Dakwah
dan Kearifan Lokal
Oleh: Ali
Mustafa Yaqub
Bulan
Agustus 1982, almarhum Bapak Mr (Mester in de Rechte/Sarjana Hukum) H Muhammad
Roem memberikan ceramah di hadapan anggota Young Muslim Association in Europe
(YMAE), yang akrab di kalangan masyarakat Indonesia dengan sebutan PPME
(Persatuan Pemuda Muslim Eropa), di kediaman Bapak H Hambali Ma'sum di Denhaag,
negeri Belanda.
Pak Roem
mengatakan bahwa Buya Hamka pernah ditanya oleh Dr Syauqi Futaki (Ketua Japan
Islamic Congress), "Apa penyebab orang Indonesia, khususnya orang Jawa,
begitu mudah masuk Islam dengan serentak dalam jumlah yang banyak tanpa ada
konflik sedikit pun?" Menurut Pak Roem, Buya Hamka saat itu menjawab,
"Itulah yang sedang saya pelajari." Buya Hamka rahima hullah wafat
pada tahun 1984. Semoga sebelum itu, beliau sudah menemukan jawaban yang
dipelajarinya tadi.
Para ahli
berbeda pendapat tentang kapan Islam masuk ke Indonesia, khususnya di tanah
Jawa. Sebagian berpendapat, Islam sudah masuk di Kepulauan Indonesia abad
pertama Hijriyah (sekitar abad ke-7 atau 8 Masehi). Sebagian berpendapat, Islam
masuk ke Indonesia abad ke-14 Masehi.
Kendati
begitu, para ahli sependapat Islam masuk ke Indonesia tidak melalui cara-cara
kekerasan dan lain sebagainya, melainkan dengan cara yang sangat damai. Para
ahli juga tampaknya sependapat bahwa pendekatan dakwah yang dilakukan para dai
yang datang dari Jazirah Arab, khususnya dari Hadhra maut, adalah pendekatan
kultural. Sehingga, masyarakat khususnya di tanah Jawa tidak merasa terusik
sedikit pun dalam masalah sosial budaya.
Apabila
kita mengamati masalah sosial budaya di kalangan masyarakat Jawa saat ini, maka
tampaknya pendapat di atas dapat dibenarkan. Peninggalan Islam yang merupa kan
warisan para dai yang sering disebut dengan para wali sangat kental sekali
dengan budaya-budaya lokal alias budaya Jawa.
Kendati
mereka banyak berasal dari negeri Arab, mereka tidak serta-merta mengubah
secara radikal budaya lokal dengan budaya Arab. Mereka justru membaur dan
meleburkan diri dengan budaya lokal alias budaya Jawa.
Arsitektur
masjid-masjid yang mereka tinggalkan, semisal Masjid Agung Sunan Ampel
Surabaya, Masjid Agung Demak, Masjid Menara Kudus, dan lain-lain menunjukkan
bahwa para dai itu sangat arif dengan budaya-budaya lokal sehingga mereka tidak
menggantinya dengan budaya Arab. Arsitek masjid-masjid tersebut sampai sekarang
menjadi saksi sejarah tentang begitu bijaknya para dai dalam berdakwah sehingga
bangunan-bangunan tersebut masih ken tal dengan budaya Jawa.
Bagi para
dai, bangunan bukanlah akidah dan bukan ibadah, melainkan bagian dari muamalah.
Maka sepanjang tidak bertentangan dengan syariat Islam, budaya-budaya tersebut
tetap mereka lestarikan. Hasilnya, orang Jawa tidak merasa kaget memasuki
masjid karena merasa masuk ke rumah adat mereka sendiri.
Menurut
catatan para ahli, para dai di samping melestarikan budaya fisik se perti arsitektur
Jawa dalam bangunan masjid, juga melakukan pendekatan kultural dalam
menyampaikan pesan keislaman kepada masyarakat Jawa. Dr Purwadi MHum, Rektor
Institut Kesenian Jawa di Yogyakarta, dalam bukunya Dakwah Sunan Kalijaga,
menyebutkan, para wali khususnya Kanjeng Sunan Kalijaga dalam mentrans for
masikan ajaran-ajaran Islam, menciptakan tembang-tembang (lagu-lagu) seperti
tembang Dandang Gulo dan sebagainya.
Di bidang
sosial, khususnya di kawasan pesisir utara Jawa Tengah, sampai saat ini masih banyak
masyarakat yang tidak mengonsumsi daging sapi. Di daerah Pekalongan, misalnya,
kita akan melihat apa yang namanya bakso kerbau, bukan bakso sapi. Bahkan,
sebagai bagian dari masyarakat pesisir utara Jawa Tengah, kami mengonsumsi
daging sapi setelah kami tinggal di Jawa Timur.
Konon,
ketika Islam masuk di kawasan utara Jawa Tengah, masyarakat yang saat itu masih
beragama Hindu sangat keberatan apabila orang Islam membunuh dan mengonsumsi
sapi, hewan yang mereka sucikan. Maka dalam rangka dakwah, para dai melakukan
pendekatan sosial dengan tidak mengonsumsi daging sapi. Inilah bentuk-bentuk
kearifan lokal yang dilakukan para dai dalam menjalankan dakwah pada saat itu.
Dan hasilnya adalah seperti yang dikatakan oleh Dr Syauqi Futaki.
Saat ini,
ada kecenderungan para dai tidak memperhatikan kearifan lokal seperti tersebut
di atas. Dalam masalah sosial budaya, tampak ada sebuah pemaksaan harus
bercorak Arab. Pakaian harus dengan jubah dan ubel-ubel serban yang membungkus
kepala. Bangunan masjid juga mesti berbentuk kubah, kendati sebenarnya kubah
bukan dari Arab melainkan dari gereja Byzantium.
Di Bali,
Kalimantan Utara, dan lain-lain, kami sempat menanyakan ketika warga setempat
membangun masjid, "Mengapa ornamen Bali dan Dayak tidak Anda masukkan dalam
masjid yang sedang Anda bangun?" Kami mengatakan, sekiranya masjid di Bali
memasukkan ornamen-ornamen Bali, dan masjid di Kalimantan Utara memasuk kan
ornamen-ornamen Dayak, maka orang Bali dan orang Dayak akan mudah dan tidak
merasa terkejut saat memasuki masjid karena mereka merasa memasuki rumah adat
mereka sendiri. []
REPUBLIKA,
08 April 2014
Ali Mustafa Yaqub ; Imam Besar
Masjid Istiqlal dan Ketua Umum IPIM (Ikatan Persaudaraan Imam Masjid)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar