Di Selo Harapan Baru Itu Terbuka
Senin, 24 Maret 2014
Tiba-tiba saya bisa tahlilan di
Grobogan. Di kuburan seorang tokoh. Tidak saya sangka kalau makam tokoh itu di
dekat kebun kedelai yang saya tinjau Rabu lalu: Ki Ageng Selo.
Itulah
tokoh yang namanya saya pakai untuk mobil listrik generasi kedua Putra Petir:
Selo. Sebuah mobil sport warna kuning yang baru dipamerkan di Universitas Atma
Jaya Jakarta dan juga di Palembang sana. Nama Selo kami ambil karena ada
legenda yang sudah terkenal. Bahwa Ki Ageng Selo punya kemampuan menangkap
petir.
“Benarkah
makamnya di Desa Selo ini?” tanya saya kepada Bupati Grobogan Bambang Pudjiono
yang menyertai saya meninjau kebun kedelai unggul itu. “Saya pikir makamnya di
Jogjakarta,” tambah saya.
Kalau Pak
Bupati tidak menginfokan keberadaan makam ini, tentulah saya tidak akan pernah
bisa “permisi” menggunakan nama beliau untuk mobil listrik kita. “Jangan-jangan
karena belum pernah minta izin itulah sehingga nasib mobil listrik tidak segera
jelas sampai sekarang,” gurau teman saya yang ikut ke Grobogan.
Maka, di
makam Ki Ageng Selo itu, di samping tahlil, saya juga curhat (dalam hati)
mengenai sulitnya prosedur mengurus mobil listrik itu di pemerintah. Padahal,
negara lain sudah kian kencang saja larinya.
Hari itu
saya ke Grobogan untuk dua acara: geropyokan tikus dan meninjau tanaman kedelai
binaan Bank Mandiri. Berita keberhasilan teknik baru geropyokan tikus di
Godean, Jogja, dulu ternyata telah menginspirasi banyak daerah untuk melakukan
hal yang sama.
Maka,
hari itu tim Brigade Hama PT Pupuk Indonesia menyosialisasikan cara-cara baru
tersebut. Dari geropyokan tikus inilah saya menuju Desa Selo. Saya lihat tanaman
kedelainya sudah mulai berbuah. Memang agak aneh di bulan Maret begini bisa
tanam kedelai. Itulah tanaman kedelai di luar musim.
Ini
memang hanya bisa dilakukan di daerah-daerah tertentu. Terutama yang kontur
tanahnya agak tinggi. Sehingga di saat turun hujan tidak akan ada air
menggenang. Pengolahan tanahnya pun sedemikian rupa sehingga air hujan bisa
langsung meninggalkan lokasi.
Promotor
tanaman kedelai ini adalah Adi Widjaya. Dialah putra daerah Grobogan lulusan
Universitas Satya Wacana Salatiga yang memenangi lomba technopreneur Bank
Mandiri.
Mikroba
temuannya telah memenangkan hadiah Rp 1 miliar. Dengan syarat hadiah itu untuk
pengembangan kedelai dengan menggunakan temuannya tersebut.
Adi
berhasil mengumpulkan petani yang mau mencoba teknik dan pupuk yang
ditemukannya. Tentu dengan benih dan pupuk yang diberikan gratis dari uang Rp 1
miliar itu. Total terkumpul sekitar 1.000 hektare tanah yang mau dipakai uji
coba.
Inilah
kedelai unggul yang luar biasa. Dengan menggunakan teknik baru itu, akan bisa
dihasilkan 2,5 ton per hektare. Sekitar dua kali lipat dari produksi kedelai
dengan cara lama.
Kalau
saja semua petani kedelai menggunakan cara ini, kekurangan produksi kedelai
nasional bisa diatasi. Impor kedelai bisa dikurangi secara drastis. Tanaman
kedelai yang saya tinjau itu memang sangat jelas bedanya. Daunnya lebih tebal,
pohonnya lebih tinggi, dan cabang-cabangnya lebih banyak.
Daun yang
tebal itu berfungsi untuk penyerapan sinar matahari yang lebih maksimal. Cabang
yang banyak itu berfungsi untuk menghasilkan buah kedelai yang lebih banyak.
Mengapa
kedelai ini ditanam di luar musim? “Agar hasilnya bisa untuk benih yang akan
ditanam di musim tanam akan datang,” ujar Adi Widjaya yang setelah lulus Satya
Wacana meneruskan kuliah di Australia. “Jadi, tanaman kedelai ini bukan untuk
dikonsumsi, tapi untuk benih,” tambahnya.
Tentu
para petaninya beruntung. Dengan panen di luar musim, harga kedelainya sangat
baik. Apalagi kualitas benihnya.
Maka,
persoalan berikutnya adalah ini: maukah petani di Desa Selo itu menanam kedelai
dengan teknik yang sudah mereka kuasai tersebut tanpa bantuan Bank Mandiri
lagi? “Mauuuuuuu,” jawab para petani itu serentak.
Tentu
saya masih khawatir dengan jawaban tersebut. Jangan-jangan hanya karena ada
saya. Atau karena ada Pak Bupati Bambang Pudjiono. Maka, satu per satu saya
tanya mengapa mereka mau meneruskan sendiri teknik baru itu tanpa bantuan.
“Hasilnya
sudah kelihatan jelas berbeda,” ucap seorang petani yang masih muda. “Kami mau
maju, Pak Menteri,” ujar yang lain.
“Niki
mboten mawi bantuan malih lho. Tetep sanggup?” tanya saya. “Sangguuuuup,” kata
petani serentak.
Saya
tegaskan bahwa Bank Mandiri saya minta tetap memberikan dana, tapi untuk desa
lain. Agar penggunaan teknik baru itu segera meluas. “Mangertooooos,” jawab
mereka.
Memang,
seperti dijelaskan Adi, untuk menerapkan teknik baru itu, biayanya bertambah Rp
500.000 per hektare. Tapi, hasilnya bertambah Rp 3 juta.
Inilah
yang juga saya khawatirkan. Kadang, dengan alasan lagi tidak punya uang, petani
mengorbankan hasil yang maksimal. Karena tidak ada uang, petani pasrah:
menerima saja hasil seadanya.
Itulah
sebabnya, program “yarnen” BUMN (“bayar setelah panen”) harus terus diperluas.
Untuk mengatasi sikap pasrah para petani.
Tentu
tidak hanya untuk kedelai. Saat ini kami juga lagi bicara dengan dua ilmuwan
terkemuka kita yang hasil penemuannya belum dimanfaatkan secara memadai. Itulah
topik Manufacturing Hope minggu depan. (*)
Dahlan
Iskan, Menteri BUMN
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar