Demokrasi
adalah Prasmanan
Oleh:
Sindhunata
ENCIK Sri
Krishna adalah seorang duda dengan tiga anak. Setelah perceraiannya, setiap
malam ia harus ngemper alias menumpang tidur di rumah sahabatnya, perupa Samuel
Indratma. ”Kita tidak boleh menyerah. Lupakan kepahitan masa lalu. Kita mesti
menatap ke depan dan berbuat sebisanya.”
Kata-kata
Samuel ini dipegang Encik untuk beranjak dari kelam masa lalunya. Encik adalah
pemusik. Ia kemudian mendirikan kelompok band yang dinamai Low Bugdet Acoustic.
Dengan biaya rendah, Encik mulai aktif dengan bandnya. Minggu, 16 Maret lalu,
Encik menampilkan konser berjudul ”Ayo Lawan”bersama Mataraman Swa Orkestra di
gedung kesenian Societet, Taman Budaya Yogyakarta. Encik antara lain menampilkan
lagunya yang berkisah menjalani hidup adalah peristiwa dan bukan sekadar
kata-kata. Bagaikan daun kering yang jatuh di tanah berubah menjadi kesuburan,
demikian pula hidup harus dijalani dengan teguh dan sabar, jangan sampai
disia-siakan. Apabila sedang berada di atas, janganlah merasa paling sempurna.
Manusia itu dekat dengan goda karena itu ia harus selalu ingat dan waspada
bahwa mujur dan malang adalah sandangannya manusia.
Di tengah
pentas, aktor dan penyair Whanny Darmawan membacakan tulisannya ”Surat Cinta
buat Sri Krishna”. Kata Whanny, kebudayaan itu bagaikan puzzle terserak yang
harus dikumpulkan. Suatu negeri mesti berdiri di atas puzzle budaya yang
tertata. Untuk itu, perlu siasat kebudayaan. Siasat kebudayaan itu jangan
dibayangkan muluk-muluk. Hidup yang susah, tetapi dihadapi dengan jujur dan
tabah seperti yang dilakukan Encik Krishna sudah merupakan siasat kebudayaan.
Maka, kata Whanny, ”Jika kamu hanya punya uang Rp 50.000 sementara hidupmu
masih berlangsung beberapa hari ke depan dengan beban seorang duda dengan tiga
anak sekolah, apa yang akan kau lakukan untuk memenuhi kecukupan itu? Jika kamu
bisa melampauinya dengan tanpa mencuri, itulah, kamu telah menempuh jalan
siasat kebudayaan. Intinya, siasat berkebudayaan adalah jalan menuju masa depan
dengan tetap menimbang nilaimu sebagai manusia.”
Bebal
kritik
Konser
Encik tak mungkin terjadi tanpa Folk Mataram Institut (FMI). Sesungguhnya FMI
inilah mesin yang membuat konser malam itu sukses. FMI, yang terbentuk tiga
tahun lalu, adalah tempat seniman Yogyakarta, seperti Ong Hari Wahyu, Samuel
Indratma, Bambang Heras dan Encik Krishna, bergabung untuk menumpahkan
kreativitas mereka.
Seniman-seniman
itu berpendapat, sekarang segala kritik sudah tak mempan. Analisis ilmiah,
karya rupa, karikatur, pertunjukan seni, dan sentilan di televisi sekritis apa
pun sia-sia dan mental dari sasarannya. Dikritik sekeras apa pun penyalahgunaan
kekuasaan, korupsi, politik uang, dan tindakan menyimpang lainnya tetap saja
berjalan. Perilaku kekuasaan dan penguasa bukan hanya kebal, melainkan juga
bebal dan menutup telinga dan hatinya terhadap kritik. Menghadapi kebebalan itu
seni sungguh kebingungan. Untuk menjadi kritis, seni seakan kehabisan simbol,
sinyal, dan inspirasi. Rasanya semua kreativitas seni untuk menyindir,
menggugat, dan melawan sudah dikuras. Toh semua bagaikan memukul udara kosong.
Di tengah
kebebalan, ketulian, kenekatan, dan ketidaktahumaluan kekuasaan ini apa yang
masih bisa dibuat oleh seni? Inilah kegelisahan dan keresahan yang dihadapi
seniman yang tergabung dalam FMI. Untuk mengatasi kegelisahan itu, mereka
menuangkan sebuah konsep: perlawanan atau protes tidak lagi ditujukan kepada
lawan di luar diri, tetapi lawan di dalam diri sendiri. Mengatasi musuh dalam
diri sendiri itu bisa menjadi kreativitas yang menyumbang hidupnya kebudayaan.
”Agar hidup kita tak sekadar buang umur, berbuatlah senekatnya, los setang dan
jangan khawatir. Untuk apa kita khawatir apabila hidup lebih mengkhawatirkan
daripada yang kita sangka?” Itulah kata-kata Samuel yang jadi salah titik
berangkat kelahiran FMI. Kata-kata ini mewakili protes wong cilik yang ingin
lepas dari kekhawatiran hidup yang menindihnya sehari-hari. Hidup yang berat
tak mungkin dihadapi dengan kekhawatiran. Hanya dengan sikap nothing to lose
alias los setang, hidup berat dapat dilawan.
Folk
Mataram Institut (FMI) adalah sebuah nama resmi. Namun, dalam aktivitasnya
sehari-hari, FMI hidup dari semangat pelesetannya, yakni Folk Mletho Indonesia.
Mletho atau meleset adalah jiwa lawakan yang diwariskan pelawak legendaris
Yogya, Basiyo. Dengan pelesetannya, Basiyo terbukti dapat mengajak orang untuk
mendekonstruksi pelbagai kemapanan yang membuat banyak hal mandek. FMI ingin
menghidupi jiwa pelesetan itu bagi gerak kebudayaannya. Maka, semboyannya: tak
ada yang benar, yang benar adalah mletho karena itu makin mletho makin benar.
Untuk itu, mereka mengumpulkan pelbagai kata yang bisa dipelesetkan dan dengan
demikian mempertajam ke-mletho-annya.
Tak hanya
kata, mereka juga sering memelesetkan pelbagai pengertian dan cara berpikir
yang mapan hingga menemukan fakta bahwa ternyata banyak kebenaran bisa digugat
dan ditertawakan. Memakai bahasa kerennya, mletho ini bagaikan suatu cara kerja
filsuf Socrates yang selalu mempertanyakan kebenaran yang diajukan lawan
bicaranya. Tujuannya bukan untuk menyodorkan kebenaran atau keyakinan baru,
melainkan menggoyahkan segala keyakinan dan kebenaran yang palsu. Karena itu,
semakin mletho-nya terasah, semakin orang berani los setang melawan kehidupan
yang sering semu dan palsu dengan pelbagai kebenarannya yang mapan. Dengan
mletho, orang bisa terasah syak wasangkanya, lebih-lebih terhadap kekuasaan,
karena kekuasaan sering bernaluri penindasan. Demikian juga terhadap kesalehan
dan kesucian yang sering bernalurikan kemunafikan. Dengan mletho, orang bahkan
bisa bersyak wasangka terhadap agama dan kereligiusan karena justru dengan
dalih agama dan kereligiusan orang sering terjerumus ke dalam serakah
keduniawian dan kematerialan.
Jelek ya
biar
Transparan
adalah kata yang sudah jelas dengan sendirinya. Namun, toh FMI memelesetkan
transparan itu jadi prasmanan. Buat FMI, transparan belum jelas jika belum
menjadi prasmanan. Maka, lebih daripada transparan, semuanya harus prasmanan.
Misalnya, kekuasaan harus prasmanan. Artinya kekuasaan harus bisa diincipi
semua orang, termasuk kaum duafa. Jika tidak, kekuasaan hanya dicaplok
sekelompok orang. Kekuasaan yang transparan sekalipun tetapi tak prasmanan akan
menjadi kekuasaan egoistis-individualistis dan tak sosial-demokratis.
Sama
halnya dengan agama. Iman dan kebenaran agama bisa saja transparan dan
teologinya masuk akal. Namun, jika tidak prasmanan, iman dan kebenaran agama
hanya tinggal sebagai keabstrakan Ilahi yang tidak bisa dirasakan manfaatnya
bagi dunia yang material dan insani. Iman dan kebenaran agama yang prasmanan
adalah iman dan kebenaran yang mau mewujud menjadi konkret, menjadi pesta
perjamuan di mana setiap orang bisa ikut menikmatinya tanpa memandang ia dari
golongan agama mana. Agama yang prasmanan adalah agama yang sosial bagi
kebutuhan masyarakat, lebih-lebih mereka yang menderita dan membutuhkan.
Secara
tradisional, masyarakat Jawa sering digolongkan menjadi abangan dan santri
tulen alias putihan. FMI tak terlalu tertarik dengan pembagian itu. Mereka
ingin jangan sampai pembagian itu memecah-mecahkan dan membuat kita tidak bisa
tolong menolong dalam kehidupan sosial dan kemandirian hidup berbangsa. Maka,
mereka pun memelesetkan pengertian abangan-putihan itu menjadi ”abang Putih
harga mati, cari makan sendiri enggak pakai mencuri”. Maksudnya, mengapa kita
mesti dikotak-kotakkan jadi abangan dan putihan? Kita, kan, sudah mematok harga
mati, yakni berdiri di bawah bendera Merah Putih, menjadi bangsa yang mandiri
di mana warganya tidak saling mengeksploitasi.
Mandiri
adalah keprihatinan teman-te man FMI. Salah satu aktivisnya, Kumbo, seorang
perupa, mengatakan, produk dalam negeri menjadi anak tiri. Sandang pangan
impor, pendidikan, hiburan, penyakit, obat-obatan, dokter, rumah sakit impor.
Arloji, gadget, sepatu, sampai celana dalam juga impor. Demi kemandirian yang
melawan serba impor itu, FMI mencetuskan pendirian elek yo ben, jelek ya biar.
Mereka mengajak agar kita tidak malu menjadi diri sendiri, memakai barang
buatan sendiri. Kata mereka, ”Mandiri itu enggak pakai ngrepoti, bikin sendiri
jual sendiri.” Untuk itu, di bawah pimpinan Kyai Elek Yo Ben, mereka membentuk
barisan abang-putih bukan sebagai pasukan berani mati, tetapi pasukan berani
malu. Meski lucu-lucu, senyam-senyum, dan cekikikan, mereka tidak perlu malu
asal semuanya itu ditampilkan dan diperjuangkan demi kemandirian. Siapa pun
boleh ikut dalam pasukan berani malu itu asal orang mau andap asoy–pelesetan
dari andhap asor yang artinya rendah hati–sederhana, tidak minder, dan tidak
gengsi-gengsian.
Semua hal
di atas berangkat dari konsep dasar yang disetujui bersama oleh anggota FMI,
yakni selo. Untuk memegang konsep dasar itu, mereka bahkan punya lagu ciptaan
”Urip Kok Selo”. Sepintas selo memang bisa diartikan santai, kosong, dan
menganggur. Namun, bukan pertama-tama pengertian itu yang dimaksudkan oleh FMI.
FMI prihatin akan masyarakat kita yang senantiasa berada dalam tekanan, bahwa
semuanya harus serba cepat demi meraih produktivitas sebanyak-banyaknya. Di
bawah sistem kapitalis ini masyarakat nyaris tak mempunyai waktu bagi dirinya
sendiri. Demi mempertahankan hidupnya, ia harus berproduksi dan berproduksi
lagi. Maklum, norma dasar dari masyarakat kapitalis adalah peningkatan produksi
setinggi-tingginya.
Di bawah
tekanan demikian, energi kreatif orang perorangan dan masyarakat tidaklah dapat
tumbuh dan berkembang. Akhirnya, masyarakat kehilangan ilhamilham kreatif,
lebih-lebih dalam memenuhi kebutuhan rohani dan kulturalnya. Masyarakat kaya
dalam produksi barang-barang, tetapi miskin dalam energi kreatif kebudayaan.
Akibatnya, masyarakat, walau kaya berlimpah, hatinya tak bisa bahagia karena
tak bisa berkembang dalam keseluruhannya. Memang kebudayaan dan kerohanian
hanya bisa berkembang jika kita mau urip selo, jika kita mampu hidup dalam waktu
luang dan meluangkan waktu untuk berefleksi dan memperdalam kekayaan budi dan
hati. Dengan urip selo itu kita juga bisa mengidealkan pencapaian rohani, yang
melewati batas-batas kematerialan hidup kita sehari-hari. Urip selo juga
menyadarkan kita bukan hanya makhluk pekerja, melainkan juga makhluk kreatif
dan makhluk sosial yang mau meluangkan waktu untuk orang lain dalam
kebersamaan.
Ayo lawan
Itu
konsep-konsep kebudayaan perlawanan yang dicetuskan FMI. Konsep-konsep itu tak
hanya didiskusikan, tetapi juga diungkapkan dalam pelbagai aktivitas seni dan
kebudayaan. Terakhir, pentas konser ”Ayo Lawan” Sri Encik Krishna. Konser ini
jelas tak didukung dana kuat. Namun, berkat gotong royong banyak pihak, walau
kecil-kecilan, konser ini bisa berjalan. ”Waktu latihan, teman-teman hanya
makan nasi kucing,” kata perupa Putu Liong Sutawijaya. ”Saya bilang kepada
teman-teman, marilah melawan diri kita sebisa-bisanya. Jangan minder. Yang bisa
musik, ya, mainlah musik. Yang bisa dekorasi, ya, mendekorlah. Yang bisa
memasang poster, ya, memasanglah. Yang tidak bisa apa-apa, hanya keplok saja,
ya, enggak apa-apa,”kata Samuel. Konser ini gratis. Para penonton dipersilakan
membawa sayur-sayuran, buah-buahan, dan palawija untuk ditukarkan dengan tiket
masuk. Malam itu counter tiket dipenuhi kangkung, bayam, salak, rambutan,
jagung, ubi, ketela, kacang-kacangan, dan sebagainya. Ini juga ide mletho FMI.
Uang tak berlaku malam itu.
Malam itu
FMI membuktikan bahwa kecupetan dan kemiskinan bisa dilawan dengan pemberian
diri sebisanya dalam kebersamaan. Konser mereka adalah sebentuk perlawanan yang
mencoba jujur terhadap diri sendiri. Mereka tak mengkritik demokrasi yang
sering disalahgunakan. Mereka menghidupi bahwa demokrasi pada hakikatnya tempat
semua orang, tanpa kecuali, sesederhana dan semiskin apa pun, boleh terlibat
dan dapat melibatkan diri serta boleh memperoleh manfaatnya: demokrasi adalah
sebuah prasmanan. Di akhir konser, kedua anak lelaki Encik Krishna naik ke
panggung. Keduanya tampil amat sederhana dan seadanya membawa setangkai mawar
merah lalu dihaturkan kepada ayahnya. []
KOMPAS,
04 April 2014
Sindhunata ; Wartawan, Pemimpin
Redaksi Majalah Basis, Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar