Korup
yang Sopan Tidak Sopan
Oleh:
Mohamad Sobary
Kelihatannya
para ahli politik tidak memiliki catatan khusus mengenai fenomena politik dalam
pemilu tahun ini. Tidak ada yang meramalkan bakal datang calon-calon presiden
yang sama sekali tak terduga.
Juga
tidak ada catatan khusus yang menyatakan bahwa dalam pemilu ini warna lama
masih tetap dominan. Bahkan tidak ada juga catatan khusus para ahli politik
mengenai bagaimana akan jadinya nasib para calon yang sudah pernah ”nyalon” dan
tetap ”nyalon” lagi. Sikap para pemilih yang sebetulnya sudah bosan memilih
juga tidak menjadi perhatian khusus mereka. Apalagi sikap para pemilih muda
yang dalam pemilu tahun ini akan memilih untuk pertama kalinya dan mereka tidak
tahu apa-apa mengenai siapa yang bakal dipilih.
Fenomena
mengenai pemilih yang tidak tahu menahu siapa yang bakal dipilih kelihatannya
bukan sesuatu yang aneh. Banyak pemilih yang tak tahu sama sekali siapa
sebaiknya yang harus dipilih. Sebaliknya, banyak pula pemilih yang telah
memilih, tapi tak tahu menahu latar belakang tokoh yang dipilihnya. Memilih
calon pemimpin kelihatannya tak semudah memilih calon mertua. Ahli politik
tidak memiliki catatan mengenai situasi politik yang tak terduga seperti
sekarang ini.
Para
pemilih lama yang sudah berkali-kali memberikan suara mereka dalam pemilu
kehilangan selera memilih karena mereka juga tidak tahu yang mana pilihan
terbaik untuk kepentingan bangsa dan negara kalau calon terbaiknya tidak ada.
Bosan memilih merupakan ”apatisme kritis” yang tak diperhatikan oleh pihak mana
pun. Mungkin memang tidak ada pihak yang memiliki kompetensi khusus, dan yang
bisa dipercaya oleh mereka yang sudah apatis itu, yang berhak tampil untuk
menata jiwa masyarakat agar mereka bersemangat memilih.
Di
mana-mana di kalangan ”aparat penegak pemilu” orang berkata bahwa setiap warga
negara harus memilih. Berikan suara dan turutlah menentukan kebijakan publik.
Turut memilih dianggap sikap yang paling bertanggung jawab. Bertanggung jawab
kepada siapa? Bagaimana kalau turut memilih hanya berarti turut memperkuat
kecenderungan menyimpang yang sudah melekat di dalam jiwa para tokoh yang
dipilih?
Tidakkah
yang begini ini lalu berarti bahwa turut memilih dengan segenap tanggung jawab
tadi justru hanya berarti memperkuat keburukan demi keburukan di dalam
masyarakat? Bukankah ini berarti bahwa turut memilih dengan segenap rasa
tanggung jawab seperti disebut tadi ternyata malah berarti turut merusak
kehidupan masyarakat? Kata orang tua, ”nasi memang telah menjadi bubur”, tapi
pengalaman masa lalu ketika kita memilih tokoh, memilih partai, dan membuat
mereka menang tidakkah itu patut dijadikan pelajaran politik yang berharga?
Sesal kemudian tidak berguna.
Begitu
kata pepatah. Tapi, ”menyesali pilihan kita” yang membuat partai dan
orang-orang yang kita pilih korup besar- besaran juga tidak berguna? Partai dan
orang-orangnya yang dulu kita pilih yang selama lima tahun tak berbuat sesuatu
yang berarti dan korup secara mencolok dan membikin hidup rakyat makin susah
tak boleh disesali? Siapa bilang hal ini tak berguna kalau kita menyesal dan
kemudian kita tak bakal memilih mereka lagi? Bagaimana kalau penyesalan itu
menjadi tindakan politik untuk menjauhi mereka, tak mau memilih mereka, dan
kita menjadi apatis terhadap apa yang sekarang ada?
Apakah
”apatisme kritis” yang dibangun di atas landasan pengalaman buruk, atas rasa
kecewa, dan kemudian mengambil tindakan berupa menarik kembali ”trust” politik
kita pada mereka, bukan suatu sikap politik yang sehat wal afiat? Siapa yang
menyatakan tidak? Kemunculan para calon, yang jelas tampak semata ”mencari
pekerjaan”, membikin kita makin muak terhadap pemilu. Di dalam daftar calon
anggota legislatif (caleg), yang terbuang dari bidang masing-masing, lalu masuk
parlemen, apa gunanya orang-orang macam itu? Kompetensi nol. Pengalaman nol.
Wawasan
nol. Sikap nol. Buat apa kita pilih calon-calon seperti ini. Mengapa kita tak
harus apatis secara kritis melihat perkembangan keadaan yang makin hari makin
buruk? Kita mencari dan berharap akan tampilnya tokoh-tokoh yang menawarkan
solusi bagi kehidupan bangsa. Kita menanti para pemimpin yang bakal mampu
memimpin bangsa yang tidak serakah, tidak mata duitan, dan tidak menyimpang
dari kebijakan. Kita ingin pemimpin yang memimpin dengan baik. Bukan orang
biasa yang sebentarsebentar menangis, menyanyi, dan menangis.
Politik
kita bukan film India. Di film India menangis, menyanyi, dan menangis dianggap
baik. Tapi, dalam politik kita itu barang buruk yang harus kita jauhi.
Psikologi politik kita menggambarkan jiwa yang terluka. Kita kecewa. Kita
marah. Kita muak. Kemudian kita menyusun kesadaran politik, menjadi pengetahuan
politik yang baik: kelembutan yang korup bukan lagi kelembutan. Dia merupakan
kekerasan. Kesopanan yang korup bukan kesopanan lagi. Dia merupakan watak munafik
dan serakah yang tak bisa kita biarkan. Kita kecewa. Bahkan sangat kecewa.
Kita
marah. Mungkin hingga ke puncak kemarahan yang tak kita ketahui berapa
tingginya. Kebijakan demi kebijakan hanya melahirkan kata-kata, tapi bukan
sabda agung yang bakal diikuti tindakan nyata. Tiba-tiba masa untuk memilih
sudah ada di depan mata. Lalu, kita tak berselera memilih agar kita tak tertipu
untuk kesekian kalinya. Apa yang mau dipilih dalam kondisi ketiadaan pilihan
macam ini? Kita tak peduli tokoh-tokoh pilihan kita yang kita beri kepercayaan
mengendalikan jalannya pemerintahan itu lembut sekali seperti Arjuna atau
kurang lembut dan wataknya lebih mirip saudagar burung di Pasar Burung Jalan
Pramuka.
Lembut
dan tidak lembut di sini tidak menjadi faktor penting. Meskipun begitu, kalau
sikapnya jelas brangasan, seruduk-seruduk menabrak sana menabrak sini, itu
jelas buruk. Ukuran moral seperti ini agak konyol. Kita membutuhkan pemimpin
yang bisa mengisi kehausan masyarakat akan kepemimpinan yang layak menjadi
panutan yang patut kita dengar suaranya, kita ikuti langkahnya, dan kita
percayai bahwa dengan kepemimpinannya persoalan mendasar yang kita hadapi akan
kita selesaikan.
Kita
tidak ingin ruwet seperti ini. Kita merindukan pemimpin yang sejak di dalam
pikirannya sudah bersih, tidak menyimpang, tidak serong, dan tidak menipu.
Kebijakan publik tidak boleh dibangun di atas landasan kebohongan semata demi
kepentingan politik-ekonomi pribadinya sendiri. Kebijakan publik ya kebijakan
publik: dia terbuka untuk dikoreksi secara publik dan diabadikan demi
kepentingan publik, di dalam situasi politik yang begini rusuh. Mana makna
keterbukaan?
Mana
kebijakan antikorupsi yang didengung-dengungkan seperti suara lebah yang
bising, tapi isinya malah sebaliknya: korup, korup, korup di manamana. Mengapa
pemimpin tidak malu? Mengapa kehancuran seperti ini tak membuat para tokoh
terpukul? Mengapa kebohongan masih dipertahankan? Bohong secara lembut dan
halus, sehalus karpet istana, tetap bohong. Kebusukan, biarpun lembut, tetap
berbau. Namanya bau kebusukan yang lembut. Korup, menyimpang, selingkuh, atau serong
dari konstitusi dan aspirasi rakyat, biarpun sopan, tetap korup.
Korup
yang sopan sekali pun namanya masih korup dan akan tetap masih korup. Korup
yang sopan dikutuk rakyat biasa, dikutuk kaum rohaniwan, dan disumpahserapahi
di mana-mana. Apalagi di mata KPK karena korup, biarpun dilakukan secara sopan,
tetap tidak sopan. []
KORAN
SINDO, 07 April 2014
Mohamad Sobary ; Esais, Anggota
Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan
Promosi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar