Tukang
Survei
Oleh: Moh
Mahfud MD
Kekeliruan,
bahkan kesalahan, berbagai hasil survei politik kembali terjadi secara
mengejutkan ketika pada 9 April 2014, sekitar jam 17.00 WIB, hasil quick count
(hitung cepat) pemungutan suara untuk pemilu legislatif (pileg) diumumkan.
Ternyata,
kembali terjadi perbedaan yang tajam antara hasil-hasil survei sebelumnya
dengan hasil hitung cepat seperti yang terjadi pada Pilgub DKI Jakarta pada
2012. Pada Pilgub DKI Jakarta, sampai hari-hari terakhir menjelang pemungutan
suara, hampir semua hasil survei menyebut Foke-Nara sebagai pemenang
signifikan. Tetapi, hasil pilgub membuktikan kesalahan berbagai survei karena
yang menang ternyata Jokowi-Ahok, pasangan calon yang sebelumnya diremehkan
berbagai survei. Pada Pileg 2014 kesalahan-kesalahan hasil survei tampak
mencolok juga.
Partai-partai
berbasis massa Islam yang semula diduga akan terkubur karena merosotnya
kepercayaan masyarakat ternyata meningkat secara mengejutkan dengan kumulasi
perolehan sampai sekitar 31%. Partai Golkar yang semula diunggulkan dengan
kisaran suara 19% ternyata hanya meraih 15%. Perolehan PDIP terpaut signifikan
dari hasil survei maupun targetnya. Kejutan perlawanan hasil hitung cepat
terhadap hasil-hasil survei sebelumnya tampak jelas pula pada beberapa partai.
Partai
NasDem yang oleh banyak survei dilihat secara pesimistis karena untuk mendapat
3,5% saja dianggap susah ternyata mendapat hampir 7%, menyamai partai lama,
Partai Persatuan Pembangunan yang juga mengalami kenaikan sedikit. PKS yang
karena terpaan isu korupsi hanya akan bertahan pas-pasan di dekat parliamentary
threshold, ternyata mampu bertahan di posisinya pada kisaran 7%. PKB pun
meroket secara mengejutkan dari perolehan Pileg 2009 sebesar 4,8% menjadi
sekitar 9,1%.
Padahal
sebelum pileg banyak survei yang selalu meletakkan PKB pada perolehan sekitar
4%, bahkan ada yang tega meletakkan di bawah parliamentary threshold 3,5%. Ada
juga yang memang mendekati hasil survei yakni fakta bahwa PBB dan PKPI
benar-benar tidak masuk ke parliamentary threshold. Begitu pula, meski angkanya
kurang akurat, hasil survei menyatakan bahwa Partai Demokrat akan terjun bebas
sesuai hasil pileg karena terjun dari 20% ke kisaran 9%. Hasil-hasil survei
politik belakangan ini memang banyak yang meleset sehingga tak lagi bisa
dijadikan pegangan sebagai produk kerja ilmiah yang logis dan predictable.
Hasil
survei dan hasil pemilihan yang sesungguhnya kerapkali berbeda secara
mengejutkan. Kalau metodologinya benar, mestinya hasil-hasil survei lebih
banyak benarnya daripada salahnya, bahkan tingkat kesalahannya sudah bisa
diukur sebelumnya oleh metode dan hasil survei itu sendiri yang dibatasi dengan
margin tertentu. Ketika itu ditanyakan kepada pembuat survei, jawaban yang sama
selalu dikemukakan bahwa hasil survei hanya memotret pada saat dilakukan survei
dan bisa berubah pada saat-saat akhir.Ya, juga sih.
Survei
memang potret saat dilakukan wawancara. Tetapi, tentu itu bukan jawaban yang
tepat. Kalau jawabannya hanya begitu, ya tak perlu survei-surveian segala.
Mestinya ada metode agar perbedaan itu tak terjadi dengan sangat mencolok.
Mungkin benar yang dikatakan Dradjad Wibowo, banyak intelektual dan lembaga
survei yang belakangan ini melacurkan diri, tidak melakukan survei dengan
cara-cara profesional-ilmiah sehingga survei lebih banyak melesetnya atau malah
dipelesetkan asal mendapat uang. Sekarang ini banyak lembaga survei yang
mengerjakan survei sudah didahului dengan tendensi politis tertentu.
Bahkan
ada penyurvei yang membawa lembaganya untuk menjadi tim sukses atau konsultan
salah satu kontestan dalam sebuah kontestasi politik. Berusaha seobjektif apa
pun, kalau sudah menjadi tim sukses atau konsultan suatu kontestan, akan
menyebabkan hasil survei tak lagi akurat karena akan diarahkan membentuk dan
menggiring opini untuk menguntungkan kliennya. Waktu saya masih ketua MK, ada
pimpinan lembaga survei yang mengurus perkara kliennya yang diperkarakan di MK.
Luar biasa. Dalam kenyataan kita sering dikagetkan oleh munculnya satu lembaga
survei secara tiba-tiba yang kiprahnya belum pernah terdengar.
Tiba-tiba
lembaga ini memasukkan nama orang yang tadinya ada di luar pusaran tokoh-tokoh
populer menjadi bagian dari tiga atau lima besar. Kemasan metodologinya okey
juga, tetapi substansinya tak masuk akal. Kemasan yang dipergunakan misalnya
menyebut melibatkan 1500 orang di 33 provinsi yang diwawancarai secara langsung
dengan toleransi kesalahan 2% dan berbagai tetek bengek kemasan lainnya. Dari
kemasan yang seakanakan ilmiah itu dimunculkanlah orang yang sebenarnya tidak
masuk dalam survei atau tidak pernah disurvei.
Itulah
sebabnya banyak hasil survei yang tak sesuai hasil pemilihan yang sesungguhnya.
Membaca fakta maraknya penyurvei yang instan dan tak jelas belakangan ini saya
teringat pernyataan Gus Dur pada awal 1990-an bahwa di Indonesia banyak sekali
ilmuwan tukang yakni ilmuwan yang menggunakan kepandaiannya untuk menukangi
temuan ilmiah sesuai pesanan.
Sekarang
pun banyak penyurvei dan lembaga survei yang tidak bekerja pada prinsip
objektivitas-ilmiah, tapi bekerja sesuai pesanan. Mereka menukangi rencana dan
hasil survei agar sesuai keinginannya sendiri atau pesanan klien sehingga lebih
tepat disebut sebagai tukang survei atau ahli menukangi survei. []
KORAN
SINDO, 12 April 2014
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum
Konstitusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar