Meluruskan Makna Jihad (17)
Larangan Memvonis Keyakinan Orang Lain
Oleh: Nasaruddin Umar
Suatu ketika perang usai, tiba-tiba menyelinap seorang musuh mau
memasuki wilayah kekuasaan prajurit muslim. Usamah ibn Zaid ibn Haritsah yang
dikenal Panglima Angkatan Perang Nabi Muhammad yang muda usia memergoki dan
mengejarnya. Musuh itu terjebak di sebuah tebing, sehingga tidak ada lagi jalan
keluar. Mundur ada tebing dan di sampingnya ada jurang.
Tiba-tiba saja musuh itu memekikkan dua kalimat syahadat di depan
Usamah. Kita tidak tahu apa maksud musuh bebuyutan ini bersyahadat. Usamah
menafsirkan syahadat musuh ini hanya untuk mengecoh pasukan muslim agar tidak
membunuhnya. Ia kemudian menghunus pedangnya dan membunuh orang tersebut.
Salah seorang sahabat yang menyaksikan peristiwa ini melaporkan
kepada Nabi bahwa Usamah sang Panglima Angkatan Perang membunuh orang yang
sudah bersyahadat. Menanggapi laporan itu, Nabi marah sekali hingga terlihat
urat di dahinya melintang. Usamah dipanggil lalu ditanya kenapa membunuh orang
yang sudah bersyahadat?
Usamah menjawab bahwa hal itu hanya sebagai taktik; ia membawa
senjata dan sewaktu-waktu bisa mencelakakan pasukan. Ia dibunuh karena diduga
syahadatnya palsu. Mendengarkan secara saksama alasan Usamah membunuh musuh
yang sudah bersyahadat, maka Nabi mengeluarkan pendapat: Nahnu nahkum bi al-dhawahir, wa Allah
yatawalla al-sarair (Kita hanya menghukum apa yang tampak, dan
Allah yang menghukum apa yang tersimpan di hati orang).
Jawaban Nabi itu menunjukkan betapa tidak bolehnya memvonnis
keyakinan dan kepercayaan orang lain. Jika orang secara formal mempersaksikan
syahadatnya secara terbuka, maka kita tidak boleh lagi mengusiknya. Soal ada
pelanggaran lain, nanti saja proses hukum formal yang akan menyelesaikannya.
Usamah pun saat itu memohon ampun kepada Rasulullah akan peristiwa itu, dan
berjanji akan hati-hati jika menemui peristiwa yang sama terjadi di kemudian
hari.
Jika orang lain dieksekusi, maka sesungguhnya yang turut menjadi
korban ialah famili terdekat orang itu. Bahkan keluarga yang bersangkutan bisa
mengurung diri berbulan-bulan lantaran tidak tahan menanggung rasa malu. Semua
orang harus hati-hati agar jangan begitu gampang memvonnis seseorang sebagai
kafir, musyrik, ahlul bid'ah,
karena bisa jadi vonis itu memantul ke diri sendiri.
Rasulullah SAW pernah bersabda, barangsiapa yang menuduh orang
lain kafir padahal tidak sesuai dengan kenyataan di mata Allah, maka yang
bersangkutan akan menerima akibatnya yang setimpal.
Masyarakat Indonesia termasuk masyarakat yang heterogen, baik dari
segi akidah maupun etnik. Jangan sampai hanya karena perbedaan mazhab yang
dianut lantas kita melayangkan vonis kafir kepada orang lain. Akibatnya pasti
tidak sederhana. Bukan hanya menyangkut orang perorangan, tetapi boleh jadi
melibatkan institusi dan organisasi. Berpikirlah dua kali untuk mengkafirkan
orang lain! []
DETIK, 24 Januari 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar