Menjaga Lidah yang Tak Betulang
Judul
: Dosa-Dosa Lidah dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadits
Penulis
: Said bin
Ali bin Wahf al-Qahtani
Penerjemah :
Ahmad Suryana, Lc.
Penerbit
: Tinta Medina,
Solo
Cetakan
: I, Oktober 2013
Tebal
: xiv + 138 halaman
ISBN
: 978-602-9211-90-0
Peresensi
: Abd. Basid, alumnus PP. Mambaul
Ulum Bata-Bata, Pamekasan, Madura
“Lidah itu tidak bertulang, tapi (bisa) lebih
tajam dari pedang”. Kiranya, itulah simpulan dan inti dari buku Dosa-Dosa Lidah
dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadits karya Said bin Ali bin Wahf
Al-Qahtani ini. Artinya, seseorang bisa hidup dalam lembah kenistaan dan
kesusahan jika ia tidak mampu menjaga lidahnya. Sebaliknya, seseorang akan
hidup mulia karena mampu menjaganya sehingga yang keluar darinya hanya
kata-kata yang baik dan terpuji.
Konon, seorang wanita per hari, rata-rata mengeluarkan kata-kata sebanyak 16.000-21.000, sedangkan laki-laki sebanyak 5.000-9.000. Bisa dibayangkan, berapa banyak dosa kita dalam sehari jika ribuan kata tersebut didominasi kata-kata jelek. Sebaliknya, berapa banyak pahala kita dalam sehari jika didominasi kata-kata baik dan terpuji.
Berbicara itu fitrah. Namun, jika sudah sampai pada tahapan membicarakan kejelekan orang lain, seperti ghibah (mengumpat), namimah (mengadu domba), dan sejenisnya, maka itu tidak ubahnya seperti tengah makan bangkai saudaranya sendiri, seperti yang dijelaskan dalam surat Al-Hujurat ayat 12. Untuk itu, kita harus hati-hati dalam mempergunakan lidah kita yang tidak bertulang itu tapi tajamnya bisa lebih dari pedang—bisa melukai bahkan membunuh.
Dalam sebuah pribahasa disebutkan, "mulutmu harimaumu". Dalam artian ia dapat menggaung, menerkam, dan membahayakan manusia dan bahkan diri kita sendiri jika kita tidak bisa mengendalikannya. Contoh kecilnya, gara-gara mulut tidak jarang seseorang berselisih dan berkelahi antar sesama dan bahkan sesaudara. Saling umpat, saling gunjing, adu domba, dan sejenisnya. Untuk mengantisipasinya Rasulullah mewanti-wanti dengan hadisnya agar kita selalu berkata baik atau lebih baik diam. Barang siapa beriman kepada Allah dan hari kiamat, hendaknya berkata baik atau diam.
Dalam pengantar buku ini penulis membagi dosa lidah itu pada dua bagian. Dosa karena berbicara kebathilan dan dosa karena diam dari kebenaran. Lebih lanjutnya, mereka yang berkata dengan kebathilan tidak ubahnya adalah setan yang dapat berbicara. Sedangkan mereka yang diam dari kebenaran tidak ubanya adalah setan yang membisu (hal. ix).
Tidak hanya mengungkap dosa-dosa lidah, buku ini juga memaparkan sebab-akibatnya dan kemudian memberi solusi bagaimana cara kita untuk keluar dari belenggu dosanya. Dalam hal ghibah misalnya, untuk bisa keluar dari belenggu dosanya, hemat penulis, setidaknya bisa diatasi dengan dua solusi (hal. 19-24).
Pertama, jika sedang ghibah seseorang harus sadar bahwa ia sedang terjerumus ke dalam lembah kenistaan yang ancamannya mendapatkan murka Allah, pahala kebaikannya akan diambil kelak di akhirat untuk orang yang diumpat sebagai ganti atas apa yang ia halalkan dari harga dirinya dan jika ia tidak mempunyai kebaikan, dosa-dosa orang yang diumpat akan dipindahkan kepadanya.
Kedua, seseorang harus memperhatikan faktor yang mendorongnya untuk ghibah. Analoginya, penawar dari sebuah penyakit hanya dapat diputus dengan menghilangkan sumbernya. Misalnya, jika penyebabnya adalah basa-basi kepada orang lain dan berharap kerelaan mereka, kita harus sadari bahwa Allah akan murka kerena kita sudah mencari kemurkaan-Nya dengan kerelaan makhluk ciptaannya. Jika penyebabnya adalah keinginan kita untuk memuji diri sendiri dengan cara menurunkan derajat oran lain sehingga orang-orang akan merasa bahwa kitalah yang memiliki sifat yang berbeda dengan orang yang kita umpat, maka harus kita ketahui bahwa dengan perbuatan tersebut kita telah merusak keutamaan kita di hadapan Allah sebagai makhluk yang mulia.
Jika penyebabnya adalah kemarahan, maka kita harus menyadari bahwa kemarahan kita kepada orang lain yang dibalas dengan umpatan merupakan larangan Allah yang jika dilakukan bisa mendapat murka dari Allah, yang bisa jadi oleh Allah ditampakkan dengan kemarahan pula. Naudzubillah.
Selanjutnya, obat bagi kemarahan selain mencegah dan menjauhi penyebabnya, seperti karena sombong, ujub, berbangga-bangga, kehilangan kontrol diri, tamak, dan sejenisnya, juga bisa dengan kontak fisik dengan cara membaca isti’adzah, berwudhu, mengubah posisi ketika sedang marah (dengan duduk, berbaring, keluar, menahan berbicara, dan sebagainya), dan mengingat-ingat pahala yang dijanjikan Allah dalam menahan amarah dan efek negatif kemarahan (hal. 85).
Didukung dengan rujukan utama, Al-Qur’an dan hadis, buku ini menjadi lebih argumentatif dalam menyajikan isi kandungan di dalamnya. Cocok bagi segenap insan yang pastinya tidak akan lepas dari olah lisan dalam kehidupan sehari-hari dan selama-lamanya hingga ajal menjemput. Selamat membaca! []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar