Kritik Sosial Lewat Humor
Judul buku
: Kiai Sableng, Santri Gendeng; Jenaka Tak
Sekadar Tawa
Penulis
: Awang
Surya
Penerbit
: Ersa, Jakarta
Cetakan
: I, 2012Tebal :
207 Halaman
ISBN
: 978-602-18332-1-6
Harga
: Rp. 34.500,-
Peresensi
: Ahmad Suhendra, alumni Pesantren
Al-Kamiliyyah, Bekasi.
Banyak hal yang kita lewati dalam hidup. Baik
perkara yang menyenangkan maupun tidak. Dari yang lewat begitu saja sampai pada
perkara yang membutuhkan penyelesaian secara serius. itulah problematika hidup
dan kehidupan.
Terkadang hidup ini berada di atas, memiliki jabatan memiliki harta melimpah, merasa senang, dan sebagainya. Sebaliknya, kita juga bisa berada dalam kondisi di bawah; menjadi bawahan, menjadi rakyat biasa, Semua itu tidak akan bermakna jika kita tidak memikirkan proses itu dengan baik. Namun, salah satu cara paling mudah untuk menghadapi itu semua adalah dengan tersenyum.
Kiai Sableng, Santri Gendeng hadir dengan membawa cerita jenaka. Awang Surya menyuguhkan cerita tentang permasalahan yang kita hadapi sehari-hari. Keahliannya dalam membuat alur cerita yang ringan menjadi kelebihan tersendiri.
Terdapat 20 cerita yang ditawarkan penulisnya dalam karyanya yang satu ini. Selain bermuatan humor, ceritanya juga bernuansa religius. Alurnya akan membawa kita pada pemikiran epistemologis yang tak terjangkau menjadi lebih membumi. Karena cerita-cerita yang ditampilkan mampu menyeret kita pada pertanyaan-pertanyaan mengenai hidup dan kehidupan.
Kiai Sableng yang dimaksud dalam karya ini adalah bernama Abdul Halim. Biasanya masyarakat menyapanya dengan “Cak Dul”.
Adapun penggunaan kata Sableng di sini bukan berkonotasi negatif. Melainkan untuk menggambarkan sosok Cak Dul yang trendi, gaul dan humoris serta agamis.
Sosok itu menjadikan orang-orang tertawa lepas saat meminta nasihat kepadanya. Seolah masalahnya hilang bersamaan dengan hal tersebut.
Kiai ini dikisahkan memiliki sikap yang egaliter. Sehingga membuat masyarakat dari berbagai kalangan datang bertanya kepadanya. Di setiap dakwahnya Cak Dul selalu ditemani santri (murid) setianya bernama Sukirno.
Salah satu tema yang menarik untuk disimak adalah mengenai rasa optimis. Awang Surya mengajak pembaca untuk memikirkan ulang tentang perasaan dan pikiran-pikiran negatif. Jauhkan rasa pesimis, takut salah minder, dan sebagainya sebelum melakukannya.
Ternyata, kita sering takut mencoba sesuatu itu disebabkan oleh ketidaktahuan. Misalnya, banyak sarjana yang takut berwirausaha dan lebih memilih melamar kerja hanya karena takut bangkrut (halaman 34). Padahal, Islam menjamin pintu rizki berwirausaha itu lebih besar dibanding pekerjaan yang lainnya.
Awang Surya juga menyoroti masalah toleransi. Menurutnya, kalaulah keseragaman itu membawa kebaikan, pastilah Tuhan akan menyeragamkan ciptaannya. Kenyataannya Tuhan menciptakan manusia beda kalamin, beda bangsa, dan beda suku (halaman 51).
Namun, watak manusia ingin menang sendiri dan selalu melihat dari sudut pandangnya sendiri. Akibatnya, ketika ada pendapat yang berbeda langsung memberikan justifikasi.
Misalnya, hanya karena mengenakan celana yang tidak semode dengannya, sekelompok orang memberikan label “bukan umat Rasul”. Hanya karena tidak memelihara janggut, segera saja mereka diklasifikasikan inkar sunnah. Hanya karena perbedaan dalam masalah pelafalan redaksi shalawat, mereka memasukkan para pelakunya sebaga ahli bid’ah (halaman 56).
Canda dan tawa memang tidak dilarang dalam Islam. Bahkan, Rasulallah saw pernah berguyon. Saat itu ada seorang nenek bertanya kepada beliau. Nenek tua renta itu bertanya kepada Rasulallah, apakah dirinya akan masuk surga? Rasulallah menjawab, tidak, karena di surga tidak ada nenek. Nenek itu pun menangis tersendu-sendu. Lalu Rasulallah menjelaskan bahwa saat orang tua renta masuk surga akan menjadi muda belia kembali.
Berdasarkan kisah di atas, Rasulallah mengajarkan humor, bercanda, dan hal serupa boleh saja. Asalkan itu sebagai sebuah kebenaran. Bukan candaan atau lawakan yang dibuat-buat. Bahkan, cenderung menjadi lawakan yang minus hikmah.
Buku yang memiliki gaya bahasa keseharian, sehingga mudah dipahami dan enak dibaca. Pesan-pesan yang terkandung di dalamnya pun tidak terkesan menggurui. Kita akan dibuat tersenyum dengan cerita-cerita dalam buku ini. Tetapi juga kadang tanpa terasa serasa menyindir kehidupan kita yang melenceng dari norma-norma.
Sindiran dalam buku ini menyadarkan kepekaan sosial kita. Masalah yang diangkat pun berada di sekeliling kita. Penulisnya hendak memberikan motivasi kepada para pembacanya bahwa persoalan-persoalan yang cukup serius pun bisa disikapi dengan senyum, atau bahkan tertawa, tanpa harus mengernyitkan dahi.
Kita disadarkan dengan cerita-cerita yang penuh hikmah. Pesan inspiratif dapat kita temukan dalam setiap cerita dalam buku ini. Menariknya cerita itu dibungkus dengan humor. Karena setiap ulasan cerita disertakan dalil-dalil agama, baik yang diambil dari al-Quran dan hadis maupun dari kaidah ushul al-fiqh. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar