularisme, pluralisme, orientalisme dan liberalisme, orang-orang Baratpun
akan menjadikan mereka sebagai alat untuk merobohkan Islam. Hal ini terbukti
dengan diterimanya Abu Zayd di Belanda sekaligus mendapat penghargaan sebagai
ilmuwan besar dalam bidang studi al-Qur’an, dianugerahi gelar profesor di bidang
bahasa Arab dan studi Islam dari Leiden University, sebuah universitas kuno
yang didirikan sejak tahun 1575 di Amsterdam selatan.(Henri Shalahuddin: 2007)
Pada Abad Ketiga Hijriah, di masa itu, Islam
juga telah mengenal pemikir-pemikir yang sering membuat kekacauan dengan
mengeluarkan pendapat-pendapat baru yang kata mereka adalah menurut akal yang
bebas. Segala pokok-pokok keyakinan Islam khususnya dan agama umumnya telah
mereka coba goyahkan dengan mengemukakan pendapat akal yang materialistis. Diantara
pemukanya yang terkenal adalah ar-Rawandi dan Thabib Abu Bakar ar-Razi.
Mulanya, ar-Rawandi terkenal karena
mengutamakan kebebasan akal untuk mempertahankan agama. Tetapi, kemudian
ar-Rawandi telah menyimpang keluar menjadi kafir. Sampai soal-soal yang
berkaitan dengan peribadatan diganggunya dengan nama kebebasan akal. Sebagian
contoh yang pernah diungkapkannya adalah mengenai salat. Menurutnya: shalat,
apa perlunya wudu, padahal meskipun berwudu berkali-kali, namun isi perut kita
tetap kotor. Apa guna melempar-lempar jumrah di Mina? Apa guna Sa’i, lari-lari
di antara Shafa dan Marwah?
Berlari-lari diantara Shafa dan Marwah itu
hanya membuat badan payah saja, faedahnya tidak ada. Wuquf di Arafah
bersama-sama, pun tidak ada perlunya dan semuanya adalah pekerjaan yang tidak
dapat diterima oleh akal. (Hamka: 1994)
Bayangkan kalau orang seperti ar-Rawandi
masih hidup sampai saat ini. Mungkin, MUI Indonesia akan memfatwakan hukuman
mati baginya. Lalu bagaimana dengan keberadaan liberalisme saat ini. Entahlah,
tapi, yang jelas pemikiran-pemikiran seperti mereka itu layak dan kalau perlu
diadakan pemberantasan massal.
Dengan demikian, tantangan zaman terhadap
Islam tidak hanya di era modern ini saja. Sejak zaman Nabi pun agama Islam
telah ditentang habis-habisan oleh orang-orang yang memang berambisi untuk
menghancurkannya. Namun, tantangan Islam saat ini jauh lebih mengerikan dari
pada dulu-dulunya. Sebab, yang menjadi perombak itu sendiri adalah orang-orang
yang justru dilindungi, diidolakan oleh ilmuwan-ilmuwan kontemporer dan sering
tampil dengan pendapat-pendapat akal yang mampu membuat terpesona, sepertinya
jenius, tapi ternyata beracun dan konyol. Wallâhu a’lam. []
Penulis:
M. Roihan Rikza
Tidak ada komentar:
Posting Komentar