Rumah
Aspirasi Rakyat
Oleh:
Mohamad Sobary
Ada
sebuah buku baru, terbitan Gramedia, Jakarta. Judulnya menimbulkan pertanyaan:
Say No, Thanks. Apakah gerangan yang harus ditolak di sini?. ”No, thanks” itu
bahasa penolakan. Atau tanda kita tak mau menerima suatu tawaran.
Sifatnya
bukan sekadar ungkapan jiwa bahwa kita tak mau menerimanya karena sudah cukup,
melainkan karena kita tak memerlukannya sama sekali. Terkesan, ada sikap
alergi, dan kita tak ingin diganggu oleh apa yang ditawarkan orang lain pada
kita. Penulisnya Fahira Idris, dibantu dua temannya. Subjudulnya dimaksudkan
untuk memberi penjelasan terhadap judul tadi: ”Wujudkan Mimpimu, Jauhi Dia”.
Tapi penjelasan ini malah membuat kita bertanya lebih lanjut, dan bukannya
membuat kita merasa telah memperoleh penjelasan yang kita inginkan.
Di sampul
belakang, pelan-pelan kita memperoleh penjelasan, mengenai apa yang harus kita
tolak tadi, dan apa yang harus kita jauhi sebagai langkah mewujudkan mimpi
kita, yang sudah disebut di atas: ”Wow, ini buku bukan hanya keren, tapi keren
banget. Ngejelasin bahaya miras dengan cara yang menyenangkan. Anak muda dan
anak tua kudu baca nih buku”.
Satu
pujian lagi, penting dikutip di sini: ”Terima kasih Uni. Itu yang ingin saya
ceritakan setelah baca buku ini. Disajikan dengan bahasa yang detail dan
menarik. (Tidak kaku, penuh animasi, anak muda banget). Sekarang mengertilah
kita apa yang dimaksudkan oleh penulis buku ini.
Fahira,
panggilannya Ira, orang baru. Di dunia penulisan buku, kira-kira ini buku
pertamanya. Apakah dia ingin mengembangkan karier sebagai penulis? Penulis
buku-buku sastra? Atau buku-buku kesenian lainnya? Atau buku ilmiah? Tidak.
Kelihatannya bukan itu karier yang dituju. Dia pelaku bisnis. Kali ini ingin
menapakkan kaki di dunia politik. Buku ini ada hubungan dengan langkah
politiknya.
Melawan
minuman keras (miras), bagi Ira, merupakan langkah politik yang tepat, dan
relevan buat perbaikan kehidupan masyarakat kita. ”Langkah politik?” ”Ya, itu
”langkah politiknya”. Boleh juga, demi kejelasan, dia melawan miras sebagai
program nyata, yang ditawarkan pada masyarakat, buat menandai komitmen
politiknya.
Dia
memasuki wilayah politik, untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
dari DKI Jakarta, dengan ajakan pada masyarakat, untuk bersama- sama melawan
miras yang berbahaya bagi kesehatan manusia, kesehatan masyarakat kita. Ini
tokoh baru, wajah baru, yang baru kali ini tampil, tapi strategi dan cara
berpikirnya bukan baru. Ini langkah politik orang yang sudah matang, dunia
dalamnya, baik jiwa, pemikiran politik, dan dasar filosofinya, sudah tertata.
Banyak
tokoh, calon ini, calon itu, bahkan calon presiden, yang tampak tidak siap.
Secara programatik kelihatan tidak menguasai persoalan bangsa dan negara kita.
Dan dengan sendirinya tidak tahu bagaimana memilih atau menentukan prioritas.
Secara jiwani, tidak matang. Secara intelek, tidak terlatih berpikir
konsepsional. Fahira siap. Dia sudah mendirikan apa yang disebutnya ”Rumah
Damai Indonesia” sejak tahun 2010, tempat ngumpul berbagai komunitas, untuk
mempelajari persoalan-persoalan Jakarta. Rumah itu juga disebut ”Rumah Aspirasi
Rakyat”, terletak di Jln H Saabun No 20, Jati Padang, Jakarta Selatan.
Ira sudah
belajar satu hal baru: miras, sejarahnya, peredarannya, bahayanya. Dia tak
ingin bangsa ini ditelan mentah-mentah oleh miras. Dia tak ingin kita tenggelam
dalam tsunami miras yang mengerikan. Programnya jelas. Nyata. Konkret. Tak
diperlukan teori-teori. Tak diperlukan filsafat yang ruwet-ruwet. Pendeknya,
dia memilih program nyata, bisa dilihat, bisa dirasakan. Sekali lagi, rakyat
dilibatkan. Dan itulah bekalnya memasuki dunia politik.
Pemerintah
sibuk mengatur kematian keretek dan usaha membunuhnya dengan hukum, seolah-olah
pembunuhan itu legal, tapi terhadap miras, yang lebih berbahaya, pemerintah tak
peduli. Terhadap ancaman berbahaya ini pemerintah tidur, dan diam seribu
bahasa.
Para
calon ini, calon itu, yang disebutkan diatas, hendak tampil sebagai pemimpin
dalam masyarakat, dengan landasan pemikiran atau gagasan filosofis dan
teoretis: ”akan”. Dengan langkah: ”akan”. Dan program: ”akan”. Ringkasnya,
mereka ”akan begini””akan begitu”. Kalau saya terpilih, saya ”akan”. Fahira
telah melakukannya. Dan bahasa komunikasi politiknya jelas: ”saya telah
melakukan sesuatu”, dan sesuatu itu penting untuk menjadi komitmen politik
saya, karena saya akan mencalonkan diri menjadi anggota DPD DKI.
”Apa
sebenarnya yang dilakukan Ira?” Dia membuat langkah kebudayaan yang menarik.
Ini merupakan langkah kebudayaan sebagai jawaban atas persoalan-persoalan moral
di dalam masyarakat kita. Miras sebagai persoalan moral, tak bisa diserahkan
semata pada agama, dan para tokoh agama, yang akan memandangnya dari sudut
hukum agama, halal atau haram. Ini bukan lagi persoalan diskursus moral,
melainkan persoalan sikap, cara pandang, dan tingkah laku sehari-hari dalam
masyarakat kita, yang makin kering dan makin tandus. Dengan kata lain, ini
urusan kebudayaan.
Tokoh
muda ini putri Dr. Fahmi Idris, yang tak banyak bicara, tapi bekerja, bekerja,
dan terus-menerus mewujudkan gagasan idealnya lewat kerja itu. Seperti sang
ayah, Ira juga orang bisnis, yang melebarkan sayapnya ke dunia politik. Dunia
pesantren memiliki banyak contoh mengenai cara menempuh langkah kebudayaan
untuk menghadapi persoalan halal-haram seperti ini. Ira sendiri belum punya
pengalaman sebelum ini. Tapi intuisinya yang terang-benderang membawanya ke
arah ini. Tanpa banyak cakap.
Tanpa
banyak diskusi. Kita telah belajar dari pengamatan dalam dunia pemikiran, bahwa
gagasan-gagasan besar, di bidang teori dan filsafat, yang dimaksudkan untuk
menjawab persoalan-persoalan kemasyarakatan tertentu, nasibnya hanya akan
mengambang di udara, seperti burung-burung liar, jika kita tak mampu
melengkapinya dengan sangkar, untuk menjadi ”rumah” baginya.
Sangkar
itu adalah instrumen-instrumen praktis, sebagai petunjuk cara memainkannya
dalam bahasa program, bahasa tindakan, yang diperlukan di dunia nyata, dalam
hidup kita sehari-hari. Yang datang pada kita bukan renungan teori maupun
filsafat, melainkan persoalan-persoalan sederhana, yang tak bisa diselesaikan
dengan cara lain, selain dengan program, program dan program. Teori dan
filsafat hanya baik, dan bisa ”berbunyi”, jika keduanya bisa dibikin praktis
untuk kepentingan manusia dan lingkungan di sekitarnya. Ira tahu menjawab
persoalan tadi dengan caranya, dengan orientasi programatiknya.
Dia
seolah berkata, bahwa ada momentum bagi kita untuk berteori, atau berfilsafat,
ada pula momentum untuk meninggalkannya, demi perjuangan khusus, menghadapi
persoalan khusus, dan bersifat teknis, yang tak memerlukan teori, atau
filsafat. Rumah Aspirasi Rakyat itu menjelaskannya dengan gamblang. []
KORAN SINDO,
16 Maret 2014
Mohamad Sobary ; Esais, Anggota
Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan
Promosi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar