Para Cendekiawan yang Dungu
(Bagian 2 – Selesai)
Penulis: Ach. Fauzi MF
Pada tulisan sebelumnya telah disebutkan ada
sebelas golongan cendekiawan yang terpedaya oleh kecerdikannya sendiri, dan
pada edisi ini kita pelajari golongan-golongan berikutnya, karena edisi
sebelumnya hanya menyebutkan empat golongan.
Kelima, sekelompok orang yang menyibukkan
diri dengan berfatwa seputar perselisihan yang kerap terjadi dan
transaksi-transaksi duniawi, hingga mereka menyandang predikat al-faqîh (pakar
fikih). Namun kelompok ini kadang-kadang tidak menjauhkan dirinya dari
perbuatan haram, seperti tidak menjaga lidahnya dari perbuatan ghîbah
(menggunjing), membiarkan barang haram masuk ke dalam perutnya, suka mendatangi
para peguasa atau pejabat, memupuk rasa sombong, riya, dan iri dengki bersarang
dalam hatinya.
Terdapat dua unsur pokok yang mengantarkan
mereka masuk dalam golongan ini, yaitu unsur perbuatan dan unsur ilmu
pengetahuan. Mereka kurang memperhatikan penyakit-penyakit yang menggerogoti
dari dalam dan mengira bahwa dirinya bisa masuk dalam golongan penyelamat
(al-munjî), dan bisa mengantar orang lain menuju Allah (al-mûshil) dengan cara
demikian. Padahal, pangkat seperti itu (al-munji dan al-mûshil) hanya bisa
dimiliki dengan rasa cinta kepada Allah.
Keenam, golongan yang senang belajar ilmu
kalam, perdebatan, dan mengcounter argumen-argumen lawannya. Golongan ini juga
lebih senang mendalami ilmu-ilmu kontroversial dan metode-metode perdebatan.
Mereka ada yang disebut dhâllah mudhillah (tersesat dan menyesatkan) dan
al-muhiqqah (jelas tersesat). Mereka tergolong sesat dan menyesatkan karena
tidak menyadari kesesatan dirinya dan meyakini sebagai golongan yang selamat.
Sedangkan yang jelas tersesat karena mereka menilai bahwa agama seseorang tidak
akan sempurna sebelum mengadakan riset dan penelitian terhadap dalil-dalil yang
menunjukkan adanya Allah, sehingga mereka menganggap orang yang mempercayai
keberadaan Allah tanpa melalui riset dan dan penelitian sebagai orang yang
belum beriman.
Ketujuh, orang-orang yang suka memberikan
wejangan (orator) yang menganggap dirinya sudah memiliki hal-hal yang
disampaikan kepada orang lain. Golongan ini dinilai Imam al-Ghazali lebih parah
dan lebih sulit untuk diperingati daripada golongan-golongan sebelumnya, karena
mereka merasa sudah memiliki semua perangai baik dan sebagai pecinta Allah dan
Rasul-Nya, padahal mereka sebenarnya tergolong budak nafsu. Dengan arti lain
mereka bersembunyi di balik layar pidatonya.
Kedelapan, golongan yang melenceng dari
norma-norma sebagai pemberi wejangan. Yaitu golongan yang lebih suka memamerkan
bahasa-bahasa yang berlawanan dengan aturan syariat. Mereka lebih senang dengan
sastra-sastra dan syair-syair yang diungkapkannya. Mereka bangga bila di
majelisnya banyak orang yang berjubel dan berbondong-bondong sekalipun
melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama. Golongan inilah yang disebut dengan
syayâtinul-insi (setan berujud manusia) yang tersesat dan menyesatkan umat.
Kesembilan, orang-orang yang tergiur dengan
komentar dan perkataan orang-orang yang zuhud (tidak menyukai gemerlap dunia).
Golongan ini biasanya suka berada di tengah-tengah khalayak ramai dengan meniru
dan mengulang kata-kata yang dilontarkan orang-orang zuhud dengan tanpa
terkendali dan mengerti maksud dan tujuannya. Mereka meyakini bahwa dirinya
selamat dari siksa Allah dan mendapat ampunan-Nya karena telah menjaga dan
memelihara perkataan orang-orang zuhud, padahal tak sedikitpun perkataan itu ia
amalkan dalam kehidupannya.
Kesepuluh, pengisi waktu dengan cara
memperbanyak mendengar dan mengodifikasikan Hadis. Golongan ini suka memiliki
sanad-sanad asing hingga rela berkelana ke berbagai negeri. Namun tak satupun
Hadis-Hadisnya yang diamalkan. Golongan ini ibarat hewan yang membawa gulungan
daun lontar yang berisikan ajaran-ajaran Allah tapi tak satupun ajaran itu dimengerti.
Mereka dinilai tersesat karena mereka tidak menggunakan kesempatannya untuk
memahami dan mengerti ajarannya.
Kesebelas, orang-orang yang menyibukkan diri
dengan belajar ilmu-ilmu alat, seperti gramatika Arab, ilmu syair, ilmu bahasa,
dan berbagai disiplin ilmu alat lain. Golongan ini mengkultuskan diri sebagai
penegak agama dan ajarannya dengan dalih ajaran agama bisa diselami lebih dalam
dengan menggunakan ilmu-ilmu tersebut. Keterpedayaan golongan ini karena mereka
telah menggunakan banyak waktu untuk memperdalam ilmu-ilmu alat tanpa
mempelajari ilmu-ilmu agama dan ajarannya.
Nah ! lengkaplah kesebelas golongan yang oleh
Imam al-Ghazali dinyatakan tertipu dan terpedaya dengan
kecerdasan-kecerdasannya untuk menangkap dan menyerap berbagai ilmu zahir tanpa
memperhatikan ilmu batin. Agar kita tidak tercatat dalam golongan-golongan di
atas, maka hiasilah diri kita dengan ilmu-ilmu batiniah yang mampu mengekang
dan mengendalikan diri kita dari berbagai perbuatan yang diprakarsai oleh
setan, musuh utama kita, karena hanya ilmu itulah yang mampu menyelamatkan kita
dari keabadian dan kekekalan di neraka.
Mudah-mudahan segala keterpedayaan, kelalaian
dan kercerobohan kita senntiasa mendapat pengampunan dari Allah. Amîn yâ
Rabbal-آlamîn. []
(Disarikan dari kitab Ashnâful-Maghrûrîn
karya Imam al-Ghazali dalam bab Fashlun: fî Bayânil-Maghrûrîna wa Aqsâmi Kulli
Shinfin)
Sumber : Buletin Pondok Pesantren Sidogiri,
Pasuruan – Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar