Optimisme
Mata Terbuka
Oleh:
Yudi Latif
Mestinya
PDI-P menyambut hasil pemilihan umum legislatif yang baru berlalu dengan
bergairah. Perolehan 19-20 persen, menurut versi hitung cepat, adalah suatu
pencapaian yang berarti.
Publik
sering lupa bahwa perolehan suara Partai Demokrat yang disebut fenomenal dan
penuh ”prasangka” pada Pemilu 2009 angkanya cuma 20,85 persen. Artinya tak
terpaut jauh dari perolehan PDI-P pada pemilu kali ini dengan tambahan bonus
bebas prasangka ”kecurangan”.
Yang
membuatnya kurang bersemangat adalah optimisme berlebihan sejumlah prediksi
pandit politik dan lembaga survei yang tidak berjejak di bumi. Sejak pemilu
Indonesia menganut sistem proporsional terbuka, nyaris mustahil sebuah partai
politik bisa memperoleh suara pada level tiga digit sejauh jumlah partai
peserta pemilu masih lebih dari lima kontestan.
Tidak
linear
Dengan
sistem proporsional terbuka, pertarungan yang berlangsung bukan hanya
antarpartai, melainkan juga antarkandidat legislator. Pada pemilu kali ini, ada
sekitar 6.600 kandidat DPR pusat yang bertarung memperebutkan setiap jengkal
wilayah bukan hanya demi panji kebesaran partainya, melainkan juga bagi harga
dirinya sendiri. Dengan demikian, efek ketokohan pada pusat keagenan citra
partai memang ada pengaruhnya, tetapi tidak bersifat linear. Masih bergantung
pada kerapatan identifikasi tokoh dengan partainya serta pada kemampuan dan
persaingan para kandidat legislator sebagai ritel politik di akar rumput.
Partai
Gerindra lebih berhasil mengonversikan ketokohan Prabowo Subianto menjadi
kekuatan pendulang suara pileg karena proses identifikasi antara Prabowo dan
Partai Gerindra telah berlangsung lama. Partai Gerindra nyaris identik dengan
Prabowo. Bahkan, sejak lama, reklame partai ini, yang tersebar di segala
penjuru negeri, menyatakan, ”Gerindra Menang, Prabowo Presiden”. Boleh dibilang
proses konversi ketokohan Prabowo sebagai kekuatan elektoral hampir mencapai
titik optimumnya. Apabila berhasil maju dalam pemilihan presiden, tantangannya
untuk merengkuh pemilih tambahan lebih berat karena tidak banyak lagi cadangan
daya tariknya sendiri yang masih bisa dieksploitasi. Dengan demikian, faktor
pendampingnya sangat krusial untuk bisa memperluas segmen pemilih.
Pencapaian
penting Partai Kebangkitan Bangsa juga bisa dijelaskan hampir sama. Partai ini
berhasil merebut kembali konstituennya dan sedikit meluaskan segmen pemilih
karena ”kecerdikan” mengeksploitasi kharisma sejumlah tokoh (seperti Rhoma
Irama, Mahfud MD, dan Jusuf Kalla) menjadi kekuatan elektoral. Usaha ini
dilakukan relatif lama sehingga cukup waktu untuk memapankan tokoh-tokoh itu
sebagai ikon partai. Faktor itu ditambah arus masuk pengusaha yang membuat gizi
partai ini sebagai energi politik lebih baik daripada pemilu sebelumnya.
Berbeda
dengan kedua partai tersebut, faktor ketokohan Joko Widodo (Jokowi) di PDI-P
belum berdampak banyak sebagai kekuatan elektoral. Alasannya, karena proses
identifikasi antara PDI-P dan Jokowi masih relatif baru. Untuk waktu yang lama,
partai ini lebih identik dengan Megawati Soekarnoputri. Selain itu, pencalonan
Jokowi sebagai calon presiden dari partai ini juga hanya beberapa pekan sebelum
kampanye terbuka. Harus diingat pula, sebagai partai yang sudah mapan tentu
telah menancapkan stigmanya tersendiri dalam perspektif publik pemilih.
Dengan
kata lain, mengubah citra untuk meraih massa mengambang bagi partai yang sudah
mapan jauh lebih sulit daripada partai baru. Tambahan, tendensi overestimasi
dari komentator politik dan lembaga survei terhadap kekuatan elektoral Jokowi
juga membangunkan partai-partai lain yang merasa terancam. Hal ini mendorong
partai-partai papan tengah lebih gigih bergelut dan ”menghasut” akar rumput
yang secara kumulatif berhasil menaikkan tingkat partisipasi pemilih.
Meski hasilnya
tak seperti diharapkan, dengan optimisme ”mata terbuka”—tidak percaya
berlebihan sehingga menutup mata dari berbagai kelemahan—PDI-P masih menyimpan
cadangan amunisi yang cukup tebal untuk pemilihan umum presiden (pilpres).
Ketokohan Jokowi yang belum dieksploitasi secara optimal pada pileg bisa
dikonversikan menjadi kekuatan elektoral pada pilpres. Caranya dengan
menempatkan Jokowi pada pusat pencitraan partai terbebas dari kesan
bayang-bayang tokoh partai lainnya.
Untuk
mencairkan stigma dalam rangka memperluas segmen pemilih, partai ini juga harus
memasukkan warna-aliran lain ke dalam bangunan kerja sama politik (”koalisi”).
Kerangka ”koalisi” dalam mengusung Jokowi sebagai calon presiden paling tidak
harus memasukkan satu partai berbasis Islam di dalamnya. Dalam kaitan ini,
faktor pemilihan calon wakil presiden menjadi sangat penting.
Di luar
persoalan kemenangan, demi kerukunan negeri dan stabilitas politik, kita
membayangkan setiap bangunan ”koalisi” dalam mengusung calon presiden dan wakil
presiden nanti akan menyertakan aliran-aliran politik yang berbeda di dalamnya.
Aliran-aliran politik yang berbeda ini tentu saja harus dipilih dalam kerangka
platform dan spirit pembangunan yang relatif sama. Dengan demikian,
pemerintahan yang muncul akan dapat mengawinkan dua sayap tujuan bernegara:
memperjuangan negara kekeluargaan dan negara kesejahteraan.
Pelajaran
berharga
Pemilu
kali ini memberikan pelajaran banyak bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.
Pertama, sejumlah besar pemilih di Indonesia cukup rasional untuk bisa
menghukum partai-partai yang dianggap tidak memenuhi janjinya. Dengan demikian,
salah satu tujuan pemilu telah tercapai.
Kedua,
tidak ada partai yang sangat dominan yang bisa memaksakan kehendak. Dengan
demikian, proses negosiasi dan kerja sama sebagai prasyarat demokrasi menemukan
pijakannya.
Ketiga,
ada batas rasional dari politik pencitraan. Gencarnya iklan politik dan terpaan
media masih bisa dinetralisasi oleh nalar kepercayaan publik pada tokoh dan
partai. Keempat, ada batas rasional dari serangan berbasis SARA (suku, agama,
ras, dan antargolongan). Pengaruhnya masih ada, tetapi bisa dinetralisasi oleh
sikap inklusif aktor politik dan rekam jejaknya dalam melayani kepentingan umum
secara berkeadilan.
Pemilu
legislatif kali ini relatif lancar dan damai. Semoga situasi ini terus terjaga
hingga pilpres usai. Betapapun sengitnya persaingan, kemenangan sejati adalah
kemenangan bangsa seluruhnya. Politik tak menghalalkan segala cara demi
kepentingan perorangan dan golongan tertentu dengan mengorbankan kebaikan dan
kebahagiaan hidup bersama. []
KOMPAS,
11 April 2014
Yudi Latif ; Pemikir Kebangsaan dan
Kenegaraan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar