Musim Semi Politik Lebanon
Oleh: Zuhairi Misrawi
Badai musim semi politik yang mengubah lanskap politik di Tunisia sejak 2010 lalu rupanya terus menginspirasi perubahan politik yang bersifat radikal di seantero kawasan Timur-Tengah. Lebanon merupakan salah satu destinasi badai musim semi tersebut. Puluhan ribu warga memadati jantung kota Beirut melakukan protes terhadap para elite politik. Mereka menghendaki perubahan sistem politik karena sistem yang dianut selama ini telah menyebabkan Lebanon berada pada titik nadir krisis ekonomi.
Demonstrasi yang berlangsung sejak awal Oktober lalu membuktikan ada persoalan serius pada elite dan sistem politik Lebanon. Bayangkan, demonstrasi terjadi di hampir seluruh daerah, melibatkan seluruh usia, termasuk dari kelas menengah dan kelas bawah. Dari segi representasi, aksi demonstrasi menyuratkan sebuah problem akut dalam politik yang tidak mampu direformasi dari dalam. Maka satu-satunya cara adalah turun ke jalan agar mendapatkan perhatian serius dari para elite politik.
Aksi tersebut sangat manjur karena berhasil merontokkan posisi Saad el-Hariri sebagai Perdana Menteri. Di tengah gelombang demonstrasi yang terus meluas, Saad el-Hariri akhirnya memenuhi tuntutan demonstran dengan mengundurkan diri. Ia merasa tidak pantas lagi menempati posisi eksekutif sebagai Perdana Menteri.
Namun, aksi demonstrasi terus berlangsung karena tuntutan dari pendemo tidak hanya pergantian Perdana Menteri, melainkan perubahan sistem yang mampu merespons aspirasi warga, apapun latar belakang agama dan afiliasi politik. Media sosial telah membangunkan kesadaran baru warga Lebanon untuk melakukan reformasi politik.
Ujung-pangkal masalahnya terletak pada sistem politik yang selama ini mencerminkan hasil konsesi dari beberapa kekuatan politik terbesar di Lebanon, yaitu Sunni, Kristen Maronite, dan Syiah. Kekuasaan dibagi secara merasa dengan model: Perdana Menteri dipegang oleh Sunni, Presiden oleh Kristen Maronite, dan Parlemen oleh Syiah.
Pada mulanya konsesi politik tersebut mampu meredam polarisasi politik yang telah menyebabkan perang sipil dalam jangka waktu panjang di Lebanon. Namun bersamaan dengan perjalanan waktu, para demonstran memandang sistem ini belum mampu memenuhi problem riil yang dihadapi oleh warga Lebanon. Toh kalau dicermati dengan seksama, sistem tersebut hakikatnya merupakan sistem yang disodorkan oleh pihak luar, khususnya Suriah, yang diamini Amerika Serikat dan Arab Saudi.
Situasinya makin merunyam di saat Hizbullah terlibat langsung dalam krisis politik di Suriah, yang disertai dengan sokongan Iran terhadap Hizbullah. Di sisi lain, gelombang pengungsi Suriah terus berdatangan ke Lebanon, yang menyebabkan beban politik dan ekonomi makin terasa berat. Di samping itu juga perseteruan dengan Israel perihal batas teritorial di Lebanon Selatan, yang di dalamnya ditengarai terdapat sumber gas yang cukup besar.
Konteks politik tersebut menyebabkan Lebanon berada dalam situasi yang sangat tidak menguntungkan. Sikap Trump yang membatalkan kesepakatan nuklir dengan Iran menyebabkan posisi Lebanon semakin terjepit, tidak menentu. Trump sudah pasti mempunyai kepentingan untuk terus melemahkan posisi Hizbullah yang selama ini menjadi salah satu pemain penting dalam politik Lebanon. Apalagi suara Hizbullah di parlemen terus bertambah, yang menandakan betapa kuatnya faksi Syiah di Lebanon.
Dalam konteks yang lebih besar, Lebanon sebenarnya merupakan salah satu contoh terbaik titik-temu Sunni-Syiah dalam realitas politik. Bersama Kristen Maronite, Sunni dan Syiah mau bahu-membahu untuk membangun persatuan Lebanon. Langkah ini banyak diapresiasi karena mampu memberikan teladan politik yang sangat baik bagi dunia Arab dan dunia Islam lainnya. Sunni dan Syiah tidak hanya mencapai titik-temu dalam paham keagamaan, melainkan juga dalam ranah politik.
Maka dari itu, kita tidak menemukan konflik politik di Lebanon dalam beberapa tahun terakhir. Koalisi Sunni-Syiah tersebut telah membangun kesadaran bersama, bahwa untuk membangun Lebanon diperlukan persatuan nasional. Karenanya Lebanon menjadi contoh dan harapan dunia Arab dan dunia Islam, karena mampu mempersatukan Sunni dan Syiah. Tidak hanya itu saja, Sunni dan Syiah mau bergandengan dengan kelompok terbesar, yaitu Kristen Maronite.
Namun sayang seribu sayang, momentum tersebut belum mampu diterjemahkan secara kongkret dalam ranah ekonomi. Lebanon terus terpuruk secara ekonomi. Utang Lebanon saat ini mencapai 85 juta dolar AS atau setara 150% dari total pendapatan. Sementara itu kekayaan 7 konglomerat Lebanon mencapai 13.3 juta dolar AS.
Para elite politik selama ini gagal melakukan reformasi ekonomi. Kekuasaan yang cenderung dibagi secara merata itu tidak mampu membuat check and balance system. Para elite politik dari berbagai faksi terlihat berjarak dengan warga. Mereka yang mempunyai kedekatan secara politik dengan tiga kelompok besar itu yang hanya bisa mendapatkan akses ekonomi dan politik. Sementara generasi baru yang lahir dan tumbuh dalam kultur yang independen tidak mempunyai akses yang sama.
Aksi demonstrasi yang bergelinjang dalam beberapa pekan terakhir adalah akumulasi dari kekecewaan tersebut. Tidak mudah bagi para elite politik untuk meresponsnya karena masalahnya juga tidak sederhana. Perlu dialog dan reformasi yang menyeluruh untuk meredam kekecewaan politik yang sudah membesar.
Bagi para demonstran juga harus menyodorkan gagasan alternatif. Demonstrasi yang cenderung sporadis dan tanpa pimpinan hanya akan menyebabkan gerakan protes tanpa tujuan. Karenanya, dialog-dialog substantif akan menentukan arah masa depan Lebanon.
Tanpa itu, Lebanon akan menjadi seperti Yaman, karena negara-negara luar akan segera melakukan intervensi dalam urusan politik dalam negeri. Apalagi Lebanon berbatasan langsung dengan Israel, sehingga dapat menjadi bahan empuk bagi kekuatan asing untuk ikut campur dan menjadikan musim semi politik semakin kehilangan arah. []
DETIK, 31 Oktober 2019
Zuhairi Misrawi | Cendekiawan Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East Institute, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar