Berpolitik
dengan Bahasa Hati
Oleh:
Mohamad Sobary
Dalam
drama Rendra, ”Panembahan Reso”, ada ketegangan antargenerasi. Raja tua, yang
sudah 85 tahun usianya, masih senang menikmati kekuasaan. Tanpa menyadari— atau
pura-pura tidak menyadari— bahwa para pangeran, yang banyak jumlahnya, sudah
mulai kasak-kusuk tentang tahta.
Masing-masing
menimbang bahwa dirinya yang paling pantas mengganti kedudukan Baginda. Dan
kemudian, diamdiam, mulai muncul persaingan, yang makin lama makin terbuka.
Intrik, fitnah, dan usaha saling menjegal, tampak di permukaan. Baginda Raja
tua, akhirnya menyindir mereka, bahwa mereka belum akan becus memerintah.
Mereka dianggap masih mentah. Ibarat permainan silat, para pangeran, generasi
muda, dianggap kebanyakan gerak tanpa arti.
Orang
tua, yang sudah matang, dengan satu gerak lembut, tanpa membuang-buang tenaga,
dengan mudah bisa melumpuhkan musuh. Kita tahu, ini gambaran bahwa di dalam
kekuasaan yang mengasyikkan, dan penuh pesona, generasi tua tak mau berbagi
dengan generasi tua. Ibarat orang mengemut gula—biasanya gula merah—makin lama
terasa manis, dan orang tak mungkin mau begitu saja melepaskannya. Di dalam
drama itu diperlukan suatu pertumpahan darah untuk menyingkirkan Raja tua.
Dan para
pangeran habis di dalam pertempuran membasmi pemberontakan. Sementara para
pemberontak sendiri juga kehabisan tenaga. Panembahan Reso bersekongkol dengan
Ratu Dhara, untuk menempatkan seorang Pangeran bodoh, lemah dan kaget-kagetan, ke
atas tahta. Dia bernama Pangeran Rebo, putra Ratu Dhara sendiri. Dan Pangeran
Rebo pun menjadi raja boneka, yang disetir Panembahan Reso dan Ratu Dhara tadi.
Tanpa berkeringat, Panembahan Reso naik tahta yang berdarah, dan penuh
ketidaknyamanan. Dia menang. Tapi dalam hidup, menang dan kalah itu begitu
tipis batas-batasnya.
Dalam
politik, kita pun begitu. Kita bisa bertanya: apakah dalam sepuluh tahun yang
kosong akhir-akhir ini Bapak Presiden kita menang? Menjadi presiden, dan
berkuasa secara resmi, tapi para pendukung kemudian kecewa, marah-marah, dan
mencerca: ini tanda orang menang apa kalah?
Esai ini
tidak berniat membahas perkara itu lebih lanjut. Kita memilih prioritas lain:
langkah orang-orang tua, sisa-sisa Orde Baru, yang tampak masih gigih itu. Saya
kagum akan optimisme mereka, dan sikap pantang menyerah, apapun yang mereka
hadapi.
Ini
satria sejati? Ini pemimpin yang bakal membebaskan bangsa dari sikap lembek,
cengeng dan tahu ke mana kaki harus melangkah? Ini pemimpin yang kita dambakan,
dengan penuh rindu, siang dan malam, hingga kita rela tak bisa tidur karena
menanti pemimpin sejati ini? Orang-orang tua, sisa-sisa Orde Baru, yang
dibubarkan oleh kekuatan rakyat dalam gerakan perlawanan yang disebut
”reformasi” itu, kini merasa ”angin buruk” kemarahan rakyat sudah reda. Jadi,
sudah masanya mereka tampil kembali untuk mencalonkan diri menjadi ”ini” atau
”itu”, dan siap bertarung, mempertaruhkan kualitas kemanusiaan dan kepemimpinan
masingmasing.
Momentum
politik telah membukakan pintu bagi mereka, dengan senyum semanis iklan-iklan
terbaik yang bisa dibuat biro iklan kelas dunia. Jadi apa salahnya momentum tak
digunakan. Momentum sejati, tak mau datang lagi untuk kedua kalinya. Jadi,
sekarang inilah yang tua-tua, ikut lagi berderet bersama yang mudamuda, saling
mendesak, saling memojokkan. Kalau perlu, saling meniadakan. Kita boleh
bertanya pada para pemimpin kita itu. Namanya juga pemimpin. Mereka pasti siap
dengan jawaban manis, taktis dan melegakan.
Apa yang
penting kita tanyakan? Mungkin ini: ”Bagaimana mereka bisa menempa diri dan
membangun sikap optimistis, tanpa tandingan, dan sikap pantang menyerah dalam
pertarungan demi pertarungan yang kejam, sengit dan mematikan? Hanya para
ksatria sejati yang bisa begini, dan berani begini. Ini mungkin sulit dijawab,
kecuali oleh mereka yang pergulatan hidupnya penuh tantangan, dan menyadari
bahwa perjuangan hidup memang tidak mudah. Apa yang kedua? Mungkin ini:
”Bagaimana menghadapi suasana psikologis yang getir dalam kekalahankekalahan di
masa lalu, tapi masih tetap memiliki jiwa membara untuk bertarung?” Ini lebih
mendalam, dan lebih sulit. Ada lagi? Ya. Ada.
”Apakah
optimisme yang luar biasa menggelegak itu tidak sebaiknya disertai kemampuan
mawas diri, berkaca, melihat ke ”dalam”, untuk menyadari bahwa suasana
psikologi politik tak bisa lagi dikendalikan dengan cara lama, yaitu memamerkan
popularitas, dan menjual ide pembebasan, yang tak nyambung di hati rakyat?
Apakah akan dianggap tidak produktif untuk menyadari bahwa pola Orde Baru,
kesan dan citranya yang dulu begitu ganas itu masih membuat jiwa kita merasa
trauma, takut, enggan, dan tak berselera memilih? Wah, ini lebih dalam lagi.
Sebaiknya jangan bertanya lagi.
Satu
pertanyaan saja, penutup: ”Bagaimana memahami sinyal-sinyal lembut di wajah
rakyat yang traumatik, yang tak mau menaruh kasih sayang, dan ”trust” pada
kita? Apakahsekadar kampanye yang menggebrakgebrak sekeras geledek di musim
hujan, bisa memecahkan urusan kasih sayang dan ”trust” tadi? Kampanye itu
urusan merebut hati rakyat. Tapi bagaimana kalau rakyat yang hendak direbut
hatinya malah takut? Dan kalau dikasih duit mereka terima duitnya tapi mereka
memilih calon lain? Bagaimana cara menyiasati mereka? Kampanye bukan instruksi
atasan.
Dan di
zaman ini apa yang namanya instruksi sudah tak berlaku. Birokrasi pemerintahan,
yang dulu mengabdi Golkar, dengan semboyan ”monoloyalitas”: sekarang lain.
”mono” ya ”mono”, ning ojo ”mono” lagi.
Rakyat
sudah pandai. Kesadaran politik mereka sudah tinggi. Mereka yang apatis, dan
enggan memilih pun tanda bahwa mereka punya kesadaran politik tak bisa sama
sekali diganggu gugat. Juga tidak oleh duit. Tak semua rakyat memiliki
kesadaran politik sebagus itu, bukan? Betul. Tak semua sebagus itu sikapnya.
Tapi jangan salah, mereka yang takut pada masa lalu yang ganas tadi, tetap
punya kalkulasi.
Takut
membuat mereka tak memilih pihak-pihak yang dulu menakutkan. Yang membuat
mereka trauma pada yang ganas bukan hanya masa lalu. Bagaimana ini bisa dijelaskan.
Betul. Masa kini banyak juga yang membuat trauma. Partai-partai yang bicara
”subhanallah”, ”alhamdulillah” ”la ilaha illah” ”Allahu Akbar” juga
menggoreskan kenangan pedih. Dan ini juga trauma. Partai yang bicara demokrasi
dan antikorupsi, ininya bukan demokrasi dan begitu bergelimang korupsi, yang
menanti penyelesaian. Dengan marah, rakyat menanti, sambil tetap menyimpan
trauma dan kecewa.
Dan
mereka, yang jiwanya terkoyak-koyak seperti itu, disuruh memilih? Kampanye
bukan jawaban. Dan kampanye yang percaya duit kotor bisa membeli hati rakyat,
sekarang akan menangis. Politik tak bisa lagi dipahami hanya dengan akal dan
rasionalitas teoriteori mapan. Teori hanya sekepingkecilungkapan,
yangmenjelaskan fenomena yang luas tak terbatas. Kita perlu, sesekali,
berpolitik dengan bahasa hati yang tak punya rumus, dan memang tak harus punya.
[]
KORAN
SINDO, 31 Maret 2014
Mohamad Sobary ; Esais, Anggota
Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan
Promosi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar