Aktualisasi
Sumpah Pemu di Era Disrupsi
Oleh:
Yudi Latif
SUMPAH
Pemuda merupakan kisah konektivitas dan inklusivitas keragaman identitas di
awal pembentukan bangsa Indonesia. Ini ialah kisah spektakuler dari perjuangan
anak-anak muda, yang mengarungi jalan terjal multiseleksi dalam proses adaptasi
terhadap tantangan kehidupan agar bisa tampil sebagai penyintas.
Untuk
menggambarkan jalan panjang dan berliku yang dilalui manusia (muda) Indonesia
dari seorang individu menjadi warga bangsa, kita bisa meminjam deskripsi
Jonathan Haidt dalam bukunya yang memukau The Righteous Mind: Why Good People
are Devided by Politics and Religion (1202).
Kisah ini
bermula dari seorang individu, dengan sifat simpanse yang mengutamakan
kepentingan pribadi yang harus berlomba dengan individu lain untuk bisa menjadi
‘priayi baru’ (bangsawan pikiran) dalam sistem kompetisi masyarakat kolonial
yang tidak fair. Pada etape selanjutnya, aneka diskriminasi yang dialami di
sepanjang perlintasan menjadi ‘priayi baru’ mempersambungkan ‘kepekaan
naluriah’ (gut feeling) sesama serumpun menjadi lebah yang berkerumun dalam
‘sarang’ komunitas moral primordial (berbasis kesukuan-kedaerahan dan
keagamaan).
Pada
tahap ini, terjadi pula proses perlombaan antara kelompok-kelompok komunal
baru. Kemunculan organisasi pemuda-pelajar atas dasar solidaritas kejawaan,
Jong Java, membangkitkan reaksi pembentukan organisasi-organisasi ‘tandingan’,
seperti Jong Islamieten Bond, Sekar Rukun (Pemuda Sunda), Pemuda Kaum Betawi,
Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, dan Jong Sumatranen Bond.
Dalam
perkembangannya, proses seleksi dalam perlombaan antara kelompok-kelompok
komunal ini mengalami proses transendensi karena adanya persamaan kepentingan
dalam menghadapi kompetisi dengan musuh bersama yang lebih besar, yakni negara
kolonial (asing) yang represif dan diskriminatif. Persepsi tentang adanya
kepentingan bersama inilah yang mendorong terjadinya proses peleburan aneka
komunitas primordial ke dalam suatu ‘sarang’ komunitas moral dalam skala yang
lebih luas. Maka itu, terbentuklah superorganisme yang sangat gigantis, bernama
‘kebangsaan-kewargaan’ (civic nation).
Jalan nasionalisme
Jalan
Indonesia menuju ‘kebangsaan-kewargaan’ itu berbeda dengan jalan yang ditempuh
oleh kecenderungan masyarakat Eropa. Dalam pengalaman Eropa, munculnya
nasionalisme dilalui lewat proses sekularisasi dengan memudarnya pengaruh agama
dan ikatan primordial lainnya (Rupert Emerson, 1960). Di sini, ketika
nasionalisme bangkit, agama dan komunitas kultural lainnya memainkan peran
penting. Kemunculan masyarakat sipil dan politik utamanya terlahir dari
komunitas agama-budaya, bukan dari komunitas pasar. Jalan menuju nasionalisme
kewargaan ditempuh dengan cara pengadaban masyarakat keagamaan dan kesukuan
untuk bisa memasuki komunitas moral publik secara damai dan toleran.
Oleh
karena itu, di negeri ini, jangan pernah mempertentangkan ‘kebangsaan’ dan
‘keagamaan’. Komunitas-komunitas keagamaan bisa menjadi tulang punggung
integrasi nasional karena kemampuannya mempertautkan keragaman suku dan kelas
sosial secara vertikal oleh kesamaan aliran-aliran keagamaan. Dengan satu
sentuhan lagi, berupa proses ‘sivilisasi’ (lewat konektivitas dan inklusivitas
aneka ormas keagamaan) dalam mengusung moral publik, Indonesia memiliki modal
sosial dan modal moral yang bisa diandalkan.
Tentang
pentingnya komunitas agama sebagai modal sosial itu mendekati gambaran Robert
Putnam (2000) dalam konteks kebangsaan-kewargaan Amerika Serikat. Dalam
pandangannya, keterpautan pada kelompok kecil, seperti sesama anggota gereja
dan perkumpulan agama yang melibatkan aneka individu dan latar sosial,
merupakan modal awal bagi afeksi publik. “Agama-agama membuat orang-orang
Amerika menjadi tetangga dan warga negara yang lebih baik”.
Bahwa
“Ramuan aktif yang membuat masyarakat Amerika lebih bajik ialah keterpautan
mereka dalam relasinya dengan sesama komunitas agama. Segala hal yang mengikat
masyarakat secara bersama ke dalam kerapatan jaringan rasa saling percaya
membuat orang-orang kurang mementingkan diri sendiri.” Dan itu merupakan modal
sosial yang amat penting bagi integrasi nasional.
Dalam
kisah Sumpah Pemuda, proses peleburan ragam komunitas etno-religius ke dalam
kesamaan komunitas kebangsaan-kewargaan yang lebih luas dimungkinkan oleh
kesanggupan para pemuda untuk melakukan konektivitas dan inklusivitas.
Kemampuan konektivitas bisa dilihat dari keragaman latar sosiografis dari
peserta Kongres Pemuda II ini.
Keragaman kesukuan dan kedaerahan, selain tecermin dari kehadiran organisasi-organisasi yang telah disebutkan, turut juga dua perwakilan dari Papua (Aitai Karubaba dan Poreu Ohee) dan beberapa orang Tionghoa sebagai peninjau (Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok dan Tjio Djien Kwie), serta satu orang sebagai wakil dari Jong Sumatranen Bond (Kwee Thiam Hiong). Representasi golongan keagamaan diwakili oleh Jong Islamieten Bond.
Kedatangan
peserta dari berbagai wilayah di Tanah Air ini sungguh mengagumkan dalam
kondisi ketersediaan infrastruktur perhubungan yang masih sangat terbatas.
Sarana transportasi umum yang tersedia baru kapal laut dan kereta api. Meski
demikian, keterbatasan konektivitas teknis ini bisa diatasi dengan kerapatan
konektivitas mental-kejiwaan. Konektivitas mental-kejiwaan dimungkinkan oleh
tersedianya ruang-ruang publik modern yang memfasilitasi perjumpaan
antaridentitas.
Ruang-ruang
publik modern ini terentang mulai dari jaringan persekolahan dan klub-klub
sosial bergaya Eropa, terutama di Bandung, Batavia, Surabaya, dan kota-kota
besar lainnya yang memungkinkan para pemuda-pelajar dari beragam latar wilayah
dan golangan bisa berinteraksi. Kedua, dalam kehadiran jaringan industri pers
vernakuler yang memungkinkan diseminasi informasi, pertukaran pikiran, dan
promosi agenda bersama.
Semangat inklusivitas
Konektivitas
mental-kejiwaan juga dimungkinkan minat baca dan tingkat erudisi yang tinggi.
Keluasan dan kedalaman bacaan memungkinkan para pemuda-pelajar bisa memahami
dan menghayati persoalan yang berlangsung di tempat jauh meski tanpa
kehadirannya secara fisik karena pengetahuan yang diperolehnya dari bahan
bacaan. Dengan begitu, para pemuda-pelajar bisa mengembangkan sikap empati
terhadap nasib mereka yang berbeda identitas, yang memberi kemampuan mencari
substansi bersama melampaui perbedaan garis identitas.
Dimensi
inklusivitas dari Sumpah Pemuda tampak dari kesetaraan kesempatan bagi segenap
peserta dari berlatar golongan untuk mengeskspresikan diri dan mengambil peran
dengan sama-sama terlibat dan menyepakati agenda dan keputusan bersama. Dalam
perjalanannya nanti, semangat inklusivitas yang diwarisi dari jiwa Sumpah
Pemuda ini memungkinkan figur-figur utama Kongres memainkan peran besar dalam
sejarah republik. Sugondo Djojopuspito (Ketua Kongres), Muhammad Yamin
(Sekretaris), Amir Sjarifudin (Bendahara), Johannes Leimena (Pembantu)
menempati posisi-posisi penting, seperti di BPUPK, KNIP, dan pos-pos
kementerian negara atas dasar prinsip meritokrasi yang nondiskriminatif.
Bahkan Amir Sjarifudin, dengan latar Kristen, bisa menjadi Perdana Menteri. Johannes Leimena dengan latar minoritas ganda (Kristen dan Melanesia) menjadi orang dengan menduduki jabatan menteri (wakil menteri) terpanjang dalam sejarah republik (21 tahun), bahkan beberapa kali menjadi pejabat kepala negara.
Konektivitas
dan integritas bukan saja penting bagi integritas nasional, melainkan juga
prasyarat bagi kemajuan bangsa di berbagai bidang. Hal ini bahkan berlaku bagi
kemajuan di bidang olahraga. Sebuah studi yang dilakukan Simon Kuper dan Stefan
Szymanski dalam Soccernomics (2018), menengarai mengapa tim sepak bola Inggris
untuk masa yang panjang miskin prestasi di tingkat internasional, meski
merupakan tanah leluhur sepak bola. Jawabannya bisa dinisbatkan pada miskinnya
konektivitas dan inklusivitas dalam sepak bola di negeri tersebut.
Di Eropa
kontinental, jarak antara satu negara dan negara lain bisa ditempuh dalam 2
jam. Hal ini memudahkan proses mobilitas dan rangsangan saling belajar
antarnegara. Kehebatan gaya sepak bola di suatu negara dengan mudah bisa
dipelajari negara lain dalam usaha mencari cara bermain yang lebih unggul. Dari
sini muncullah pelatih-pelatih hebat, seperti Arrigo Sacchi, Arsene Wenger, dan
Pep Guardiola yang mampu meracik resep sepak bola gaya baru hasil proses
sintesis kreatif dari berbagai gaya, melahirkan sepak bola yang efektif,
atraktif, dan sarat prestasi.
Adapun
Inggris, secara spasial merupakan negara kepulauan yang terpisah, proses
konektivitasnya kurang intens sehingga kurang cepat belajar dari perkembangan
sepak bola di negara-negara sebelah. Untuk masa yang panjang, Inggris terus
mempertahankan gaya sepak bola hit and run yang sudah kedaluwarsa. Baru
belakangan, setelah tim-tim Premier League terkoneksi dengan pelatih-pelatih
dari Eropa kontinental, gaya permainan tim sepak bola negeri tersebut mengalami
perubahan berarti.
Selain
itu, di banyak negara Eropa kontinental, tim sepak bola nasional dikembangkan
secara lebih inklusif dengan merekrut talenta-talenta terbaik dari berbagai
lapisan sosial. Di Inggris, tim sepak bola nasionalnya cenderung eksklusif,
diisi para pemain dari latar kelas sosial yang sama, yakni ‘kelas buruh’.
Kebanyakan pemain berhenti sekolah pada usia 16 tahun; nyaris tak ada yang
pernah mengenyam bangku pendidikan tinggi. Dengan demikian, potensi talenta
terbaik dari kelas-kelas sosial lain tidak terengkuh. Dengan alasan yang sama,
kita bisa menjelaskan bahwa salah satu faktor yang membuat bulu tangkis menjadi
cabang olahraga yang paling berprestasi di Indonesia ialah karena basis
inklusivitasnya yang kuat.
Matriks moral
Untuk
menjadi kekuatan kolektif yang kohesif, konektivitas dan inklusivitas itu harus
dihela kesamaan basis moralitas (shared values). Dalam konteks moral publik,
kesamaan itu bisa ditemukan dalam 6 nilai inti dalam matriks moral. Care
(peduli terhadap bahaya yang mengancam keselamatan bersama), fairness (keadilan
dan kepantasan), liberty (bebas dari penindasan dan pengekangan), loyalty
(kesetiaan pada institusi dan tradisi), authority (otoritas yang dihormati
bersama), dan sanctity (hal-hal yang disucikan bersama).
Generasi
Sumpah Pemuda memiliki titik temu nyaris di semua butir matriks moral itu.
Mereka sama-sama peduli terhadap bahaya penjajahan. Mereka sama-sama
memperjuangkan keadilan dan kesetaraan. Mereka sama-sama mendambakan
kemerdekaan dari penindasan dan represi. Mereka sama-sama punya kesetiaan pada
bangsa dan Tanah Air. Mereka sama-sama memimpikan otoritas baru yang berbeda
dari otoritas feodal dan kolonial. Mereka juga sama-sama menyucikan satu nilai
yang dijunjung bersama, yakni nilai-nilai spiritualitas kegotongroyongan; bahwa
persatuan harus diutamakan di atas perbedaan.
Keterpautan
pada komunitas moral bersama ini dikukuhkan oleh keterpaduan simbol dan
identitas kolektif kebangsaan. Dalam masyarakat mejemuk memang diperlukan
adanya rekonignisi politik dan politik rekognisi yang menjamin kesetaraan hak
bagi setiap kelompok etnik, budaya, dan agama. Meski demikian, kehadiran aneka
kelompok komunal itu tidak boleh dibayar oleh ongkos yang mahal berupa
fragmentasi masyarakat.
Oleh
karena itu, setiap kelompok dituntut untuk memiliki komitmen kebangsaan dengan
menjunjung tinggi keyakinan, nilai, norma, simbol, dan institusi bersama. Karen
Stenner (2005) mengingatkan bahwa politik (wacana) dan pendidikan multikultural
yang terlalu menekankan perbedaan membuat orang tambah rasialis, bukan
menguranginya.
Bagi
generasi Sumpah Pemuda, usaha mempertautkan kebinekaan ke dalam persatuan itu
dilakukan lewat pengakuan akan aspek-aspek kesamaan (similarity): kesamaan
tumpah darah, bangsa, dan bahasa persatuan.
Persatuan juga ditumbuhkan dengan mengupayakan keterpaduan (synchrony), dengan jalan menumbuhkan afeksi publik lewat pengibaran bendera dan lagu kebangsaan yang sama. Lagu Indonesia Raya yang semula disepelekan pemerintahan kolonial sebagai lagu keroncong yang tak menggugah, terus-menerus dinyanyikan di berbagai kesempatan sehingga lambat laun menjadi pembangkit emosi kebangsaan yang sama. Semua kerangka kesamaan dan keterpaduan itu makin solid manakala kebijakan kolonial makin represif yang menumbuhkan kesamaan blok nasional (historical bloc). Selebihnya, pekikan yel bersama, “merdeka atau mati” mempersatukan bangsa dalam meraih kemerdekaan.
Jalan
panjang proses menjadi bangsa itu harus kita hayati manakala Indonesia hari ini
menunjukkan tanda menghadapi ancaman disrupsi kebangsaan. Meski konektivitas
fisik mengalami kemajuan dengan pembangunan infrastruktur perhubungan dan
penggunaan sosial media yang sangat intens, tetapi konektivitas mental-kejiwaan
mengalami kemunduran. Dunia persekolahan dan media yang dulu menjadi jendela
keterbukaan bagi pergaulan lintas kultural dan pertukaran pikiran saat ini
mengalami gejala pengerdilan.
Pelemahan
minat baca dan erudisi menyempitkan daya jelejah pemahaman, yang menumpulkan
sikap empati terhadap yang berbeda. Gejala eksklusivitas meluas dengan
tumbuhnya pusat-pusat permukiman, sekolah, dan dunia kerja dengan segregasi
sosial yang curam.
Komunitas
moral bersama mengalami retakan karena memudarnya komitmen untuk menetapkan dan
memelihara moral publik. Basis moral organisasi-organisasi pemuda tidak begitu
jelas. Dari enam nilai dalam matriks moral publik, satu-satunya yang relatif
terus diagungkan ialah nilai kebebasan (liberty). Selebihnya, tidak tampak
keseriusan memedulikan apa yang mengancam keselamatan bersama. Sulit menemukan
basis sosial yang gigih memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan umum.
Terjadi
peluluhan loyalitas terhadap institusi-institusi dan tradisi kebangsaan.
Penghormatan terhadap ororitas hukum dan kepemimpinan merosot. Keluhuran budi
untuk merawat hal-hal yang ‘disucikan’ bersama pudar.
Narasi
publik tidak mendorong konvergensi, tetapi malah menyulut divergensi.
Polarisasi politik yang kian meruncing mengeraskan perbedaan yang menyulitkan
perjumpaan. Harus lebih banyak usaha untuk mendorong talenta-talenta unggulan
kita untuk mengikuti berbagai ajang kompetisi antarbangsa yang dapat menumbukan
similaritas dan keterpaduan dari keragaman Indonesia.
Kompetisi
dengan bangsa-bangsa lain tidak saja bisa memacu prestasi, tapi juga bisa
mentransformasikan konflik-konflik persaingan internal ke arah kontestasi
dengan ‘lawan’ bersama dari luar. Persepsi tentang kepentingan bersama memang
tidak hanya bisa ditumbuhkan lewat nasionalisme negatif-defensif (melawan musuh
dari luar), tetapi bisa juga dihidupkan lewat nasionalisme positif-progresif
(membangun kemajuan, keunggulan dan persemakmuran bersama).
Selain
itu, harus lebih banyak ruang-ruang perjumpaan yang memungkinkan warga bisa
melintasi batas-batas identitas. Institusi-institusi demokrasi harus ditata
ulang dalam kerangka memperkuat persatuan dan keadilan. Kebebasan sebagai hak
negatif (bebas dari) harus ditransformasikan menjadi kebebasan sebagai hak
positif (bebas untuk), agar segala keragaman dan potensi bisa diolah menjadi
sumber kemajuan dan kebahagiaan hidup bersama. Peringatan Sumpah Pemuda harus
bisa menangkap apinya, bukan abunya! []
MEDIA
INDONESIA, 28 Oktober 2019
Yudi
Latif | Cendekiawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar