Agama dan
Pemilu
Oleh:
Komaruddin Hidayat
EMOSI dan
keyakinan agama masyarakat Indonesia sangat kental sehingga opini dan pilihan
keberagamaan seseorang akan selalu berpengaruh ketika mengambil keputusan
penting, termasuk dalam peristiwa pemilu legislatif dan pemilihan presiden.
Ketika
seseorang memilih wakil rakyat dan pasangan calon presiden-calon wakil presiden
(capres-cawapres), sangat mungkin muncul pertimbangan afiliasi keagamaan
seseorang. Jangankan di Indonesia yang masyarakatnya dikenal religius, di
Amerikat Serikat yang pemerintahannya sekuler pun pengaruh Protestan masih
sangat kuat dalam setiap pemilu.
Aspirasi
dan emosi keagamaan setidaknya terekspresikan dalam empat domain, yaitu
individual, komunal, kelembagaan, dan negara. Pada domain individual dan
komunal, ekspresi keagamaan di Indonesia masih sangat kuat dan bahkan
berkembang.
Tempat-tempat
ibadah dan pengunjungnya terus bertambah jumlahnya. Namun, pada domain
kelembagaan, terutama lembaga kepartaian, spirit dan identitas keagamaannya
semakin mencair. Tentu saja lembaga partai politik mesti dibedakan dari lembaga
sosial-keagamaan seperti halnya Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama (NU) yang
jelas-jelas karakter dan jati dirinya memang penyebar dan pengayom kehidupan
beragama.
Mencairnya
simbol agama
Ketika
simbol dan ekspresi keagamaan masuk ke wilayah publik, baik partai politik
maupun negara, aspirasi satu agama akan bertemu atau mungkin berbenturan dengan
aspirasi agama lain, mengingat ruang publik adalah ruang bersama yang sangat
plural dan diatur dengan etika dan hukum positif sekalipun bisa saja sumbernya
dari nilai-nilai agama.
Simbol
dan kaidah agama yang dominan pada wilayah pribadi dan komunal ketika memasuki
ruang publik dan negara mesti berkompromi dan taat pada dominasi hukum positif
mengingat Indonesia bukanlah negara agama.
Mencairnya
simbol-simbol agama pada lembaga partai politik disebabkan oleh tiga hal.
Pertama, karena sikap kedewasaan dalam beragama dan berpolitik yang lebih
mengedepankan substansi dan prestasi nyata mengingat ruang publik mestilah
bersifat inklusif sehingga tidak memicu segregasi sosial berdasarkan sentimen
etnis dan agama yang pada urutannya akan memperlemah kohesi bangsa.
Kedua,
berdasarkan kalkulasi politik bahwa lembaga partai politik yang kental dengan
jargon dan simbol agama ternyata selama ini semakin berkurang peminatnya. Oleh
karena itu, akhir-akhir ini banyak partai politik, yang semula eksklusif dengan
ciri keagamaannya, membuka diri bagi pemeluk agama lain dan menonjolkan
semangat nasionalisme dengan harapan akan semakin memikat warga negara lintas
etnis dan agama.
Ketiga,
partai politik tidak perlu menonjolkan ciri keagamaan secara eksklusif
mengingat negara Indonesia menganut falsafah dan ideologi Pancasila yang
menempatkan ketuhanan pada sila pertama.
Sampai
hari ini, siapa pun yang terpilih menjadi presiden, apa pun asal partai politik
dan etnisnya, pasti seorang Muslim yang juga setia pada Pancasila. Dengan
demikian, tuntutan pada komitmen keberislaman seorang pemimpin dan politisi
bukan terletak pada penampilan formal-simbolis keislamannya, tetapi lebih pada
kualitas kepemimpinannya dan karya nyatanya dalam memajukan bangsa dan melayani
rakyat.
Dalam
kaitan ini, ekspresi dan komitmen keagamaan seseorang pada ranah publik dan
negara diharapkan lebih substantif, fungsional, dan kontributif bagi
upaya-upaya mencerdaskan dan menyejahterakan rakyat. Adapun wacana keagamaan
yang bersifat normatif-eskatologis biarlah itu bergerak pada wilayah
individual-komunal.
Ruang
publik dan jabatan kenegaraan yang diperebutkan banyak partai politik lebih
memerlukan kualitas dan otoritas yang menjamin kesuksesan seseorang dalam
melayani rakyat ketimbang simbol-simbol primordialisme etnis dan agama.
Pernyataan ini tidak berarti anti agama dan mendukung paham sekularisme dalam
sistem kepartaian di Indonesia, tetapi hanya ingin menekankan bahwa ekspresi
keagamaan dalam ruang publik dan komunal itu berbeda.
Oleh
karena itu, menjadi krusial ketika partai politik dan ormas keagamaan merebut
ruang publik dengan mengedepankan semangat komunalisme keagamaan sehingga
merusak kohesi dan kerukunan sosial yang dijaga dengan semangat Bhinneka
Tunggal Ika.
Kepentingan
bangsa
Tidak
bisa dimungkiri bahwa banyak tokoh dan parpol yang berusaha menjaring dukungan
massa selama masa kampanye dengan melekatkan jargon dan identitas keagamaan.
Namun, ketika mereka telah masuk wilayah pemerintahan serta jabatan publik,
loyalitas, dan etika yang mesti dikedepankan, hendaknya bersifat inklusif
dengan menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan agama dan
kelompoknya.
Mereka
mesti mampu membuktikan bahwa penghayatan dan komitmen keberagamaannya justru
memperkuat agenda bangsa dan negara demi melindungi dan menyejahterakan rakyat.
Spirit dan nilai-nilai ini telah dicontohkan oleh para pendiri bangsa, apa pun
agama dan etnis mereka.
Sejauh
ini sebagai warga negara, saya merasa bangga bangsa ini mampu melewati tikungan
terjal yang mengancam keutuhan Indonesia. Proses demokratisasi berjalan dengan
damai meskipun ongkosnya terlalu mahal.
Banyak
politisi dan birokrat yang diharapkan mengawal proses demokratisasi dan
reformasi untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan efektif, justru mabuk
kekuasaan dan jabatan.
Mereka
telah mengubah konsep harga diri yang berdasarkan integritas dan kompetensi
menjadi konsep yang dangkal, yaitu formula wani piro? Kamu berani membayar
berapa? []
KOMPAS,
25 Maret 2014
Komaruddin Hidayat ; Rektor UIN
Syarif Hidayatullah, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar