Menembak
di Kuda MK
Oleh: Moh
Mahfud MD
Suatu
sore pada awal November 2013 setelah lama pensiun dari Mahkamah Konstitusi
(MK), saya didatangi kiai besar dari Banten yaitu Kiai atau Abuya Muhtadi.
Ditemani beberapa orang, Kiai Muhtadi datang ke kantor saya mengantar Arief
Wismansyah, calon wali kota Tangerang yang saat itu baru memenangkan pemilihan
kepala daerah (pilkada) secara mutlak.
Kiai
Muhtadi dan Arief Wismansyah datang untuk meminta tolong perkara yang
dihadapinya di Mahkamah Konstitusi (MK). Arief yang menang mutlak dalam pilkada
wali kota digugat ke MK oleh pasangan calon yang kalah agar kemenangannya
dibatalkan dengan alasan terjadi kecurangan. Kiai Muhtadi dan Arief meminta
saya untuk membantu agar MK tetap mengukuhkan kemenangannya. Mereka takut kalau
ada permainan di antara para hakim MK dengan penggugat sehingga kemenangannya
dibatalkan MK. Arief Wismansyah menanyakan, harus melakukan apa dan menemui
siapa untuk tetap menang di MK.
Setelah
saya baca berkasnya, saat itu juga saya bilang, ”Baiklah, perkara Pak Arief
saya urus. Tak usah menghubungi siapa pun di MK biar saya yang tangani. Saya
mantan ketua MK, tahu jalannya memenangkan kasus ini.” Setelah itu mereka saya
persilakan pulang dan menunggu saja hasilnya. Beberapa hari setelah itu, pada
19 November 2013 sore, saya ditelepon dan dikirimi SMS oleh tim yang ikut Arief
Wismansyah ke kantor saya. Dia berteriak kegirangan, ”Terima kasih, Pak Mahfud
atas bantuannya. Pak Arief sudah menang di MK.”
Dr
Chaidir Bamuallim, teman saya saat sama-sama jadi aktivis mahasiswa di Yogya pada
1990-an, ikut mengontak saya dan mengucapkan terima kasih atas bantuan saya
memenangkan Arief di MK. Kata mereka, Pak Arief akan sowan kepada saya untuk
mengucapkan terima kasih secara langsung. Saya tergelak mendengar reaksi mereka
atas kemenangan itu. Mereka tidak tahu bahwa saya tak melakukan apa pun atas
kemenangan Arief Wismansyah. Saya tidak menghubungi siapa pun di MK untuk
memenangkannya. Arief itu menang sendiri karena secara hukum memang menang.
”Eh, saya tak pernah mengurus agar Pak Arief menang di MK. Dia itu memang
menang sendiri. Jadi tak perlu berterima kasih kepada saya,” jawab saya kepada
mereka.
Cerita
tentang Arief Wismansyah yang sekarang sudah mapan sebagai wali kota Tangerang
itu bisa menyimpulkan dua hal. Pertama, orang yang beperkara merasa khawatir
kalau dikalahkan karena hubungan-hubungan gelap antara pihak yang beperkara dan
orang-orang MK sehingga mereka akan berusaha juga mencari jalan di luar jalur
sidang resmi.
Jangankan
yang kalah atau penggugat, yang menang pun masih khawatir dikalahkan secara
tidak fair kalau tak punya jalur-jalur khusus ke orang dalam di pengadilan.
Kedua, banyak kasus yang sebenarnya dengan dibaca sekilas saja sudah bisa
disimpulkan akan menang atau kalah. Seperti kasus kemenangan Arief Wismansyah sebagai
walikotaTangerangsejak awal saya yakini akan menang di MK tanpa perlu diurus di
luar sidang karena posisi kasusnya sudah jelas. Nah, di sinilah bisa terjadi
penyalahgunaan oleh orang-orang pengadilan.
Orang-orang
yang sudah pasti menang dihubungi oleh hakim atau oleh orang-orangnya untuk
dimintai uang agar bisa memang, padahal mereka memang sudah menang sendiri.
Itulah yang dalam khazanah perkorupsian disebut sebagai ”teori menembak dari
atas kuda” yakni memeras orang untuk dimenangkan, padahal memang sudah pasti
menang sendiri. Menembak dari atas kuda bisa juga dilakukan setelah ada
putusan, tetapi belum diucapkan di sidang terbuka karena vonis yang harus
dibacakan harus dikonsep dan diteliti bersama-sama lebih dulu.
Biasanya
antara waktu penetapan putusan oleh majelis hakim dan pembacaannya di depan
sidang terbuka ada jarak waktu sampai berhari-hari, bahkan bisa
berminggu-minggu. Penembakan dari atas kuda untuk mengambil untung bisa
dilakukan oleh hakim atau orang-orangnya dalam kurun waktu menunggu pembacaan
vonis itu dengan meminta sejumlah uang agar perkaranya bisa menang, padahal
memang sudah menang sendiri. Dalam melakukan korupsi yang seperti itu seorang
hakim bisa saja melakukannya sendirian tanpa sepengetahuan hakim-hakim lain.
Hakim
yang tidak ikut memeriksa perkara pun secara sendirian bisa mengintip vonis dan
menggorengnya agar menghasilkan suap tanpa sepengetahuan atau melibatkan
hakim-hakim lain. Selain itu, ada juga cara brutal. Hakim korup tidak menembak
dari atas kuda dengan memeras orang yang memang menang sendiri, tetapi sengaja
membalik perkara dengan bayaran tertentu sehingga yang menang jadi kalah dan
yang kalah jadi menang.
Karena
ada hakim-hakim yang seperti itulah, hampir semua orang yang beperkara merasa
takut sehingga sama-sama berusaha menyuap hakim, baik yang dalam posisi kalah
maupun yang dalam posisi menang. Dalam kaitan ini bisa saja banyak hakim lain
yang terlibat melalui persekongkolan untuk memenangkan atau mengalahkan pihak
tertentu karena vonis ditetapkan bersama majelis.
Aparat
penegak hukum seperti KPK wajib membongkar korupsi hakim sampai ke
akar-akarnya, termasuk mengungkap siapa saja hakim-hakim lain yang terlibat. []
KORAN
SINDO, 15 Maret 2014
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum
Konstitusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar