Keteladanan
Pancasila
Oleh:
Yudi Latif
BERTEMPAT
di Gedung Nusantara IV DPR/MPR, Jumat (21/3), penulis meluncurkan buku terbaru,
Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan (Mizan, 2014).
Buku
tersebut ditulis sebagai respons terhadap keluhan panjang dan luas mengenai
krisis keteladanan. Banyak orang meratapi ketiadaan panutan di tengah
masyarakat sebagai mercusuar di kegelapan.
Namun,
kita melihat kenyataan lain. Betapapun Nabi Muhammad, Isa Almasih (Yesus
Kristus), dan Sidharta Gautama telah tiada ratusan tahun lamanya, perangai
mereka terus diteladani hingga kini, tak lekang oleh waktu. Mengapa demikian?
Sebab, suri teladan mereka terus dikisahkan.
Sejauh
ini, kita gagal mentransmisikan kisah keteladanan para ”pahlawan” bangsa, baik
yang sudah meninggal maupun yang masih hidup. Pelajaran sejarah menyempit
menjadi sejarah (tahun) peperangan dan
silsilah
kerajaan, tidak membantu menemukan mutiara ”pesan moral” yang terpendam dalam
lumpur sang waktu. Pelajaran moral Pancasila diajarkan lewat butir-butir
hafalan yang menjemukan, kehilangan impresi yang bisa menggugah nurani.
Dengan
demikian, kita mengalami kemiskinan wahana untuk mencetak nilai-nilai luhur
bangsa yang diidamkan menjadi karakter bangsa. Istilah karakter berasal dari
bahasa Yunani/Latin, kharassein/kharaktêr, yang berarti ’tulisan, lukisan,
cetakan, atau pahatan’. Singkat kata, karakter adalah lukisan sang jiwa; ia
adalah cetakan dasar kepribadian seseorang/sekelompok orang, yang terkait
dengan kualitas-kualitas moral, integritas, ketegaran, serta kekhasan potensi
dan kapasitasnya sebagai hasil dari suatu proses pembudayaan dan pelaziman.
Cara
mencetak nilai menjadi karakter tidak cukup diajarkan lewat hafalan. Dalam
peribahasa Inggris dikatakan, Moral is not taught but caught. Pendidikan
karakter sering kali diintroduksikan ke dalam kelas dan kehidupan publik lewat
contoh-contoh keteladanan dan kepahlawanan. Siswa dan masyarakat memeriksa
sifat-sifat karakter yang menjelma dalam diri teladan dan pahlawan itu.
Nilai-nilai keteladanan dan kepahlawanan ini tidaklah diajarkan (taught) secara
kognitif lewat hafalan dan ”pilihan ganda”, tetapi ditangkap (caught) lewat
penghayatan emotif. Dalam hal ini, kisah-kisah rekaan (fiksi) dalam
kesusastraan dan kisah-kisah nyata dalam kesejarahan merupakan medium yang
efektif sebagai wahana pendidikan karakter.
Pengaruh
kesusastraan terhadap kehidupan tak bisa diremehkan. Tokoh-tokoh dalam karya
fiksi kerap kali memengaruhi hidup, standar moral masyarakat, mengobarkan
revolusi, dan bahkan mengubah dunia. Kisah Rosie the Riveter yang melukiskan
sepak terjang seorang pekerja pabrik kerah biru menjadi pengungkit bagi Women’s
Liberation Movement. Kisah Siegfried, kesatria-pahlawan legendaris dari
nasionalisme Teutonik, bertanggung jawab mengantarkan Jerman pada dua perang
dunia. Kisah Barbie, boneka molek, menjadi role model bagi jutaan gadis-gadis
cilik dengan memberikan standar gaya dan kecantikan.
Jika
pahlawan-pahlawan rekaan saja bisa memberikan pengaruh yang kuat bagi moralitas
masyarakat, apalagi kisah para pahlawan sungguhan, yang dengan segala kelebihan
dan kekurangan manusiawinya, bisa menyadarkan sesama manusia lain untuk meniru
keteladanannya. Betapa banyak orang yang terinspirasi setelah membaca kisah
para nabi dan pejuang kemanusiaan di berbagai belahan dunia. Bahkan, sebagian
besar isi kitab suci, yang menjadi pedoman hidup miliaran manusia di muka bumi,
memuat kisah-kisah keteladanan.
Bangsa
ini pun sesungguhnya memiliki ”pahlawan-pahlawan” keagungannya tersendiri dalam
berbagai bidang kehidupan, baik dari kalangan ”wong elite” (kalangan atas)
maupun ”wong alit” (rakyat biasa). Akan tetapi, kisah-kisah keteladanan mereka
tidak terpublikasikan secara menarik dan meluas, terpendam di dalam kesemarakan
kisah-kisah skandal selebritas, sinetron picisan, dan reality show murahan,
serta kegemparan kabar buruk dunia politik.
Suatu
usaha harus dilakukan untuk mengangkat mutiara bangsa yang terpendam ini ke
altar kesadaran publik. Tantangan ini semakin mendesak seiring dengan
bangkitnya kesadaran umum akan pentingnya menghidupkan kembali Pancasila
sebagai pedoman hidup dalam membangsa dan menegara.
Selain
sebagai dasar dan haluan negara, Pancasila dapat dikatakan sebagai ideologi
negara; suatu ideologi penyelenggara negara dan warga negara dalam kehidupan
publik yang mengatasi partikularitas paham perseorangan dan golongan. Dalam
pengertian bahwa dalam wilayah privat (keluarga) dan komunitas (etnis, agama,
dan golongan masyarakat yang homogen), tiap-tiap perseorangan dan golongan
masih bisa mengembangkan partikularitas ideologinya masing-masing. Namun, dalam
wilayah publik-kenegaraan, segala perseorangan dan golongan itu harus menganut
Pancasila sebagai ideologi negara.
Setiap
ideologi idealnya harus mampu memadukan dimensi keyakinan, pengetahuan, dan
tindakan. Pertama, ideologi mengandung seperangkat keyakinan berisi
tuntunan-tuntunan normatif-preskriptif yang menjadi pedoman hidup. Kedua,
ideologi mengandung semacam paradigma pengetahuan berisi seperangkat prinsip,
doktrin, dan teori yang menyediakan kerangka interpretasi dalam memahami
realitas. Ketiga, ideologi mengandung dimensi tindakan yang merupakan level
operasional dari keyakinan dan pengetahuan itu dalam realitas konkret. []
KOMPAS,
25 Maret 2014
Yudi Latif ; Pemikir Kebangsaan dan
Kenegaraan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar