Senin, 11 November 2019

Zuhairi: Demokrasi Pasca-Sektarianisme di Timur-Tengah


Demokrasi Pasca-Sektarianisme di Timur-Tengah
Oleh: Zuhairi Misrawi

Gelombang demonstrasi yang bergelayut di Lebanon dan Irak dalam tiga minggu terakhir membuktikan kesamaan visi dalam gerakannya. Apa yang terjadi di Lebanon merupakan efek domino dari apa yang terjadi di Irak. Generasi baru memandang perlunya rekonstruksi demokrasi yang mencerminkan keadilan dan kesetaraan bagi semua kelompok, sekte, aliran, dan agama.

Ada persoalan yang selama ini belum terjawab, yaitu perihal demokrasi yang telah memberikan mandat pada kelompok dan sekte mayoritas terbukti belum mampu mewujudkan keadilan dan kemakmuran bersama. Alih-alih membangun harapan baru bagi generasi milenial, yang terjadi sebaliknya, kelompok-kelompok yang selama ini menikmati kue politik justru semakin jauh dan berjarak dengan warga pada lapisan akar rumput dan kelas menengah baru yang menemukan momentumnya melalui media sosial.

Korupsi, mahalnya harga bahan-bahan pokok, dan membumbungnya jumlah pengangguran menyebabkan demokrasi yang selama ini dianggap mampu mengeliminasi konflik sektarian itu tidak lepas dari protes dan demonstrasi. Generasi baru memandang demokrasi konsesional itu bukanlah tujuan akhir, melainkan instrumen yang sejatinya dapat mewujudkan cita-cita bersama tentang keadilan dan kemakmuran.

Dalam konteks itu, generasi baru memandang model demokrasi konsensional perlu direvisi dengan agenda yang lebih jelas perihal keadilan dan kemakmuran. Mereka yang menikmati kue-kue demokrasi sejatinya tidak hanya kelompok tertentu, melainkan dapat menjangkau kepentingan yang lebih luas bagi seluruh kelompok masyarakat. Dan, kelompok-kelompok yang mendapatkan mandat publik dalam mengelola urusan publik dapat mewujudkan kepentingan bersama. Hakikatnya mereka hanya representasi dari publik yang lebih luas, terlepas dari kelompok, sekte, aliran, dan agamanya.

Demokrasi meniscayakan kepentingan bersama harus diutamakan daripada kepentingan kelompok tertentu. Fundamennya adalah konstitusi yang di dalamnya memuat garis-garis besar dalam mewujudkan keadilan dan kemakmuran bagi semua warga dan kelompok.

Nah, Irak sedang menghadapi problem serius perihal problem sektarian ini. Sejak era Saddam Husein yang hanya menjadikan kekuasaan sebagai instrumen untuk memuaskan kelompoknya, Irak saat ini juga sedang menghadapi masalah serupa meski tidak sama. Demokrasi konsensional yang membagi kekuasaan secara merata bagi kelompok Syiah, Sunni, dan Kurdi belum mampu menjadi katalisator untuk memenuhi kebutuhan bersama, publik dalam konteks yang lebih luas.

Akar masalahnya, tidak ada perubahan yang fundamental sejak era Saddam Husein yang menjadikan kekuasaan sebagai kesempatan untuk menikmati kue kekuasaan. Gaji para elite sangat tinggi, sedangkan fasilitas publik dan hak-hak publik sama sekali tidak diperhatikan. Warga Irak menyatakan pada saya dalam sebuah kesempatan, "Para elite hanya menikmati kekuasaan, sementara kita tidak pernah dipikirkan. Mereka rakus dan tamak."

Padahal Irak dikenal sebagai negara yang mempunyai kekayaan minyak melimpah dengan anggaran pendapatan yang sangat fantastik. Saya melihat langsung dengan kepala mata sendiri, betapa fasilitas publik sangat buruk dan wajah kemiskinan terlihat dengan telanjang.

Memang Irak sedang berusaha bangkit setelah tumbangnya ISIS yang berhasil menguasai beberapa wilayah sejak 2013 lalu. Tapi dengan kekayaan alam yang melimpah semestinya Irak bisa membangun fasilitas publik dan mengentaskan kemiskinan. Irak bisa semegah Qatar, Uni Emirat Arab, atau setidaknya seindah Iran yang bertahun-tahun diembargo oleh Amerika Serikat.

Namun, para elite politik di Irak tidak mempunyai kepekaan dan kepedulian yang sungguh-sungguh untuk mengedepankan kepentingan publik daripada kepentingan kaum elitenya. Akhirnya meletuslah demonstrasi sebagai bentuk kemarahan publik terhadap perilaku buruk kaum elite.

Ketika publik tak lagi mempunyai harapan dan para elite terus menikmati gaji yang membumbung tinggi dengan pelayanan yang buruk, maka letupan massa merupakan hal yang tak terhindarkan lagi. Mereka menuntut agar korupsi diakhiri, pelayanan publik diperbaiki, dan pengangguran diatasi.

Lebanon juga mempunyai masalah yang sama. Kelompok-kelompok yang selama ini menikmati kekuasaan, khususnya Sunni, Syiah, dan Kristen tidak mampu menerjemahkan demokrasi konsensional dalam konteks kepentingan publik yang lebih luas. Walhasil publik kehilangan harapan terhadap para elite yang selalu bertahun-tahun mendapatkan mandat dari warga.

Belum lagi masalah intervensi dari negara-negara lain yang turut serta menimbulkan kecurigaan dari publik perihal ketidakmampuan para elite membuktikan kedaulatan politik. Negara-negara Barat, seperti Amerika Serikat, Israel, Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Iran merupakan negara-negara yang selama ini terus hendak ingin membuktikan pengaruhnya.

Faksi Amerika Serikat, Arab Saudi, Israel, dan Uni Emirat Arab hendak meneguhkan pengaruhnya di Irak dan Lebanon. Begitu halnya Iran telah membangun aliansi strategis dengan beberapa faksi, baik di Lebanon maupun Irak.

Maka masalah yang dihadapi Irak dan Lebanon tidaklah sederhana. Lebih-lebih kerumitannya karena mereka yang menghendaki perubahan lanskap demokrasi tidak mempunyai tawaran pemikiran yang bisa diimplementasikan, termasuk mereka tidak mempunyai sosok-sosok yang memiliki pengaruh dan diterima secara luas sebagai antitesis terhadap praktik demokrasi yang selama ini berlangsung.

Maka alternatifnya hanya ada dua. Pertama, mendorong agar kaum elite yang berkuasa sekarang mampu membangun kemufakatan baru dalam rangka memerangi korupsi, mengentaskan kemiskinan, dan memperbaiki pelayanan publik. Demokrasi konsensional yang sudah mapan harus mempunyai target perubahan yang lebih baik dan lebih jelas. Kekeliruan di masa lalu dan sekarang, tak boleh terulang lagi.

Kedua, membentuk kesepakatan baru untuk membangun demokrasi yang mencerminkan realitas politik tanpa mempertimbangkan lagi sekte dan kelompok. Irak dan Lebonan akan memasuki demokrasi pasca-sektarianisme. Langkah ini bisa diambil jika mendapatkan dukungan publik yang sangat luas dengan gagasan yang benar-benar menjanjikan publik secara luas.

Pemandangan ini bukan hal yang mustahil terjadi jika melihat gelombang demonstrasi yang sedang berlangsung. Ketidakmampuan para elite merespons tuntutan publik akan berubah menjadi perubahan lanskap demokrasi.

Namun jika melihat realitas yang terjadi saat ini, alternatif yang pertama lebih realistis. Konsensus yang selama ini terbangun masih model yang ideal dalam membangun kebersamaan. Masalahnya, konsensus di ranah elite tidak selamanya berdampak positif pada ranah publik. Inilah dilema demokrasi yang harus diperhatikan serius. []

DETIK, 07 November 2019
Zuhairi Misrawi | Cendekiawan Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East Institute, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar