Pelanggaran
HAM yang Dibolehkan
Oleh: Moh
Mahfud MD
Sabtu
pagi (29/3) pekan lalu seorang kawan di Surabaya mengirim pesan pendek (SMS)
kepada saya. ”Saya tak setuju tulisan Anda di KORAN SINDO hari ini. Saya tak
setuju koruptor dihukum mati. Hukuman mati itu melanggar HAM dan merampas hak
Tuhan,” demikian bunyi SMS tersebut.
Sabtu itu
saya memang menulis kolom di koran ini, ”Hukum Mati Koruptor”. Isinya, antara
lain, mengusulkan hukuman mati bagi koruptor seperti di China. Sejak akhir
1990-an China menjatuhkan hukuman mati terhadap ribuan koruptor. Di Indonesia
hukuman bagi koruptor terlalu ringan. Banyak koruptor di Indonesia tampak tidak
menyesal, melambaikan tangan sambil tersenyum riang saat dikerubuti wartawan di
Gedung KPK atau di Pengadilan Tipikor, sementara koruptor-koruptor baru
bermunculan.
”Korupsi
di negara kita sudah berkembang seperti peternakan koruptor, mengerikan,” kata
Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas. Makanya banyak yang mengusulkan, termasuk
saya, agar koruptor di Indonesia bisa dijatuhi hukuman mati disertai
pemberat-pemberat lain seperti pemiskinan dan penghilangan hak-hak keperdataan
tertentu. UU Tindak Pemberantasan Korupsi perlu direvisi agar bisa menegaskan
bahwa tindak pidana korupsi diancam hukuman mati, tanpa ada syarat ”jika
korupsi itu dilakukan saat negara dalam keadaan krisis.”
Pokoknya
ancaman hukuman maksimal bagi korupsi itu hukuman mati. Koruptor itu telah
melanggar hak hidup layak, hak ekonomi, dan hak-hak asasi lain bagi rakyat
yang, menurut konstitusi dan hukum, jelas-jelas harus dilindungi oleh negara.
Tetapi ada saja yang mengatakan hukuman mati itu melanggar HAM dan merampas hak
Tuhan untuk mencabut nyawa manusia. Padahal, sebenarnya setiap hukuman kepada
pelaku kejahatan pada dasarnya adalah pelanggaran HAM, tetapi merupakan
pelanggaran HAM yang dibolehkan oleh konstitusi dan hukum.
Menahan
atau memenjarakan orang pun pelanggaran HAM karena menurut konstitusi setiap
orang punya kebebasan atau hak untuk tidak dikurung. Tetapi penahanan atau
pemenjaraan itu dibolehkan oleh konstitusi dan hukum, asalkan ditetapkan
sebagai hukuman yang diatur di dalam undang-undang. Menurut Pasal 28J ayat (2)
UUD 1945, hak asasi manusia itu bisa dikurangi atau dibatasi dengan ketentuan
undang-undang. Mengurung orang di penjara sebenarnya melanggar HAM dan merampas
hak Tuhan juga, tetapi hal itu dibolehkan kalau dilakukan sebagai hukuman
karena kejahatan yang diatur di dalam undang-undang.
Menghukum
mati juga melanggar HAM dan merampas hak Tuhan, tetapi hal itu dibolehkan kalau
dilakukan sebagai hukuman atas tindak pidana asal diatur di dalam
undang-undang. Jadi menurut konstitusi ada pelanggaran HAM yang boleh dilakukan
yaitu, antara lain, menjatuhkan dan mengeksekusi hukuman yang ditetapkan oleh
pengadilan sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang, baik
berupa hukuman penjara, pencabutan hak-hak sipil dan politik tertentu, maupun
hukuman mati.
Dengan
demikian, hukuman mati samasaja denganhukuman penjara atau hukuman pidana lain,
tidak melanggar konstitusi dan tidak merampas hak Tuhan. Atau sama-sama
mengesampingkan HAM yang diizinkan oleh konstitusi maupun oleh Tuhan sendiri
asal ada alasan-alasan konstitusional dan hukum yang diatur di dalam
undang-undang. Ada juga yang mengatakan bahwa penjatuhan hukuman mati itu tidak
mampu membuat jera atau menghilangkan korupsi, sebab terbukti, di negara-negara
yang menghukum mati koruptor pun masih banyak korupsinya.
Pernyataan
ini bisa dibantah sebagai pernyataan yang terlalu spekulatif dan tidak logis
karena, minimal, dua argumen. Pertama, jera atau tidak jera itu hanya bisa
dilihat dari orang yang sudah dihukum. Dalam konteks ini kita tidak bisa
mengatakan bahwa hukuman mati itu tidak membuat orang jera, sebab kalau orang
sudah mati karena dihukum mati tidak bisa diketahui apakah orang itu jera atau
tidak jera. Bagaimana caranya kita tahu orang yang sudah mati itu jera atau
tidak jera?
Bukankah
tak ada tempat dan waktu bagi mereka untuk menunjukkan jera atau tidak jera?
Sebaliknya, secara psikologis, dapat dipastikan bahwa ancaman hukuman mati bisa
membuat orang yang masih hidup lebih takut untuk melakukan tindak pidana yang
bisa dijatuhi hukuman mati itu. Kedua, tidak benar juga kalau dikatakan bahwa
hukuman mati itu tak mengurangi korupsi karena di negara-negara yang
menjatuhkan hukuman mati terhadap koruptor masih banyak juga korupsinya.
Pernyataan ini pun tak bisa dipertanggung-jawabkan karena alat ukurnya tidak
jelas. Pernyataan itu bisa saja dibalik dengan pernyataan, ”Sudah diancam
dengan hukuman mati saja masih banyak korupsi, tentu korupsi akan menjadi lebih
banyak lagi seandainya tidak ada hukuman mati.” Tentu kedua pernyataan ini sama
spekulatifnya, tak ada ukuran ilmiahnya.
Haruslah
diingat bahwa adanya ancaman hukuman mati itu tak mengharuskan hakim menghukum
mati setiap koruptor. Hakim dapat menjatuhkan hukuman yang lebih ringan sesuai
dengan rasa keadilan, tergantung pada besarnya korupsi dan akibat-akibat yang
ditimbulkannya. Kalau korupsinya sangat besar dan/atau pelakunya pejabat
penting maka hukuman mati bisa dijatuhkan. []
KORAN
SINDO, 05 April 2014
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum
Konstitusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar