Pondok Pesantren Salafiyah Kajen, Margoyoso,
Pati – Jawa Tengah
Pada sekitar tahun 1900 bentuk pesantren di
Kajen mulai berbentuk klasikal atau dapat dikata mulai tertata rapi meski belum
berwujud madrasah/sekolah. Adalah KH. Nawawi putra KH. Abdullah yang
memprakarsai berdirinya Pondok Kulon Banon yang dikemudian hari bernama Taman
Pendidikan Islam Indonesia (TPII). Selang dua tahun di susul oleh KH. Siroj,
putra KH. Ishaq juga mendirikan Pondok Wetan Banon yang dikemudia hari bernama
Salafiyah.
Penamaan Kulon dan Wetan Banon ini
disandarkan pada letak posisinya dari makam Kanjengan, makan dekat pesarean
Syekh Mutamakkin yang diyakini makam para ningrat Pati. Keberadaan makam itu
yang dikelilingi tembok besar (Banon) menjadikan kompas bagi masyrakat Kajen
untuk menyebut pesantren yang berdiri hampir bersamaan itu.
Baru sekitar delapan tahun (1910), KH.
Abdussalam (Mbah Salam), saudara KH. Nawawi mendirikan pondok di bagian paling
Ujung Barat desa Kajen, dan dinamakan Pondok Pesantren Polgarut yang dikemudian
hari bermama Pondok Pesantren Maslakul Huda Polgarut Utara (PMH Putra). Ketiga
pesantren di atas boleh dikata awal kebangkitan pesantren di Kajen yang
kemudian baru muncul pesantren-pesantren kecil lain yang jika ditelusuri tidak
terlepas dari ikatan keluarga dengan ketiga bani tersebut. Bahkan masyarakat
meyakini bahwa ketiga ulama tersebutlah yang kemudian menjadi panutan di desa
Kajen.
Pradjarta Dirdjosanjoto pernah melakukan
penelitian tentang perkembangan Islam di sekitar wilayah Tayu, menganggap bahwa
keturunan ketiga bani (Bani Siroj, Bani Nawawi dan Bani Salam) tersebut yang
kini mempunyai pengaruh besar di desa Kajen. Embrio Pondok Kajen Wetan Banon
yang berdiri tahun 1902 merupakan bentuk kepedulian KH. Siroj untuk meneruskan
perjuangan Syekh Mutamakkin dalam menegakkan kebenaran agama Allah.
Pada masanya, karena beliau sebelumnya
seorang saudagar kaya raya, maka tak mudah untuk mendirikan beberapa pondokan
dan satu musholla. Musholla di depan rumahnya merupakan tempat pada mana orang
menimba ilmu dari beliau. Tempatnya yang pinggir jalan persis membuat orangmudah
mengenalnya. Disertai dengan bangunan besar dari kayu di seberang jalan, KH.
Siroj memulai pengajian-pengajian tentang keagamaan dan kemasyarakatan. Dengan
kelebihannya yang mendapatkan ilmu ladunni, para santrinya pun semakin hari
semakin bertambah. Inilah awal yang baik bagi Yayasan Salafiyah yang disertai
dengan keikhlasan dan kebersahajaan pendirinya. Semoga benih yang telah ditanam
KH. Siroj ini betul-betul dirawat oleh keturunannya secara benar dan amanah.
Kemajuan Pesantren Wetan Banon yang cukup
pesat tidak dapat dipisahkan dari kepribadian KH. Siroj yang merupakan ulama
dan ilmuwan ternama. Para murid senior yang juga keluarga dekatnya, mendapat
kesempatan untuk membantu mengelola pesantren dan mempunyai andil dalam
kemajuan pesantren. Para santri tertarik dengan sistem pengajaran yang
diberikan olehnya. Dapat dilihat muridnya seperti KH. Bisri Syamsuri yang
menjadi ulama besar di Denanyar Jombang, atau KH. Hambali yang menjadi tokoh
terkemuka di Waturoyo. Pondok Wetan Banon ini dipegang oleh KH. Siroj selama 26
tahun dalam kondisi ketegangan politik oleh kolonial Belanda.
Sepeninggalan KH. Siroj pada tahun 1928,
Pondok Wetan Banon ini diasuh oleh putranya, KH. Baedlowie dan KH.Hambali.
Tepatnya pada tanggal 1 Januari 1935 barulah duet kepemimpinan ini membuka
Madrasah yang dinamakan Madrasah Salafiyah. Madrasah ini dibangun tiga tahun
setelah Madrasah Matholiul Falah yang dirikan oleh KH. Thohir, KH Durri, KH.
Mahfudz dan KH. Abdullah Salam dari Kajen Kulon Banon dan Pol garut. Madrasah
Salafiyah dibangun di samping rumah dan pondok Wetan Banon bagian timur yang
kebetulan KH. Siroj memberikan tanah itu untuk dikelola oleh KH Baedlowie. Saat
Salafiyah dipegang oleh sosok kharismatik KH Hambali dan KH Baedlowi, Madrasah
sebagai pelengkap dari pengajaran agama di pesantren tersebut tampak pola-pola
pengelolaannya yang masih digarap secara individual.
Penamaan Salafiyah ini akhirnya lebih kentara
dan dikenal oleh khalayak ramai untuk pesantrennya juga. Makanya masyrakat
kemudian menyebut Madrasah Salafiyah tidak lepas dari Pondoknya, yaitu Pondok
Wetan Banon yang kemudian entah mulai kapan berganti dengan Pondok Salafiyah.
Hanya sekitar enam tahun madrasah ini melakukan aktifitasnya, namun sejak masa
pendudukan fasis militer Jepang (1942) madrasah ditutup sementara. Kajen
menjadi tempat yang diawasi secara ketat. Beberapa pengelola Madrasah Salafiyah
ikut terjun ke kancah politik perjuangan, seperti ke Hisbullah atau menangani
keagamaan di Pemerintah (sekarang DEPAG).
Peristiwa ini mengakibatkan banyak warga pria
Kajen meninggalkan desanya untuk mencari suaka, dan ikut terjun memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia, tak ketinggalan KH. Hambali. KH. Hambali pergi ke rumah
mertuanya di Bareng Jekulo Kudus. Dan disana pada tahun 1955, KH. Hambali juga membuka
madrasah dan pesantren baru yang juga dinamakan Salafiyah. Setelah situasi
tanah air mengijinkan pada tahun 1945 madrasah Salafiyah Kajen dibuka kembali,
di bawah asuhan KH Baedlowie dengan dibantu H. Hamzawie dan angkatan mudanya.
Pada tahun 1948 berkat ketekunan dari pengelola madrasah Salafiyah sudah
mendapat pengakuan dari pemerintah. Bahkan pada tahun 1950, Salafiyah
mendapatkan subsidi pemerintah yang berupa tenaga pengajar dan alat-alat
sekolah.
Pada masa ini gedung Madrasah Salafiyah baru
tiga lokal di samping barat kediaman KH. Baedlowie dan beberapa lokal di depan
rumahnya. Kemampuan KH. Baedlowie mengajak angkatan muda dan santri-santrinya
yang dianggap mumpuni untuk ikut bergabung cukup memadai sampai metode klasikal
dan tradisi diskusi/musyawarah diterapkan.
Para santri begitu tekun dan merasa cocok
dengan metode seperti ini. Sehingga semakin banyak siswa yang belajar di
madrasah Salafiyah. Dalam hal pelaksanaannya, KH. Baedlowie menyerahkan
pengelolaan Madrasah Salafiyah kepada KH Muzayyin Hadi. Dengan kemampuan KH.
Muzayyin Hadi ini tampak adanya bentuk kerangka keorganisasian yang bagus. Atas
perkembangan yang baik ini pada tahun 1956 dibukalah kelas tingkat Tsanawiyah
tiga tahun, dan pada tahun 1958 madrasah Salafiyah mendapat PIAGAM (Pengakuan
wajib belajar) dari pemerintah/Departemen Agama Republik Indonesia).
Pada sekitar tahun 1960, atas usulan para
generasi mudanya, pesantren ini dinamakan Taman Pendidikan Tamrinul Huda
(TPTH), namun tak begitu lama atas kesepakatan keluarga namanya dirubah kembali
ke semula, yaitu Pesantren Salafiyah. Perubahan nama itu tidak mempengaruhi
proses pertumbuhan madrasahnya. KH. Muzayyin Hadi tetap berkiprah sampai ia
non-aktif. Dan kepengurusan dipegang oleh keponakan KH. Baedlowi yang telah
menjadi sarjana muda yaitu H. Hadziq Siroj, BA, putra KH. Abdul Kohar. Ia
melakukan pembenahan sistem keorganasiasian, tata kerja, administrasi dan mata
pelajaran.
Pada tahun 1968, Madrasah Salafiyah mampu
mendirikan tingkat Aliyah tiga tahun dan tiga tahun kemudian yaitu tahun 1971
tingkat muallimat enam tahun di buka untuk perempuan yang ingin sekolah di
madrasah Salafiyah. Pada kepengurusan Hadziq Siroj, keorganisasian Pelajar
salafiyah mulai dibentuk dengan nama Persatuan Pelajar Salafiyah (PPS).
Namun pada tahun 1973, kesibukan Hadziq Siroj
di badan legislatif Daerah Pati meningkat, hingga kepengurusan pun diserahkan
kepada Muwaffaq Noor. Perubahan ke arah perbaikan itu semakin tampak jelas saat
kepemimpinannya dipegang Muawwaq Noor, menantu KH. Abdul Wahab (1973-1979).
Pada kepengurusannya Madrasah Salafiyah menerima surat akte Pengesahan
Perguruan Agama Islam dari pemerintah pada tahun 1975 nomor : K/127/III/75.
Organisasi Siswa yang bernama PPS (Persatuan Pelajar Salafiyah) kemudian
seiring perkembangan diubah menjadi KPS-KPPS (Keluarga Pelajar
Salafiyah-Keluarga Pelajar Putri Salafiyah).
Wadah ini merupakan alternatif yang apik bagi
siswa-siswi yang mau mengembangkan kreatifitasnya. Menyadari hal itu Muwaffaq
Noor dengan dibantu Mas’udi mengadakan penataran leadership selama sepekan
pada setiap kepengurusan. Hasilnya sungguh luar biaa, bursa-bursa calon ramai
dengan kampanye sepekan sebelum pemilihan. Hal itu menunjukkan sifat kompetitif
di antara siswa. Pada era ini pula, tampak pelebaran sayap ke berbagai kegiatan
dan drama. Antara lain pertukaran pelajar, pengembangan bahasa Arab dan bahasa
Inggris, serta daya apresiasi seni yang mengantarkan Salafiyah ke kancah
PORSENI se-eks Karisedanan Pati. Namun kekhasan di madrasah ini yang juga
kekhasan madrasah di Kajen adalah adanya testing Baca Kitab ketika akan
menyelesaikan studinya.
Kitab yang ditestingkan adalah Fiqh tahrir
dan Hadis Bulughul Marom. Tak ketinggalan tingkat tsanawinya. Mengenai
pelaksanaan pengajian di pesantrennya, tetap berjalan seperti biasa dengan
metode bandongan, sorogan yang dipandang masih efektif. Karena kondisi KH.
Baedlowie sakit parah, maka pengelolaannya pesantren dilakukan oleh KH.
Faqihuddin, putra KH. Baedlowie. Dengan dibantu oleh saudara-saudaranya dan
santri senior, santri yang berdatangan juga semakin meningkat. Hingga harus
membangun gedung di depan rumah KH. Faqihuddin untuk menambah daya tampung
santri.
Proses pengajaran di pesantren pada saat ini
dipandang berjalan seiring dan saling melengkapi dengan kurikulum yang
diajarkan di madrasah. Berbeda dengan tahap-tahap metamorfosis sebelumnya,
ketika kepemimpinan madrasah kembali ke tangan H. Hadziq Siroj (1980-1997),
peningkatan mutu dan sistem yang ditampilkan sungguh mencolok. Sekitar tahun
1982 dibentuk tim drumband yang di kemudian hari mengharumkan Salafiyah.
Mulai saat itu pula sistem pendidikan di
Salafiyah terkait dengan sistem pendidikan pemerintah. Sebagai manifestasinya
adalah dengan adanya persamaan ujian dan pengambilan jurusan. Dalam hal
pengambilan jurusan, Salafiyah mengalami lika-liku dan proses yang panjang.
Pertama kali Salafiyah mengikuti persamaan ujian tahu 80-an dan mengambil
jurusan IPS. Semula induknya di Boyolali, Solo namun kemudian dialihkan Kanwil
(DEPAG) ke Semarang. Pada era 80-an ini Madrasah Salafiyah dapat dikatakan masa
bangkitya. Madrasah Salafiyah mempunyai siswa yang boleh dikata kuantitasnya
dan kualitasnya terbaik di data statistik Semarang. Meski pada tahun 1980
kondisi KH. Baedlowie sedang sakit parah, tidak menghalangi perjuangan beliau
untuk berjuang lewat jalur pendidikan. Dalam kondisi terbaring, KH. Baedlowie
menganjurkan untuk memperluas spektrum ruang gerak Salafiyah. Pada tanggal 2
Pebruari 1981, lembaga tersebut dijadikan Yayasan yang diberi nama Yayasan
Assalafiyah kedudukan tetap berpusat di desa Kajen Margoyoso Pati. Namun di
tengah alur yang semakin membaik ini, datanglah sebuah berita duka pada subuh
hari Jum’at Pahing tanggal 3 Ramadhan 1402/25 Juni 1982 tentang wafatnya KH
Baedlowi
Untuk pertama kalinya, Yayasan ini diketuai
oleh KH. Faqihuddin yang juga menjadi pengasuh Pesantren Salafiyah. Untuk
sekertarisnya dipegang saudara sepupunya, K. Masruhin dengan dibantu oleh
saudara-saudara yang lain baik dari keturunan KH. Abdul Kohar, KH. Baidlowie
maupun Nyai. Hj. Fathimah. Masa kepngurusannya hingga kini belum juga diadakan
restrukturisasi meskipun ada beberapa personil yang sudah meninggal dunia. Pada
era ini, Madrasah Salafiyah tetap melaju pesat. Penambahan-penambahan gedung
tak dapat dielakkan lagi. Ada 18 Lokal untuk proses belajar mengajar. Untuk
pelajar putra masuk pagi sedangkan pelajar putri masuk siang.
Namun, pada era ini pihak pemerintah
mengeluarkan kebijakan baru mengenai jurusan untul Madrasah tingkat Aliyah.
Dengan beberapa konsideran dan pertimbangan yang matang oleh para dewan guru,
Madrasah Salafiyah mengganti jurusan IPS menjadi jurusan Agama. Pergantian ini
terjadi pada tahun 1987. Siswa pada masa ini sudah mencapai 2000 orang dan
kebanyakan berasal dari daerah Pati dan selebihnya dari kabupaten tetangga.
Namun setelah delapan periode berlangsung, kebijakan pemerintah pusat menghapus
jurusan agama jikalau tidak memenuhi syarat. Jurusan agama atau yang dsiebut
MAK (Madrasah Aliyah Keagamaan) hanya dilanjutkan jika memenuhi dua syarat,
yaitu siswa-siswinya harus diasramakan dan harus ada tutor, tiap sepuluh anak
memiliki satu tutor. Menimbang dua syarat tersebut tidak bisa dipenuhi maka
Salafiyah memutuskan untuk membubarkan jurusan Agama dan mulai tahun 1994/1995
untuk kelas satu menjadi MAN (Madrasah Aliyah Negeri) dengan pilihan jurusan
Sosial. Dan setahun kemudian dicoba membuka satu kelas MAK (Madrasah Aliyah
Keagamaan), namun baru berjalan setahun ternyata kurang mampu untuk mengimbangi
kurikulum yang ada. Hingga akhirnya dileburkan kembali dalam jurusan Sosial.
Pilihan ini tetap berjalan sampai sekarang (2001). Seputar penghapusan jurusan
agama dan peralihannya ke jurusan IPS sebenarnya menjadi perbincangan sendiri.
Para pengajar dan pengurus Yayasan
Assalafiyah memberikan respons yang berbeda. Seperti pendapat Sholihul Hadi,
Wali Aliyah, yang mengatakan bahwa peralihan jurusan tersebut akan mendatakan
kesulitan baru bagi Salafuyah yakni kesulitan mendapatkan tenaga guru untuk
jurusan IPS. Hal senada juga dikemukakan oleh HA, Soleh Ibrahim. Menurutnya,
posisi Salafiyah saat ini cenderung menurun untuk bertindak dan bergerak yang
lebih hati-hati. Karena diakuinya bahwa menciptakan bentuk pertimbangan antara
ilmu agama dan ilmu dunia sangatlah rumit. Namun secara optimis, KH Ali Ajib
Baedlowi mengatakan bahwa peralihan jurusan agama ke jurusan IPS tidak perlu
dirisaukan karena Salafiyah mendapat peluang besar dalam mencapai idealismenya
untuk menelorkan generasi paripurna akseleratif pada tuntutan eranya, mampu
menjadikan seniman strategi yang layak tampil di masyarakat.
Di astu sisi, generasi paripurna tersebut
berperan sebagai cerdik cendekia yang ikut ambil bagian dalam penggarapan sains
dan tehnologi dunia, memegang kendali laju IPTEK dan di sisi lain (sekaligus)
sebagai ulama-ulama religius yang turut serta memberi corak keagamaan dalam
dunia IPTEK, menanamkan unsur-unsur religi ke alam berbagai bidang tehnologi
dan menjadi sosok pengayom masyarakat sehingga lengkaplah mereka berperan
sebagai Khalifah fil ardhi. Menanggapi hal itu, KH. Muhibbi mengemukakan
beberapa hal yang diperlukan agar tercipta siswa-siswi yang sesuai dengan
krteria KH Ali Ajib, yaitu kegetolah guru dalam menyampaikan materi, kesadaran
dan kesungguhan siswa menerima materi dan kecintaan siswa terhadap materi.
Alamat:
Jalan Salafiyah, Desa Kajen, Kecamatan
Margoyoso, Kabupaten Pati – Jawa Tengah 59154
Pengasuh:
KH. Siraj Ishaq, KH Baidlowie Siraj, KH.
Faqihudin Baidlowi, KH. Ali Ajib Baidlowi, KH. Asmui Hasan, KH Ubaidillah
Wahab.
[]
Penulis: H. Kamaluddindonesia Weoengepeatei
Tidak ada komentar:
Posting Komentar